Tulisan Nugroho dan sikap Pemerintah menuai polemik di tengah masyarakat. Pasalnya peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila pada tahun 1970 tiba-tiba saja dilarang untuk diperingati, sekaligus diikuti oleh adanya buku yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI 1971 yang menjelaskan bahwa Pancasila yang sah adalah lahir 18 Agustus 1945. Hal ini menyebabkan adanya polemik mengenai siapa penggali Pancasila.Â
Menurut Asvi (2009:41-42) pemerintah merespon dengan membentuk Panitia Lima pada tahun 1974. Panitia ini diketuai oleh Bung Hatta dengan anggota Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario dan A.G. Pringgodigdo.Â
Panitia Lima ini menghasilkan buku "Uraian Pancasila oleh Panitia Lima" dan oleh Panitia Lima diakui bahwa Soekarno adalah tokoh pertama yang berpidato dan mengungkapkan nama Pancasila sebagai dasar negara. Namun keputusan dari Panitia Lima tidak digubris oleh pemerintah Orde Baru, dan tetap mempertahankan tafsiran sejarah dari Pusat Sejarah ABRI. (Asvi Warman Adam, Lipi.go.id)
Selain itu, muncul juga respon atas pelarangan peringatan 1 Juni dan de-Soekarnoisasi, yaitu dengan diselenggarakannya Deklarasi Pancasila pada 17 Agustus 1981 di Monumen Soekarno-Hatta, Jalan Proklamasi.Â
Deklarasi tersebut ditandatangani oleh 17 orang, anatar lain Manai Sophian, Usep Ranawidjaja, Jusuf Hasyim, H.M Sanusi, Slamet Branata, Hugeng dan HR Dharsono. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa 1 Juni 1945 adalah hari lahirnya Pancasila dan Soekarno adalah satu-satunya yang mengemukakan Pancasila sebagai dasar negara (Peter Kasenda, www.peterkasenda.wordpress.com)
Hatta, seorang yang juga mengikuti Sidang BPUPKI hingga sidang PPKI, pasca ketidakpedulian Orde Baru atas keputusan dari Panitia Lima, tetap memegang teguh sikapnya bahwa Soekarno adalah penggali Pancasila, dan 1 Juni 1945 merupakan hari lahirnya Pancasila.
J.J. Rizal, sejarawan, dalam artikelnya yang dimuat tirto.id menyatakan bahwa Hatta sebagaimana dalam "Surat Wasiat" yang ditulisnya dan ditujukan kepada Guntur Soekarnoputra pada 1980 menjelaskan bahwa pidato Soekarno, 1 Juni 1945, diterima secara antusias oleh semua peserta rapat BPUPKI.Â
Hal tersebut dibuktikan dengan dibentuknya Panitia Kecil yang beranggotakan Sembilan orang, termasuk Hatta, Soekarno dan Yamin, yang hanya membuat perubahan-perubahan kecil. Jadi, dasar utama Pancasila sebagaimana tertulis pada Pembukaan UUD 1945 bersumber dari pidato Soekarno 1 Juni 1945.
Orde Baru membentuk legitimasi dari penafsiran sejarah dan militer. Dapat dilihat bagaimana pasca G30S, militer langsung mengambil kendali situasi dan berlangsung hingga menyingkirkan semua loyalis Soekarno dalam pemerintahan hingga akar rumput.Â
Tak cukup sampai disitu, karena peran Soekarno pun diminorkan dalam sejarah dan Revolusi Indonesia dengan penafsiran sejarah dan sekali lagi militer memegang peran penting dengan Pusat Sejarah ABRI. Maka menjadi tidak berlebihan bahwa Orde Baru membangun legitimasi kekuasaannya dengan militer, de-Soekarnoisasi dan penafsiran sejarah.
Sebuah Artikel dengan judul "De-Soekarnoisasi dalam Wacana Resmi Orde Baru: Kilas-Balik Praktek-Praktek Rekayasa Kebenaran dan Wacana Sejarah Oleh Rejim Orde Baru" dipublikasi oleh Jurnal Fisipol UGM, JSP Vol.2 No.1, Juli 1998 yang ditulis Agus Sudibyo, menjelaskan bahwa sejak awal kekuasaan orde baru, Soeharto telah menempatkan pengaruh dan simbol-simbol Bung Karno yang masih kuat menancap dalam realitas psiko-historis bangsa sebagai ancaman terhadap legitimasi kekuasaan Orde Baru.Â