Mohon tunggu...
salahudin tunjung seta
salahudin tunjung seta Mohon Tunggu... Administrasi - Individu Pembelajar

Mohon tinggalkan jejak berupa rating dan komentar. Mari saling menguntungkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bentuk Egoisme Pertama Orang Tua terhadap Anak

20 Februari 2022   16:52 Diperbarui: 20 Februari 2022   16:59 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang tua mana yang tidak mau anaknya sukses dan hidup dengan nyaman melebihi apa yang sudah mereka (orang tua) dapatkan. Harapan-harapan orang tua diletakkan pada pundak anak-anaknya. 

Saking tingginya harapan orang tua terhadap anaknya, tidak sedikit orang tua mengalokasikan penuh sumber dayanya untuk menunjang kesuksesan anaknya kelak, mulai dari diikutkan bimbingan belajar hingga dipilihkan sekolah dengan kualitas nomer wahid. 

Walaupun memang ada orang tua yang lebih demokratis dengan membebaskan anaknya untuk memilih jalan hidupnya, tetapi sebagai orang tua tetap ada sisi egoisnya.

Salah satu sisi egoisme yang hampir semua orang tua lakukan adalah pada saat memberikan sebuah nama kepada anaknya. Tetapi apa kuasa kita sebagai anak bayi ketika dahulu dilahirkan untuk memilih nama ? 

Ya, benar hanya saja yang dimaksud di sini adalah memberikan nama kepada anak dengan ambisi-ambisi orang tuanya tanpa mempertimbangkan dampak terhadap anaknya nanti.

Menurut Feuerbach seorang filsuf kenamaan Jerman, esensi dari manusia adalah ketika dia bisa mengejawantahkan dirinya pada dunia material (dunia nyata). Jadi eksistensi dia terasa oleh manusia lain. 

Karena itu, Feuerbach menyatakan bahwa esensi dari manusia adalah akal budi, kehendak, dan perasaan karena ketiga bagian tersebut aktif ketika manusia bersentuhan dengan dunia nyata. 

Akal budi aktif ketika ada sesuatu yang dipikirkan, kehendak aktif ketika ada yang diinginkan, dan perasaan aktif ketika ada sesuatu yang bisa dirasakan. 

Tetapi itu adalah ketika manusia dengan kondisi sempurna, bagaimana ketika misal manusia tersebut memiliki suatu keterbatasan dan tidak dapat bersentuhan dengan keadaan obyektif dan mengejawantahkan ketiga atau salah satu bagian dari yang disebut Feuerbach tersebut. Apakah berarti dia bukanlah manusia ? atau disebut sudah tidak ada ?

Menurut saya salah satu alasan manusia dapat dikatakan eksis (ada) di dunia adalah adanya Nama Diri. Nama ada ketika ada sebuah wujud, misalnya manusia. 

Makanya ketika manusia baru lahir akan diberikan nama yang punya unsur unik agar berbeda dengan manusia-manusia yang sudah ada. Itu adalah usaha buat menyatakan bahwa dia eksis di dunia.

Misal, Soekarno dengan nama kecilnya yaitu Koesno sebelum menjadi presiden dan aktif di dunia politik. Orang-orang sekitarnya, tetangga-tetangganya, saudara-saudaranya mengetahui Koesno adalah sebagai anak dari Bapak Soekemi Sosrodihardjo. 

Dia ada, sehingga misal apabila Koesno sedang tidak ada di tempat biasa dia bermain, dan kawan-kawannya akan menggunjingnya, maka tinggal sebut saja "si Koesno itu ya, orangnya...." maka sudah dengan otomatis dalam otak kawan-kawannya itu menggambarkan Koesno anak Bapak Soekemi. 

Orang tua cenderung memberikan nama dengan ambisi yang dahulu tidak berhasil mereka raih. Misal memberikan nama anaknya dengan nama-nama tokoh, nama pemain bola, bahkan nama tokoh fiksi. 

Namun selama hal tersebut dapat diterima oleh masyarakat dan tidak membawa dampak negatif kepada anaknya nanti, menurut hemat saya hal itu bisa diterima. 

