Mohon tunggu...
Salam Rahmad
Salam Rahmad Mohon Tunggu... Jurnalis - brain food

be kind.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cat-Calling: Pelecehan Berkedok Candaan

18 Maret 2019   19:12 Diperbarui: 5 April 2019   07:57 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta -- "Digoda atau diperlakukan tidak senonoh ketika berada di jalan atau transportasi umum adalah perlakuan yang tidak menyenangkan dan hal yang paling menyakitkan," hal itu disampaikan oleh IM (22) salah seorang korban yang bekerja sebagai karyawati yang mengalami pelecehan seksual  dari oknum (kejahatan seksual) ketika dalam perjalanan ke tempat kerjanya dengan menggunakan moda transportasi kereta api jurusan Bogor-Angke 2018 lalu.

"Pada saat kejadian itu saya sangat kaget banget, dan hanya bisa diam karena itu moment yang paling menyedihkan dalam hidup saya. Pelaku menggunakan kesempatan dalam kesempitan kayak gak punya otak," tegas IM saat dimintai keterangan di Stasiun Tanjung Barat, Jakarta (Sabtu, 16/03/2019).

Korban juga menuturkan bahwa ia sempat menghindar dari pelaku supaya tidak berdekatan lagi posisinya dengan IM. Namun kenyataannya, pelaku tetap saja mengikuti IM kemanapun IM bergerak.

Tak hanya perempuan, lelaki pun tak luput dari perilaku Cat-Calling. Bentuk pelecehan yang dialami dapat berupa tindakan diteriaki atau bersiul dengan keras yang bernada pelecehan. 

Cat-Calling sendiri bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, baik itu di keramaian ataupun tempat sepi yang tidak mengenal siang maupun malam. Hal ini terjadi pada MA (19), AP (20), dan FC (19), yang ketiganya berprofesi sebagai mahasiswa di salah satu universitas di bilangan Jakarta. 

AP mengaku seringkali mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan ketika dirinya sedang berada di tempat keramaian dan tempat sepi jika ia berjalan sendirian tanpa ada yang menemaninya.

"Kalau jalan sendiri atau sama teman-teman cewek semua dan ngelewatin beberapa cowok suka di Cat-Calling-in, gitu," ungkap AP saat di temui di kediamannya di daerah Bogor, Jawa Barat (Jumat, 15/03/2019).

Tak jarang, banyak perempuan yang merasa geram dengan perlakuan oknum-oknum tersebut dan tidak sedikit juga yang merasa takut.

"Biasanya pasang muka ketus atau ilfeel," sambung AP.

Berbeda dengan AP, MA justru merasa takut bila ia menjadi sasaran oknum Cat-Calling tersebut.

"Kalau jadi mangsanya (oknum), gue spontan jalan cepat sambil nunduk. Karena gak berani ngelawan atau nyamperin oknum itu karena mereka rame, gak sendiri," ujar MA ketika di jumpai di kediamannya di daerah Jakarta Timur.

Pengakuan lainnya disampaikan oleh FC yang menganggap perilaku Cat-Calling seperti di siul atau perlakuan lainnya sebagai hal yang wajar dialami perempuan, ia juga menanggapinya dengan santai dan cuek dengan tidak mempedulikannya.

"Kalau di siulin gue melengos (buang muka)," ungkap FC.

Beragam bentuk perkataan yang di lontarkan oleh oknum kepada korban saat melakukan Cat-Calling tersebut, mulai dari mencibir hingga memuji namun dengan maksud menggoda korbannya.

"Yang sekarang aku rasain, kalau berangkat ke kampus selalu ngelewatin bengkel suka di "cewek" dan "assalamualaikum", walaupun dia mengucapkan salam seperti itu tapi bukan untuk menyapa antar sesama Muslim, tapi lebih kepada pelecehan secara tidak langsung," tegas AP.

"Tapi kalau "assalamualaikum canttik" atau "hai merah" itu masih bisa gue tolerir karena sudah biasa. Kalau di peributkan malah jadi capek dan gak mau buang-buang energi gue buat orang-orang yang punya kebiasaan kayak gitu," ujar FC.

