Â
Kata korupsi, mungkin telah menjadi istilah yang basi, dan tidak lagi menjadi sepenggal kata yang memalukan bagi sebagian kalangan. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa latin corrupt, yang berarti rusak/busuk, dan corruptio berarti membusuk atau pembusukan.Â
Berangkat dari asal kata korupsi di atas, Andi Hamzah (2005), berpendapat bahwa asal kata korupsi tersebut secara harfiah berarti segala macam perbuatan yang tidak baik sebagai keburukan-keburukan kebejatan, ketidak jujuran, dapat di suap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah.Â
Dalam arti sosial, masyarakat pada umumnya mengasosiasikan korupsi sebagai perbuatan merugikan keuangan negara, dan atau menerima suap dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan.Â
Dalam beberapa dekade terakhir, korupsi seakan telah menjadi trend, bahkan sebagian kalangan menyebutnya sebagai budaya. Kondisi tersebut tentu saja tidak berdiri sendiri, akan tetapi berbagai macam faktor yang menjadi pemicu munculnya berbagai praktik tindak pidana tersebut.Â
Salah satu faktor tersebut adalah rendahnya kesadaran hukum yang berimplikasi terhadap sikap dan perilaku koruptif yang terjadi pada hampir sebagian pengusaha dan pejabat penyelenggara negara.
Di sisi lain, berbagai peraturan perundang-undangan serta lembaga penegakan hukum telah dibentuk dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi, namun kenyataannya kita masih dihadapkan pada maraknya berbagai praktik korupsi di negeri ini, bahkan praktik tersebut semakin masif dan sistematis pada semua level, baik di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dari tingkat tertinggi hingga terendah, dari pusat hingga daerah.Â
Kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan bagi masa depan bangsa ini, sehingga perlu dicari solusi alternatif lain untuk mencegah berlangsungnya praktik tersebut secara terus menerus.Â
Tentu saja solusi alternatif tersebut tidak serta merta mengambil alih upaya penegakan hukum (law enforcement) sebagai solusi yang pertama dan utama dalam mencegah serta memberantas tindak pidana korupsi. Salah satu solusi alternatif tersebut misalnya melalui penyelenggaraan pendidikan anti korupsi di sekolah.
Pendidikan Anti korupsi
Pendidikan anti korupsi saat ini dipandang sangat penting dan mendesak untuk diselenggarakan sebagai upaya menanamkan kesadaran anti korupsi bagi peserta didik sejak dini, mengingat upaya pemberantasan korupsi bukan hanya an sich tanggung jawab lembaga penegak hukum, akan tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk lembaga pendidikan.Â
Pendidikan anti korupsi adalah usaha sadar untuk memberi pemahaman dan mencegah terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan dalam proses pembelajaran di sekolah. Pendidikan anti korupsi pada dasarnya dapat dilakukan pada pendidikan informal di lingkungan keluarga, pendidikan non formal, dan pendidikan formal pada jalur sekolah.Â
Namun menurut pendapat Handoyo (2007), sekolah dipandang lebih efektif untuk menyiapkan generasi muda berperilaku anti korupsi, karena otoritas yang dimiliki dan budaya yang dipunyai. Untuk menyiapkan generasi muda yang anti korupsi, maka hendaknya materi pendidikan anti korupsi di sekolah tidak hanya sekadar pemberian wawasan di ranah kognitif (materi), tidak sekadar pemahaman dan menghafal.Â
Lebih dari itu, pendidikan anti korupsi menyentuh pula ranah afektif dan psikomotorik, mengingat pendidikan anti korupsi di sekolah diharapkan dapat menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, keterbukaan, dan tanggung jawab kepada siswa sejak usia dini.
Pendidikan anti korupsi merupakan tindakan untuk mengendalikan dan mengurangi korupsi, dengan cara mendorong  generasi  mendatang  untuk mengembangkan  sikap menolak secara tegas terhadap setiap bentuk korupsi. Mentalitas anti korupsi ini akan terwujud, jika kita secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk mampu mengidentifkasi berbagai kelemahan dari sistem nilai yang mereka warisi, dan memperbaharui sistem nilai warisan dengan situasi-situasi yang baru. Dalam konteks pendidikan, "memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya" berarti melakukan rangkaian usaha untuk melahirkan generasi yang tidak bersedia menerima dan memaafkan suatu perbuatan korupsi yang terjadi (Sumiarti, 2007).
Setidaknya, ada tiga tujuan yang ingin dicapai dalam proses pelaksanaan pendidikan anti korupsi dimaksud, yakni; Â Pertama, memberikan kesadaran secara dini kepada generasi muda tentang bahaya laten korupsi. Kedua, menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa, sehingga kelak mereka dapat meneruskan cita-cita para founding fathers, dan terbebas dari sikap dan prilaku koruptif yang merusak tatanan serta masa depan bangsa dan negara. Ketiga, menyadarkan generasi muda bangsa, bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Agung, melainkan menjadi tanggung jawab semua anak bangsa.
Upaya Membentuk Sikap Anti korupsiÂ
Pendidikan anti korupsi tidak hanya sebatas pada usaha sadar untuk memberi pemahaman dan mencegah terjadinya perbuatan korupsi, akan tetapi pendidikan anti korupsi dimaksudkan pula untuk membentuk sikap anti korupsi. Sikap anti korupsi adalah sikap dan perilaku untuk tidak mendukung adanya upaya merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.Â
Dengan kata lain, anti korupsi merupakan sikap menentang terhadap adanya korupsi (Aa Nurdiaman, 2009). Sementara itu, KPK mendefinisikan anti korupsi sebagai kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi. Pencegahan yang dimaksud adalah bagaimana meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi dan bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara. Peluang bagi berkembangnya korupsi dapat dihilangkan dengan melakukan perbaikan sistem (sistem hukum, sistem kelembagaan) dan perbaikan manusianya (moral, kesejahteraan) (KPK, 2006). Tentu saja, untuk membentuk sikap anti korupsi tersebut tidak dengan cara instan, akan tetapi melalui sebuah program pendidikan anti korupsi yang secara sistematis dan berkesinambungan dengan tujuan membentuk peserta didik yang anti terhadap segala bentuk korupsi.
Sejalan dengan itu, pendidikan anti korupsi dimaksudkan untuk membangun nilai-nilai dan mengembangkan kapasitas yang diperlukan untuk membentuk sikap peserta didik dalam melawan korupsi. Untuk mencapai tujuan dimaksud, maka peserta didik harus: Pertama, memahami informasi. Bahaya korupsi biasanya ditunjukkan menggunakan argumen ekonomi, sosial dan politik. peserta didik tentunya akan sulit untuk memahami, untuk itu perlu 'diterjemahkan' ke dalam bahasa para anak dengan menunjukkan bagaimana korupsi mengancam kepentingan mereka dan kepentingan keluarga dan teman-teman. Kedua, mengingat. Tidak diragukan lagi, dengan proses mengulang, anak akan ingat, namun jika yang sama diulang lebih dari tiga kali, anak akan merasa jenuh dan merasa kehilangan hak untuk membuat pilihan bebas. Jadi tidak ada salahnya mengubah bentuk penyediaan informasi dengan cara yang paling tak terduga dan mengesankan (ada variasi). Ketiga, mempersuasi (membujuk) diri sendiri untuk bersikap kritis. Sikap kritis menjadi sangat kuat bila tidak hanya diberikan, tetapi mengarahkan mereka untuk mengembangkannya dengan penalaran intensif. Efeknya akan lebih kuat jika menggunakan metode pembelajaran aktif.
Selain ketiga hal tersebut, upaya pembentukan sikap anti korupsi juga perlu dilakukan dengan menampilkan sikap serta perilaku anti korupsi dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya dengan membiasakan bersikap dan berperilaku hidup jujur, disiplin, bertanggung jawab, amanah, dan taat dan patuh pada aturan hukum serta ajaran agama. Sejalan dengan itu, proses pembentukan sikap anti korupsi dapat pula dilakukan melalui peneladanan oleh kepala sekolah, guru, serta pegawai di lingkungan sekolah. Selain pembiasan dan peneladanan, hal yang paling penting dalam upaya pembentukan sikap anti korupsi adalah melalui proses pembelajaran di sekolah. Terkait dengan hal tersebut, maka mata pelajaran Pendidikan Pancasila merupakan sarana yang paling tepat dalam upaya membentuk sikap anti korupsi pada diri peserta didik, mengingat mata pelajaran Pendidikan Pancasila merupakan mata pelajaran interdisipliner yang terdiri dari berbagai bidang disiplin keilmuan seperti; ilmu politik, ilmu hukum, ilmu sosial, moral, etika, psikologi, serta nilai-nilai Pancasila. Di mana bidang-bidang kajian tersebut memiliki keterkaitan dan dipandang paling tepat untuk menumbuhkan serta membentuk sikap anti korupsi pada diri peserta didik sejak usia dini di sekolah.