Hanya saja apabila misal hal tersebut menimbulkan kesulitan bagi anaknya di kemudian hari, itu yang seharusnya menjadi kritik bagi kita sebagai calon orang tua (bagi kawan-kawan yang memilih untuk nantinya akan membangun keluarga).

Kita masih ingat dengan persoalan nama-nama unik seperti Ibu Guru yang bernama Kukira Januari. Pemilik nama unik ini mengaku sering menjadi korban bullying dan sempat memprotes orang tuanya karena malu dan kesal dengan nama yang diberikan kepadanya. 

Namun syukur Kukira Januari memiliki mental yang kuat, hingga akhirnya dia menerima nama pemberian orang tuanya dan memutuskan untuk tidak mewarisi sikap orang tuanya dalam memberi nama anaknya karena merasa kasihan kepada anaknya apabila nanti menjadi korban perundungan dan bahan tertawaan seperti dirinya. 

Pada menjelang akhir 2021 juga terdapat kasus terkait nama unik di Indonesia. Kasus anak bayi yang diberikan nama oleh orang tuanya dengan 19 rangkaian nama. 

Namanya adalah Rangga Madhipa Sutra Jiwa Cordosega Akre Askhala Mughal Ilkhanat Akbar Sahara Pi-Thariq Ziyad Syaifudin Quthuz Khoshala Sura Talenta. 

Dengan nama yang sangat panjang tersebut membuat orang tua dari si bayi tersebut merasa kesulitan untuk mendapatkan Akta Kelahiran. Hal itu karena nama dari si bayi ini melebihi 50 karakter. 

Baru lahir saja si bayi sudah kesulitan dalam menghadapi birokrasi buat mendapatkan Akta Kelahiran, apa lagi apabila misal nama panjang tersebut bisa dipakainya hingga dewasa. Bisa-bisa dia kebingungan untuk menuliskan namanya sendiri di kolom identitas ketika mengerjakan soal ujian. 

Jadi selain harus memberikan nama anak dengan sebutan yang tidak menimbulkan perundungan. Orang tua juga harus memberikan nama anak dengan mempertimbangkan bagaimana dia nanti ketika berhadapan dengan birokrasi. Selain panjangnya sebuah nama, ejaan dan penulisan juga patut untuk menjadi perhatian. 

Dewasa ini, para 'orang tua baru' sering memberikan nama dengan huruf Q, Z, C dan Y, bahkan dengan gaya penulisan yang unik seperti meletakan dua huruf E berdampingan, seperti contoh Queenza. 

Penulisan nama yang sepertinya sedang menjadi trend saat ini tersebut, patut untuk dipertimbangkan bagi kalian yang akan menjadi orang tua. Karena hal itu bukan tidak mungkin bakal membuat anak kesulitan ketika berhadapan dengan proses birokrasi,  seperti ketika membuat SIM, KTP, dan lain-lain. 

Nama memang di dalamnya terkandung doa. Namun yang perlu diperhatikan juga, yaitu setinggi apapun arti dari nama, tetap soal akhlak, perilaku dan kesuksesan itu lahir karena lingkungan dan didikan moral orang tuanya. 

Bukan total dari nama saja. "Pinangki Sirna Malasari"  nama yang bagus untuk seorang wanita, tetapi tahu atau tidak kalian kalau nama itu adalah nama terpidana kasus korupsi. 

Jadi sebagus apapun nama apabila didikan moral orang tuanya kurang mumpuni, anak pun bakal bisa terpengaruh dan memiliki watak yang kurang baik, apabila lingkungannya jelek juga, sebagus apapun namanya, nantinya juga bakal mempengaruhi pribadi anak menjadi kurang baik.

Pada akhirnya nama hanyalah nama. Fungsinya adalah sebagai penanda bahwa seorang manusia eksis, ada di hadapan hukum (negara) dan secara sosial. Bagi kalian para calon orang tua, jangan mengedepankan ego kalian dalam memberikan nama anak, pertimbangkan nasib anak ke depannya. 

Sebagus apapun nama anak yang kita berikan, apabila gagal memberikan lingkungan yang baik, dan memberikan pendidikan moral, juga memberikan contoh yang baik, tentu ada kemungkinan anak akan tumbuh tidak sesuai dengan arti nama yang kita berikan kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun