RUMAH BERDURI
Penulis: Sam Saiful Amri
“Kami sudah bercerai, Pak. Dia mengurus semua persyaratan perceraian. Saya pasrah,” cerita Kang Cakra kepadaku. Terlihat genangan air mata tapi segera ia sembunyikan dariku.
***
PAGI itu, aku menyempatkan waktu ke kolam ikan milikku yang letaknya agak jauh dari rumah. Aku sengaja berjalan kaki, hitung-hitung sambil jogging. Kebetulan hari libur sehingga bisa relaks di pagi hari sambil berolahraga dan menikmati pemandangan desa yang asri.
Biasanya aku sarapan sebelum berangkat kerja. Namun, hari itu aku ingin sarapan hucap di kios baru yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Hucap adalah tahu dan kecap. Itu kuliner khas Kabupaten Kuningan. Sebagian orang menyebutnya kupat tahu karena menu utamanya adalah ketupat dan tahu goreng.
Dia adalah Kang Cakra, penjual hucap. Kiosnya masih baru sehingga membuatku tergiur ingin mencicipi masakannya. Selain hucap, ia juga menjual kopi dan camilan.
“Kang, hucap saporsi,” pintaku satu porsi hucap.
“Muhun, Pak. Bade dibungkus atanapi tuang di dieu?” jawabnya dilanjutkan pertanyaan apakah mau dibungkus atau dimakan di kiosnya.
“Di dieu bae, Kang,” kataku bahwa aku ingin makan di kiosnya.
Kang Cakra segera menggoreng tahu dan menyiapkan ketupatnya di piring. Begitulah cara menyajikan hucap. Tahu digoreng segera setelah ada pesanan agar disantap hangat. Kemudian dipotong-potong dan dicampur ketupat. Terakhir ditaburi saus kacang.
Sambil menunggu ia menyajikan hucap, pandanganku terpaku pada seorang anak kecil sekitar usia tiga tahun. Ia sedang asyik menyantap sarapannya sepiring hucap. Peristiwa itu menggelitik rasa keingintahuanku.
“Kang, ini anaknya?” tanyaku.
“Iya, Pak,” jawabnya.
“Punya berapa anak?” tanyaku lagi.
“Punya dua orang, Pak. Yang besar bersama kakeknya di rumah,” jawabnya menjelaskan.
“Di mana rumahnya?” tanyaku.
“Di ujung gang jalan ini, Pak.”
“Ibunya kerja?” selidikku.
“Kami sudah bercerai, Pak. Dia mengurus semua persyaratan perceraian. Saya pasrah,” cerita Kang Cakra kepadaku. Terlihat genangan air mata tapi segera ia sembunyikan dariku.
“Maaf, mengapa hingga bercerai?” selidikku lagi.
“Semua berawal ketika saya berhenti sebagai karyawan sebuah waralaba di Jakarta. Gaji yang saya terima hanya habis untuk kebutuhan makan sehari-hari. Saya memutuskan untuk berwiraswasta seperti rekan saya yang sukses dengan usahanya. Namun, pandemi Covid-19 membuat usaha saya bangkrut. Istri saya selalu marah-marah dan menyalahkan saya,” cerita Kang Cakra panjang lebar. Aku serius mendengarkan sambil menyantap hucap.
“Saya setuju dengan pendapat, Akang, bahwa berwiraswasta akan memperoleh penghasilan di atas gaji seorang karyawan,” kataku.
“Saya benar-benar tidak kuat mendengar ocehannya setiap hari. Dia selalu berulang-ulang mengungkit-ungkit kesalahan saya.”
“Menurut saya, keputusan Akang, tidak salah,” sanggahku.
“Ini semua dampak pandemi Covid-19. Usaha yang baru saya jalani empat bulan, berbuah kerugian. Rumah tangga saya menjadi tidak harmonis. Batin saya sakit karena ekonomi keluarga sangat kekurangan, istri menuntut cerai, usaha bangkrut, sulit mencari pekerjaan, dan banyak masalah lainnya. Kami seakan tinggal di rumah berduri. Saya benar-benar bingung harus berbuat apa. Keadaan begitu menakutkan. Ingin mempertahankan keluarga dan mengajak istri pindah dari Jakarta ke desa saya ini tapi dia tidak mau. Banyak sekali alasan yang ia utarakan. Akhirnya saya pasrah pada permintaannya untuk bercerai. Setelah proses cerai selesai, saya memboyong kedua anak saya ke rumah orang tua saya di desa ini,” jelas Kang Cakra sehingga air matanya tak mampu dibendung lagi.
“Semoga di desa ini, Akang menemui kenyamanan,” doaku.
“Amin. Terima kasih doanya, Pak.”
“Sama-sama.”
“Maaf, Pak, saya telah curhat kepada Bapak. Saya benar-benar tak mampu membendung kesedihan hingga saat ini. Mengapa hidup kami begitu berat,” ucapnya.
“Tidak apa-apa, Kang. Semua orang memiliki masalah. Jika kita merasakan suatu permasalahan yang berat hingga bingung dalam keadaan yang mencekam, mungkin saja orang lain memiliki masalah yang lebih berat dan lebih mencekam. Kita wajib berikhtiar tapi keputusan tergantung Allah SWT Yang Mahatahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya,” nasihatku. (Sam).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H