Perlunya sikap represif dalam hal ini sangat berpengaruh ke depannya bagi psikis korban. Hal ini sesuai apa yang dikatakan Puteri, bukan tidak mungkin dengan adanya perilaku ini tidak menimbulkan dampak.
Ada dua hal yang ditimbulkan bagi korban. Pertama, secara yang sangat besar, contohnya "assalamualaikum, hai cewek, mau ke mana?". Dari situ sudah terlihat judgement terhadap laki-laki yang pada akhirnya laki-laki mendapat impact (negative). Sehingga perempuan menilai bahwa laki-laki itu iseng, perempuan jadi takut laki-laki dan merasa tidak nyaman ketika melewati banyak laki-laki di hadapannya bahkan menyebabkan traumatis tersendiri bagi korban.
Kedua, dampak yang paling rendah, Cat-Calling yang dampaknya paling rendah yang hanya digoda dampaknya perempuan akan merasa tidak aman jalan di Jakarta. "gak mau ah lewat situ, banyak laki-lakinya nanti gue di Cat-Calling-in" ada trauma tersendiri padahal laki-laki tersebut tidak bermaksud apa yang dipikirkan perempuan tersebut.
Dari kejadian perilaku Cat-Calling tersebut bisa jadi korban akan merasa bahwa dia akan menilai dirinya bukan menjadi perempuan utuh, tetapi jadi objectified. Korban akan menilai bahwa "oh saya tuh memang besar dari badan aja, saya tidak pernah di nilai sebagai diri saya sendiri". Karena jarang orang di Cat-Calling-in "kamu pinter banget ya" pasti yang di nilai hanya body nya (luarnya). Sehingga korban akan kesulitan dan terganggu dalam self esteem-nya karena ketakutan dan trauma yang dialaminya.
Rr. Ayu Ratih Puteri, M.Psi menjelaskan untuk penanggulangan pertama yang harus dilakukan oleh korban ketika mengalami hal ini adalah mau terbuka kepada orang yang paling dipercayanya atau dengan yang profesional seperti psikolog.
"Kita harus bisa berempati kepada korban dan membantunya agar tidak takut dan trauma dengan meng-expose hal yang baik dari diri si korban dan mendukungnya agar bisa bangkit dari keterpurukan kejadian yang dialaminya serta menunjukkan kepada si korban bahwa tidak semua orang berperilaku seperti itu hingga membuatnya merasa aman dengan di kelilingi oleh orang-orang yang peduli dengannya," imbuhnya.
Puteri menegaskan bahwa perilaku Cat-Calling sama halnya dengan sexual harassment (pemerkosaan). Bagaimanapun penampilan seseorang akan tetap menjadi korban yang disebabkan otak pelaku yang membuatnya.
"Preventif itu bukan pada saya, perempuan atau bukan pada korban. Jadi bukan masalah di korbannya tapi di edukasi ke orang-orang siapapun itu (bukan untuk korbannya) bahwa Cat-Calling itu it's not okay. Pertama, Cat-Calling gak okay, percuma tampan/cantik, Cat-Calling itu hanya nunjukin kalau lo sebenarnya punya ketakutan dan ketidakmampuan yang mau lo bayar pakai--semu banget bahwa lo bisa menguasai orang lain," ujar Puteri.
Puteri juga menambahkan bahwa kita tidak boleh takut dalam melawan perilaku Cat-Calling, kita harus berani dalam bertindak agar oknum tidak berbuat semena-mena kepada kita.
"Be brave, bahwa kita tidak pantas diperlakukan seperti itu. Kita harus stand up bahwa kita berhak untuk menjaga diri kita sendiri. Kalau memang merasa penting bawa alat bela diri seperti taser atau spray, atau langsung ngomong ke pihak terkait "Anda pikir sopan gak kalau kayak gitu?" tanyakan ke oknum jika ada yang mengikuti kita," pungkas Puteri.
Problematikanya adalah, banyak laki-laki yang terjebak dalam paradigma lama yang melegitimasi budaya patriarki. Dengan demikian, perlunya sosialisasi dan kampanye oleh NGO (Non Government Organization), aktivis dan civitas akademika  mengenai cat-calling agar gangguan Cat-Calling dapat di hilangkan.Â