Berkaitan dengan hal di atas, maka Pendidikan Pancasila memiliki peran penting dalam upaya membentuk sikap dan perilaku anti korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan Pancasila (Pendidikan Kewarganegaraan) merupakan mata pelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah, dan mata kuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37). Ketentuan ini lebih jelas dan diperkuat lagi pada pasal 37 bagian penjelasan dari Undang-Undang tersebut bahwa, "Pendidikan Kewarganegaraan (Pendidikan Pancasila) dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air". Dan salah satu bentuk manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta air adalah tidak melakukan perbuatan atau tindakan koruptif.
Pendidikan Pancasila sebagai Pendidikan Anti Korupsi Di Sekolah
Pada hakekatnya Pendidikan Pancasila bertujuan membentuk warga negara yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Tentu saja, salah satu ciri warga negara yang baik adalah memiliki sikap dan perilaku anti korupsi. Dalam kurikulum Merdeka, Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berubah nama menjadi Pendidikan Pancasila, namun esensi dan muatan materinya masih sama seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada Kurikulum 2013. Dalam Kurikulum Merdeka, karakteristik Pendidikan Pancasila adalah sebagai berikut.
- Menumbuh kembangkan wawasan kebangsaan dan karakter ber-Pancasila.
- Menumbuhkan kesadaran untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta menjaga ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Menciptakan keselarasan, mencegah konflik, dan mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
- Menjaga lingkungan dan mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Mengembangkan praktik belajar kewarganegaraan yang berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selaian itu dalam Kurikulum Merdeka, tujuan Pendidikan Pancasila dimaksudkan agar peserta didik mampu:
- Berakhlak mulia dengan didasari keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui sikap mencintai sesama manusia, lingkungan, dan negara untuk mewujudkan persatuan, demokrasi, dan keadilan social dengan menanamkan penyadaran, keteladanan, dan pembiasaan;
- Memahami makna dan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, dan ideologi negara, serta mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
- Mematuhi konstitusi dan norma yang berlaku serta menyelaraskan perwujudan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, Â berbangsa, dan bernegara di masyarakat global;
- Memahami jati diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang berbineka dan berupaya untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, serta bersikap adil dan menghargai perbedaan SARA, status sosial-ekonomi, jenis kelamin, dan penyandang disabilitas; serta
- Mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia
Sementara itu dalam kurikulum 2013 secara umum tujuan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah mengembangkan potensi peserta didik dalam seluruh dimensi kewarganegaraan, yakni: (1) sikap kewarganegaraan termasuk keteguhan, komitmen dan tanggung jawab kewarganegaraan (civic confidence, civic committment, and civic responsibility); (2) pengetahuan kewarganegaraan; (3) keterampilan kewarganegaraan termasuk kecakapan dan partisipasi kewarganegaraan (civic competence and civic responsibility). Secara khusus Tujuan PPKn yang berisikan keseluruhan dimensi tersebut sehingga peserta didik mampu:
- Menampilkan karakter yang mencerminkan penghayatan, pemahaman, dan pengamalan nilai dan moral Pancasila secara personal dan sosial;
- Memiliki komitmen konstitusional yang ditopang oleh sikap positif dan pemahaman utuh tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif serta memiliki semangat kebangsaan serta cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
- Berpartisipasi secara aktif, cerdas, dan bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat, tunas bangsa, dan warga negara sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang hidup bersama dalam berbagai tatanan sosial Budaya.
Untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Pancasila, maka dalam proses pembelajaran memfokuskan diri pada tiga ranah, yakni; Ranah pertama adalah pengetahuan yang perlu diketahui dan dipahami oleh warga negara muda, meliputi dasar negara, falsafah, ideologi, konstitusi, lambang-lambang negara, kebudayaan, dan norma sosial-budaya dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Ranah kedua adalah ranah sikap, kebiasaan, dan karakter kewarganegaraan yang meliputi sikap personal, yaitu kejujuran, sederhana, disiplin, mandiri, tanggung jawab, dan integritas. Sikap sosial meliputi toleransi, empati, demokratis, nasionalis, dan sikap gotong royong. Ranah ketiga adalah kecakapan atau keterampilan yang selayaknya dimiliki oleh warga negara, baik berupa kecakapan yang bersifat intelektual maupun yang bersifat praktis atau partisipatif.
Upaya untuk membentuk sikap anti korupsi melalui pembelajaran Pendidikan Pancasila, maka ada beberapa tahapan yang harus dipersiapkan oleh guru, diantaranya: Pertama, materi ajarnya harus mencakup ketiga ranah tersebut di atas, yakni; (1) ranah Pengetahuan, (2) ranah Sikap, Kebiasaan, dan Karakter kewarganegaraan, dan (3) ranah kecakapan dan keterampilan. Kedua, Â metodologi pengajaran guru dapat menggunakan berbagai metode dan model pembelajaran seperti diskusi, proyek kewarganegaraan, problem based learning, project based learning, discovery learning dan sebagainya, namun terlepas dari metode dan model pembelajaran yang digunakan, paling terpenting adalah pelibatan peserta didik secara aktif dan kreatif dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Ketiga, sumber belajar, perlu menggunakan berbagai sumber seperti, berbagai bahan cetak maupun elektronik, internet, orang, lembaga negara, dan lingkungan. Keempat, evaluasi kinerja peserta didik dapat mempergunakan bentuk asesmen dan evaluasi autentik yang tidak hanya mengukur aspek verbal dan kognitif siswa, namun juga mengukur karakter, ketrampilan, kewaspadaan dan cara berfikirnya dalam mengatasi berbagai masalah.
Namun yang paling terpenting dalam proses pembelajaran tersebut adalah guru mampu menanamkan nilai-nilai anti korupsi seperti kejujuran, kedisiplinan, keterbukaan, tanggung jawab pada diri setiap peserta didik. Penanaman nilai-nilai anti korupsi tersebut tidak hanya terbatas pada kompetensi dasar/capaian pembelajaran yang memuat materi anti korupsi saja, namun penanaman nilai-nilai anti korupsi dilakukan pada setiap proses pembelajaran Pendidikan Pancasila berlangsung. Selain itu, agar pembentukan sikap anti korupsi dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila bisa berjalan maksimal, maka tidak cukup hanya dalam bentuk teori atau pemahaman saja, namun juga harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik oleh peserta didik maupun guru. Dengan demikian, upaya pembentukan sikap anti korupsi pada peserta didik tidak hanya berjalan searah, namun ada pula peneladanan dari guru pada peserta didik, sehingga harapan dan tujuan untuk membentuk sikap anti korupsi pada diri peserta didik sejak dini melalui pembelajaran Pendidikan Pancasila dapat berjalan secara efektif dan efisien. (*)
Daftar Bacaan
Â
AA Nurdiman. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas VIII SMP/MTs. Pusat Perbukuan Depdiknas. Jakarta.
Andi Hamzah. 2005. Pemberantasan korupsi, melalui Hukum Nasional dan Internasional. Rajawali Pres. Jakarta.
Dharma, Budi. 2004. Korupsi dan Budaya. dalam Kompas, 25/10/2003
Harmanto dan  Suyanto, Totok. 2005. Peningkatan Perolehan Belajar Mahasiswa Melalui Rekonstruksi Matakuliah Dasar dan Konsep Pendidikan Moral dengan Pendekatan Kontekstual. Surabaya: Tidak diterbitkan.
KPK. 2006. Mengenali dan Memberantas Korupsi. Jakarta
Listia, Dkk. 2023. Panduan Guru Pendidikan Pancasila. Kemendikristek RI. Jakarta
Modern Didactics Center, 2006, Anti Corruption at School (bahan kursus)
Sumiarti, 2007. Pendidikan Antikorupsi. Insania. Vol. 12. No. 02
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H