Hal serupa juga dialami MA ketika ia bersama teman-temannya pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di daerah Kebayoran Baru, saat itu MA berjalan di area pertokoan dan di tempat tersebut ada oknum-oknum pria paruh baya yang sudah menunggu mangsanya datang.

"Padahal di situ gue udah pakai kerudung tapi masih ada yang bersiul dan "assalamualaikum, neng". Nah, assalamualaikum-nya itu sudah termasuk Cat-Calling," ujar MA dengan nada tegas.

Dalam kasus ini, mayoritas korbannya adalah perempuan, hal ini dikarenaka mereka (oknum) merasa dirinya memiliki kekuatan dalam menjalankan aksinya. Cat-Calling bisa menimpa siapapun, tidak mengenal gendernya. Namun bagi mereka, perempuan diperlakukan seperti itu tidak akan bisa berbuat apa-apa, tidak bisa membalas, sehingga banyak perempuan yang menjadi korban Cat-Calling.

"Karena bentuk-bentuk seksisme lahir dari budaya patriarki di Indonesia, cowok ganjen ke cewek lalu menggoda cewek itu dipandang sebagai hal yang wajar, tapi ketika cewek yang menggoda cowok itu dianggap cewek gak benar. Ada pandangan berbeda cewek dan cowok berasal dari budaya patriarki yang mendarah daging," ungkap FC.

Hal ini senada yang dikatakan Erlina Rakhmawati selaku aktivis Gerakan Mengakhiri Perilaku Cat-Calling yang juga aktif dalam relawan di beberapa gerakan perempuan dan anak. Erlina menuturkan bahwa cara pandang patriarki yang mengobjektifikasi perempuan, membuat perempuan atau gender perempuan yang paling banyak menjadi korban Cat-Calling.

Seperti yang dikatakan FC, laki-laki dianggap masyarakat memiliki pandangan umum bahwa laki-laki memang sudah secara alamiah atau biologis seperti itu. Sedangkan perempuan lebih "adem ayem" masih melekat di masyarakat. Perempuan dianggap tidak membutuhkan kebutuhan seksual (diam, terima-terima saja) dan laki-laki lebih agresif (dominan dalam menetukan objek seksualnya).

"Mungkin dia mau mencari kepuasan dengan kesempatan dalam kesempitan untuk memuaskan hasrat sementaranya. Hanya di kereta saja banyak yang menjadi korban pelecehan seksual. Karena adanya kesempatan seperti dalam keadaan yang ramai di kereta pelaku dengan mudah menggesek-gesekan kelaminnya di bokong cewek, sudah langganan banget, sih," ungkap IM saat di temui di Stasiun Sudirman, Jakarta, (Sabtu, 16/03/2019).

Hal ini diakui pelaku FAM (21) yang merupakan mantan pelaku Cat-Calling. FAM biasa melancarkan aksinya tersebut di tempat keramaian. Ia biasa beraksi di moda transportasi umum yang ramai penggunanya seperti KRL dan Transjakarta.

"Biasanya saya ngincer jam-jam sibuk di KRL atau bus misalnya. Saya coba terus deketin calon korban saya ini, Kalau sudah padat, saya gesek meraba-raba badan korban saya ini," ujar FAM.

Berdasar keterangan FAM, ia mengaku merasakan kepuasan tersendiri dalam melakukan aksinya tersebut dan pelaku-pun tidak merasa khawatir dalam melancarkan aksinya.

"Awalnya cuma iseng-iseng aja, tapi lama-kelamaan jadi kebiasaan, gak ada kriteria khusus untuk mangsa (korban), kalau udah ada mangsanya dan ada kesempatan langsung di sikat aja," sambung FAM.

FAM menuturkan bahwa dalam menjalankan aksinya tersebut, ia melakukannya secara individual, bukan kelompok. Untuk kriteria korban, pelaku  juga tidak melihat apakah korban berpakaian tertutup atau tidak. Baginya, pakaian yang dipakai seseorang tidak terlalu berpengaruh terhadap aksinya tersebut.

Hal ini dibenarkan oleh korban yang mengaku sudah berbusana sopan dan tertutup pun kerap kali diganggu oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, hal ini bisa dikarenakan tingkat pengetahuan mereka (oknum) yang rendah akan perilaku Cat-Calling yang termasuk ke dalam pelecehan seksual.

"Menurut gue gaya berbusana itu gak terlalu ada hubungannya sama Cat-Calling. Gue yang udah pakai kerudung masih ada (oknum) yang bersiul dan godain. Jadi, menurut gue gaya berbusana itu sebenarnya ada pengaruhnya. Tapi terkadang, walaupun kita sudah rapi dan tertutup pun masih jadi korban Cat-Calling," kata MA.

Sama halnya dengan korban lainnya, FC pun mengaku sependapat dengan korban lainnya bahwa gaya berbusana seseorang tak mempengaruhi dalam perilaku Cat-Calling.

"Cewek yang pakai cadar pun masih juga jadi korban Cat-Calling, gak ada pengaruhnya (busana yang dikenakan korban), mau pakai tengtop, hotpans, baju panjang, as long as you are women -- as long as you are girl, lo bakal jadi korban Cat-Calling. Gak relevan lagi kalau gaya busana mempengaruhi," ujar FC.

"Cat-Calling sendiri merujuk pada identitas gender sebagai objek seksual yang subordinat, bukan pada pakaiannya. Bahkan perempuan tertutup rapat sekalipun menjadi korban Cat-Calling," ujar Program Officer di Yogyatourium Creativespace & Communityhub, Erlina Rakhmawati.

Menurut pengamat psikolog alumni Universitas Indonesia sekaligus sebagai Head of Capability Planning di Mapan, Rr. Ayu Ratih Puteri, M.Psi menilai perilaku Cat-Calling ini sebagai sebuah tindak kejahatan. Berdasar sudut pandang psikologi, oknum-oknum yang melakukan Cat-Calling tersebut biasanya dilandasi keinginan untuk membuktikan sesuatu dalam hal ingin mendapatkan kontrol terhadap emosi dan hanya untuk iseng-iseng saja sehingga korban yang merasa diperlakukan seperti itu akan menjadi malu-malu atau justru di sisi lain pelaku merasa senang.

"Jadi sebenarnya dia ingin memberikan sense of control terhadap korban, sehingga dia (pelaku) merasa unggul dan terlihat seperti jagoan yang ingin membuktikan sesuatu, mengikuti apa yang sebenarnya tidak dia miliki," ujarnya saat di temui di Mall FX Sudirman, Jakarta, (Minggu, 17/03/2019).

Puteri juga menambahkan bahwasanya pelaku (umumnya laki-laki) ingin menunjukkan sesuatu dan perempuan dianggap lemah. Maka dari itu, banyak diantara mereka yang menjadi korban dan membuka peluang besar bagi pelaku untuk lebih banyak mencoba atau melakukannya.

Di samping itu, Puteri juga menuturkan ternyata gaya berbusana seseorang tak mempengaruhi apakah seseorang akan aman dari gangguan Cat-Calling atau tidak. Semakin seseorang tertutup pakaiannya membuat pelaku semakin penasaran dan muncul stereotip seperti "Oh, perempuan pakai jilbab orang baik-baik, ya. Kalau di apa-apain gak akan melawan, ya". Sehingga pelaku bisa menaklukkan korbannya dengan menakut-nakuti. Tidak menutup kemungkinan bahwa jika ada perempuan pakai kerudung menjadi korban Cat-Calling, bahkan orang yang di belakangnya yang tidak pakai kerudung-pun menjadi korban si pelaku.

"Sebenarnya nggak ada pengaruhnya. Mau orang itu pakai kerudung atau nggak itu gak berpengaruh. Biasanya orang yang pakai kerudung di godain "cewek" atau orang yang pakai kerudung "assalamualaikum cantik". Jadi, jelas gaya berbusana itu gak berpengaruh. Mau seseorang berpakaian seperti apa itu haknya, yang salah justru otak pelakunya yang bermasalah," imbuhnya.

Ada berbagai macam cara yang perlu dilakukan ketika merasa sedang di awasi oleh pelaku, hal pertama yang harus di lakukan adalah berjalan lebih cepat dan secepat mungkin berlari ke keramaian, gunakan masker saat berjalan kaki supaya wajah kita tidak terlihat.

"Ketika gue sadar diawasi oknum gue bakal balik mengawasinya, gue bakal memperlihatkan dia kalau gue lagi memantau orang itu. Dan bilang ke dia kalo "gue sadar loh lo ngawasin gue". Kalau di tempat rame siang hari cari tempat yg rame cowoknya karena bisa belain gue, atau cari yang banyak ibu-ibunya pasti kan berpihak sama perempuan," ujar FC.

Menurut AP, kita harus lebih berani untuk melawan oknum, jika takut atau hanya diam saja, kejadian tersebut bukan tidak mungkin akan terulang kembali.

"Spontan teriak "apa sih lo jaga mulut kek, punya sopan santun gak sih?!" kita harus berani ngomong "jangan Cat-Calling gue" lama-kelamaan mereka akan segan Cat-Calling ke kita. Kalau perlu, teriak di tempat umum supaya dia malu sendiri," tegas AP.

Berbeda dengan yang lainnya, IM justru trauma jika melihat keramaian di gerbong kereta api, takut jika hal yang pernah dialaminya akan terulang kembali. Sehingga ia lebih memilih untuk menggunakan moda transportasi lainnya.

"Saya tidak mau naik kereta yang penuh dan berdesakan lagi, lebih baik saya menggunakan jasa transportasi lain seperti ojek online, bisa juga dengan menggunakan kendaraan pribadi, atau jika memungkinkan menggunakan gerbong khusus wanita," ujar IM.

Perlunya sikap represif dalam hal ini sangat berpengaruh ke depannya bagi psikis korban. Hal ini sesuai apa yang dikatakan Puteri, bukan tidak mungkin dengan adanya perilaku ini tidak menimbulkan dampak.

Ada dua hal yang ditimbulkan bagi korban. Pertama, secara yang sangat besar, contohnya "assalamualaikum, hai cewek, mau ke mana?". Dari situ sudah terlihat judgement terhadap laki-laki yang pada akhirnya laki-laki mendapat impact (negative). Sehingga perempuan menilai bahwa laki-laki itu iseng, perempuan jadi takut laki-laki dan merasa tidak nyaman ketika melewati banyak laki-laki di hadapannya bahkan menyebabkan traumatis tersendiri bagi korban.

Kedua, dampak yang paling rendah, Cat-Calling yang dampaknya paling rendah yang hanya digoda dampaknya perempuan akan merasa tidak aman jalan di Jakarta. "gak mau ah lewat situ, banyak laki-lakinya nanti gue di Cat-Calling-in" ada trauma tersendiri padahal laki-laki tersebut tidak bermaksud apa yang dipikirkan perempuan tersebut.

Dari kejadian perilaku Cat-Calling tersebut bisa jadi korban akan merasa bahwa dia akan menilai dirinya bukan menjadi perempuan utuh, tetapi jadi objectified. Korban akan menilai bahwa "oh saya tuh memang besar dari badan aja, saya tidak pernah di nilai sebagai diri saya sendiri". Karena jarang orang di Cat-Calling-in "kamu pinter banget ya" pasti yang di nilai hanya body nya (luarnya). Sehingga korban akan kesulitan dan terganggu dalam self esteem-nya karena ketakutan dan trauma yang dialaminya.

Rr. Ayu Ratih Puteri, M.Psi menjelaskan untuk penanggulangan pertama yang harus dilakukan oleh korban ketika mengalami hal ini adalah mau terbuka kepada orang yang paling dipercayanya atau dengan yang profesional seperti psikolog.

