Pengambilalihan kekuasaan negara oleh Soeharto secara bertahap dapat disebut sebagai kudeta merangkak dengan dilakukan di bawah usaha terselubung untuk mencegah kudeta.Â
Sedangkan menurut Soebandrio, mantan Kepala Badan Pusat Intelejen sebagaimana dikutip oleh Asvi Warman Adam (2009:153) membagi apa yang disebut kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto menjadi empat tahap:
1) menyingkirkan para jenderal saingannya melalui pembunuhan yang terjadi tanggal 1 Oktober 1965 dini hari; 2) membubarkan PKI, partai dengan jumlah anggota beberapa juta orang, yang merupakan salah satu partai pendukung Soekarno; 3) menangkap 15 orang menteri yang loyal kepada Soekarno; 4) Merenggut kekuasaan dari Soekarno.
Setelah secara yuridis Soeharto memegang kekuasaan sebagai presiden dengan dikeluarkannya TAP MPRS No. XXXIII/1967, Kopkamtib yang semula diperuntukan untuk menghadapi kondisi darurat pasca G30S, oleh Soeharto tetap dipertahankan kedudukannya, walaupun Soeharto telah ditetapkan sebagai Presiden oleh MPRS, dan nantinya tetap dipertahankan hingga 1998 (1988 diubah menjadi Bakorstanas). Â Â Â
Kopkamtib ini yang nantinya pada 1 Juni 1970 menyatakan bahwa peringatan hari lahir Pancasila dilarang untuk diselenggarakan.
Pasca penetapan pelarangan penyelenggaraan peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 1970 oleh Kopkamtib, Nugroho Notosusanto yang merupakan dosen sejarah UI dan sempat menjadi Rektor UI pada 1982, menulis buku dengan judul "Proklamasi jang Otentik dan Rumusan Pancasila jang Otentik" yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI pada tahun 1971.Â
Buku ini menjelaskan bahwa Pancasila yang autentik adalah rumusan Pancasila 18 Agustus 1945 karena Pancasila seperti dalam pembukaan UUD 1945 dilahirkan secara sah berlandasakan pada Proklamasi.
Selain itu, dijelaskan pula bahwa lahirnya suatu gagasan tidak perlu dikaitkan secara mutlak pada salah satu tokoh (Asvi Warman Adam, 2009:28).
Jelas bahwa buku yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI pada 1971 itu menjadi satu rangkai dari sikap Kopkamtib pada 1 Juni 1970.
Tak heran tentu saja apabila apa yang telah ditulis oleh Nugroho dan diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI disambut oleh pemerintah dan menjadikannya bagian dari paket indoktrinasi dalam pendidikan aparatus birokrasi Orde Baru dan ABRI.
Selain itu, karya Nugroho tersebut pun menjadi bacaan wajib bagi para guru yang mengajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan para pandu BP7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dalam penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). (J.J Rizal, Tirto.id)