Pengakuan lainnya disampaikan oleh FC yang menganggap perilaku Cat-Calling seperti di siul atau perlakuan lainnya sebagai hal yang wajar dialami perempuan, ia juga menanggapinya dengan santai dan cuek dengan tidak mempedulikannya.
"Kalau di siulin gue melengos (buang muka)," ungkap FC.
Beragam bentuk perkataan yang di lontarkan oleh oknum kepada korban saat melakukan Cat-Calling tersebut, mulai dari mencibir hingga memuji namun dengan maksud menggoda korbannya.
"Yang sekarang aku rasain, kalau berangkat ke kampus selalu ngelewatin bengkel suka di "cewek" dan "assalamualaikum", walaupun dia mengucapkan salam seperti itu tapi bukan untuk menyapa antar sesama Muslim, tapi lebih kepada pelecehan secara tidak langsung," tegas AP.
"Tapi kalau "assalamualaikum canttik" atau "hai merah" itu masih bisa gue tolerir karena sudah biasa. Kalau di peributkan malah jadi capek dan gak mau buang-buang energi gue buat orang-orang yang punya kebiasaan kayak gitu," ujar FC.
Hal serupa juga dialami MA ketika ia bersama teman-temannya pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di daerah Kebayoran Baru, saat itu MA berjalan di area pertokoan dan di tempat tersebut ada oknum-oknum pria paruh baya yang sudah menunggu mangsanya datang.
"Padahal di situ gue udah pakai kerudung tapi masih ada yang bersiul dan "assalamualaikum, neng". Nah, assalamualaikum-nya itu sudah termasuk Cat-Calling," ujar MA dengan nada tegas.
Dalam kasus ini, mayoritas korbannya adalah perempuan, hal ini dikarenaka mereka (oknum) merasa dirinya memiliki kekuatan dalam menjalankan aksinya. Cat-Calling bisa menimpa siapapun, tidak mengenal gendernya. Namun bagi mereka, perempuan diperlakukan seperti itu tidak akan bisa berbuat apa-apa, tidak bisa membalas, sehingga banyak perempuan yang menjadi korban Cat-Calling.
"Karena bentuk-bentuk seksisme lahir dari budaya patriarki di Indonesia, cowok ganjen ke cewek lalu menggoda cewek itu dipandang sebagai hal yang wajar, tapi ketika cewek yang menggoda cowok itu dianggap cewek gak benar. Ada pandangan berbeda cewek dan cowok berasal dari budaya patriarki yang mendarah daging," ungkap FC.
Hal ini senada yang dikatakan Erlina Rakhmawati selaku aktivis Gerakan Mengakhiri Perilaku Cat-Calling yang juga aktif dalam relawan di beberapa gerakan perempuan dan anak. Erlina menuturkan bahwa cara pandang patriarki yang mengobjektifikasi perempuan, membuat perempuan atau gender perempuan yang paling banyak menjadi korban Cat-Calling.
Seperti yang dikatakan FC, laki-laki dianggap masyarakat memiliki pandangan umum bahwa laki-laki memang sudah secara alamiah atau biologis seperti itu. Sedangkan perempuan lebih "adem ayem" masih melekat di masyarakat. Perempuan dianggap tidak membutuhkan kebutuhan seksual (diam, terima-terima saja) dan laki-laki lebih agresif (dominan dalam menetukan objek seksualnya).