"Kita harus bisa berempati kepada korban dan membantunya agar tidak takut dan trauma dengan meng-expose hal yang baik dari diri si korban dan mendukungnya agar bisa bangkit dari keterpurukan kejadian yang dialaminya serta menunjukkan kepada si korban bahwa tidak semua orang berperilaku seperti itu hingga membuatnya merasa aman dengan di kelilingi oleh orang-orang yang peduli dengannya," imbuhnya.

Puteri menegaskan bahwa perilaku Cat-Calling sama halnya dengan sexual harassment (pemerkosaan). Bagaimanapun penampilan seseorang akan tetap menjadi korban yang disebabkan otak pelaku yang membuatnya.

"Preventif itu bukan pada saya, perempuan atau bukan pada korban. Jadi bukan masalah di korbannya tapi di edukasi ke orang-orang siapapun itu (bukan untuk korbannya) bahwa Cat-Calling itu it's not okay. Pertama, Cat-Calling gak okay, percuma tampan/cantik, Cat-Calling itu hanya nunjukin kalau lo sebenarnya punya ketakutan dan ketidakmampuan yang mau lo bayar pakai--semu banget bahwa lo bisa menguasai orang lain," ujar Puteri.

Puteri juga menambahkan bahwa kita tidak boleh takut dalam melawan perilaku Cat-Calling, kita harus berani dalam bertindak agar oknum tidak berbuat semena-mena kepada kita.

"Be brave, bahwa kita tidak pantas diperlakukan seperti itu. Kita harus stand up bahwa kita berhak untuk menjaga diri kita sendiri. Kalau memang merasa penting bawa alat bela diri seperti taser atau spray, atau langsung ngomong ke pihak terkait "Anda pikir sopan gak kalau kayak gitu?" tanyakan ke oknum jika ada yang mengikuti kita," pungkas Puteri.

Problematikanya adalah, banyak laki-laki yang terjebak dalam paradigma lama yang melegitimasi budaya patriarki. Dengan demikian, perlunya sosialisasi dan kampanye oleh NGO (Non Government Organization), aktivis dan civitas akademika  mengenai cat-calling agar gangguan Cat-Calling dapat di hilangkan. 

Bahkan terkadang, orang yang memiliki catatan pendidikan tinggi  justru mempunyai perilaku seksual yang kurang waras. Kalau dirasa tidak suka atau merasa terganggu jangan segan untuk mengatakan, bahkan kalau sudah merendahkan atau melecehkan jangan terlalu mentolerir. Dengan mewajarkannya sama saja kita memudahkan mereka menjadikan kita sebagai objek seksualnya.

Di panggil atau digoda mungkin pernah dialami bagi sebagian besar yang lumrah terjadi pada perempuan. Lebih dari itu, bahkan ada beberapa perempuan yang mengalami pelecehan seksual secara fisik maupun verbal yang berdampak pada psikis korban atau kejadian yang tidak diinginkan penerima (korban) yaitu perilaku Cat-Calling (sexual violence/sexual harassment), di mana sebagian besar korbannya adalah perempuan.

Perilaku Cat-Calling memang sudah membudaya di masyarakat Indonesia saat ini, bahkan di luar negeri-pun demikian. Kendati demikian, merubah pola pikir yang menjamur agar mengetahui akan bahaya Cat-Calling memang tidak mudah, namun perlu dilakukan agar meminimalisir adanya korban yang berdampak pada psikisnya. 

Perlunya peran aktivis sosial dan seluruh komponen masyarakat harus menjadi pelopor dalam menghentikan perilaku Cat-Calling. Stereotip yang menjamur di masyarakat kita saat ini perlu di hilangkan atau paling tidak di minimalisir. Menumbangkan budaya patriarki adalah salah satu cara untuk berani melawan tindak kejahatan seksual. Dengan begitu, aksi ini akan mendobrak hal baru dan membangun konstruksi sosial yang mapan dengan menginspirasi orang lain untuk berani melawan tindak kejahatan seksual.

Penulis: Salam Rahmad

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun