Mohon tunggu...
Saiful Amri
Saiful Amri Mohon Tunggu... Editor - Penilik PAUD Disdikbud Kab. Kuningan, Ketua Pegiat Literasi Kab. Kuningan

Nama panggilan Mr. Sam. Penerima Penghargaan Jambore GTK Hebat Juara 2 Penilik Inovatif Prov. Jawa Barat Tahun 2024. Senang menulis genre apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Berduri

17 Januari 2025   10:00 Diperbarui: 17 Januari 2025   19:02 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Saiful Amri (Sumber: Meta AI)

“Semua berawal ketika saya berhenti sebagai karyawan sebuah waralaba di Jakarta. Gaji yang saya terima hanya habis untuk kebutuhan makan sehari-hari. Saya memutuskan untuk berwiraswasta seperti rekan saya yang sukses dengan usahanya. Namun, pandemi Covid-19 membuat usaha saya bangkrut. Istri saya selalu marah-marah dan menyalahkan saya,” cerita Kang Cakra panjang lebar. Aku serius mendengarkan sambil menyantap hucap.

“Saya setuju dengan pendapat, Akang, bahwa berwiraswasta akan memperoleh penghasilan di atas gaji seorang karyawan,” kataku.

“Saya benar-benar tidak kuat mendengar ocehannya setiap hari. Dia selalu berulang-ulang mengungkit-ungkit kesalahan saya.”

“Menurut saya, keputusan Akang, tidak salah,” sanggahku.

“Ini semua dampak pandemi Covid-19. Usaha yang baru saya jalani empat bulan, berbuah kerugian. Rumah tangga saya menjadi tidak harmonis. Batin saya sakit karena ekonomi keluarga sangat kekurangan, istri menuntut cerai, usaha bangkrut, sulit mencari pekerjaan, dan banyak masalah lainnya. Kami seakan tinggal di rumah berduri. Saya benar-benar bingung harus berbuat apa. Keadaan begitu menakutkan. Ingin mempertahankan keluarga dan mengajak istri pindah dari Jakarta ke desa saya ini tapi dia tidak mau. Banyak sekali alasan yang ia utarakan. Akhirnya saya pasrah pada permintaannya untuk bercerai. Setelah proses cerai selesai, saya memboyong kedua anak saya ke rumah orang tua saya di desa ini,” jelas Kang Cakra sehingga air matanya tak mampu dibendung lagi.

“Semoga di desa ini, Akang menemui kenyamanan,” doaku.

“Amin. Terima kasih doanya, Pak.”

“Sama-sama.”

“Maaf, Pak, saya telah curhat kepada Bapak. Saya benar-benar tak mampu membendung kesedihan hingga saat ini. Mengapa hidup kami begitu berat,” ucapnya.

“Tidak apa-apa, Kang. Semua orang memiliki masalah. Jika kita merasakan suatu permasalahan yang berat hingga bingung dalam keadaan yang mencekam, mungkin saja orang lain memiliki masalah yang lebih berat dan lebih mencekam. Kita wajib berikhtiar tapi keputusan tergantung Allah SWT Yang Mahatahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya,” nasihatku. (Sam).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun