Mohon tunggu...
Saifoel Hakim
Saifoel Hakim Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Orang biasa yang hidup biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Jumat

4 Agustus 2023   17:39 Diperbarui: 4 Agustus 2023   17:43 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebaiknya Anda batalkan membaca jika berharap bahwa cerita saya ini adalah cerita horor. Tidak ada yang menakutkan, hanya mengejutkan. Tidak ada wujud gaib menyeramkan, tapi bisa membuat saya percaya bahwa ada yang tidak bisa didekati dengan akal yang hanya bertumpu pada fakta-fakta material.

Sebelum kejadian ini, saya orangnya sangat rasional sehingga tidak percaya tentang soal setan dan 'demit' yang kurang kerjaan menakuti-nakuti manusia. Bagi saya, yang menakutkan itu justru manusia! Sampai suatu ketika saya mengalami sebuah kejadian, logika dan nalar saya dipaksa untuk percaya bahwa ada yang 'tidak masuk akal' yang didefinisikan oleh kebanyakan orang sebagai setan, mahluk halus, hantu, memedi, jurig, roh orang mati dan lain sebagainya. 

Saya akan ceritakan kejadian itu tanpa perlu menyebut di mana tempat terjadinya agar daerah itu tetap seperti sekarang ini, tidak berubah menjadi daerah yang semakin menyeramkan dan dihindari.

Waktu itu di kantor saya, beberapa orang terpaksa harus lembur karena besok bos akan mengikuti tender di sebuah BUMN. Saya bertanggung jawab untuk memastikan bahwa dokumen tender sudah lengkap dan siap. Jadi, suka tidak suka, saya harus menjadi orang terakhir yang keluar dari kantor untuk pulang.

"Belum bisa pulang ya, Pak?... hehehe," kata Jhon di depan ruangan saya sambil mengenakan jaketnya.

"Iya nih, tinggal menunggu timnya Dadang..., belum selesai juga dia," jawab saya.

"Sekarang sudah hampir jam sebelas, Bapak pulang lewat mana? Nggak takut Pak?"

"Takut apa Jhon? Sudah bertahun-tahun saya lewat jalan yang sama, Alhamdulillah tidak apa-apa."

"Inikan malam Jumat, Pak?"

"Mau malam Jumat, malam Sabtu, malam Minggu, apa bedanya Jhon? Semuanya malam kan?"

"Yah..., Bapak tidak baca berita viral kemarin? Ada ojol yang mengantar penumpang ke tengah makam, ternyata yang diantar berubah jadi Kunti. Itukan komplek pemakaman di jalan yang Bapak lewati?"

"Banyak jalan menuju Roma Jhon! Hahaha..., gue gak percaya ama yang kaya gitu!," kata saya meyakinkan Jhon bahwa saya tidak pernah percaya cerita-cerita tak masuk akal.

"Ya sudah..., saya izin duluan Pak, hati-hati nanti di jalan Pak!," kata Jhon mengakhiri pembicaraan.

"Ok, hati-hati juga," jawab saya sambil mengacungkan jempol.

Sebetulnya, saya juga merasa khawatir pulang terlalu larut, tapi bukan karena takut pada hantu atau sejenisnya! Saya justru khawatir akan adanya begal yang belakangan marak. Mereka semakin kejam dan tidak lagi menghargai nyawa. Komplek pemakaman yang disebutkan oleh Jhon memang jalan terdekat yang biasa saya lewati untuk berangkat dan pulang kerja. Ada beberapa jalan alternatif lainnya, tapi lebih jauh dan bisa memakan waktu tambahan 30 menit dalam kondisi jalanan sepi. 

Jalan yang melintasi pemakaman tersebut cukup terang di malam hari karena sudah banyak lampu di kedua sisinya. Jalan itu panjangnya sekitar 500 meter dan membelah di tengah-tengah pemakaman. Setiap kali saya melewati jalan ini, baik siang atau malam, yang terpikir bukan hantu yang menyeramkan, melainkan sebuah komplek perumahan 'masa depan'.

Dadang dan dua rekannya telah meninggalkan ruangan setelah menyerahkan dokumen, dan sekarang hanya saya yang tinggal di sana untuk memeriksa lebih detail seluruh dokumen, kemudian memasukkannya ke dalam amplop sesuai persyaratan tender. Jarum jam menunjukkan pukul 11 malam lebih 10 menit ketika semua pekerjaan sudah saya pastikan selesai. Saya mengenakan jaket dan berjalan menuju parkiran motor di lantai bawah. Beberapa petugas keamanan menyapa dengan ramah, dan saya pun membagikan rokok dan berbasa-basi sebentar. Dari pembicaraan singkat tersebut, saya mengetahui bahwa cerita Jhon tadi memang benar-benar viral. Para petugas keamanan itu juga menceritakan hal yang sama dan memberi peringatan agar saya berhati-hati ketika meninggalkan kantor.

Ternyata Bukan Kunti

Saya melirik jam tangan saat motor keluar dari halaman kantor, pukul 23.25. Saya memperkirakan akan sampai di rumah sekitar pukul 12 malam. Di sebuah perempatan, saya berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Beberapa pengendara motor lain ada yang tidak peduli dan terus menerobos melewati lampu merah. Saya memanfaatkan kesempatan itu untuk menyalakan sebatang rokok. Sebenarnya, ada rasa khawatir dalam hati saya, tapi bukan karena cerita Jhon dan petugas keamanan. Saya lebih khawatir dengan begal atau kejahatan jalanan. Saya sempat berpikir untuk menghindari jalur yang melintasi pemakaman, tapi jika saya memilih jalur lain, saya akan sampai di rumah lebih dari pukul 12.30 malam.

Lampu akhirnya berubah hijau, dan saya perlahan mengendarai motor melewati perempatan sambil tetap waspada. Banyak orang 'sableng' yang tetap melaju dengan kecepatan tinggi karena mengira jalanan sepi. Seperti minggu lalu, ada seorang pengendara yang kehilangan nyawanya di perempatan ini karena sebuah angkot dengan kecepatan tinggi menerobos lampu merah dan menabraknya hingga terseret sejauh 2 meter. Saya sendiri tidak menyaksikan kejadian itu, tapi teman-teman kantor dan petugas keamanan yang pulang malam pada saat itu menceritakannya.

Saat saya hendak meningkatkan kecepatan motor setelah melewati perempatan, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil-manggil nama saya dari arah belakang. Saya menengok, dan ternyata seseorang berlari sambil melambaikan tangan minta ditunggu. Saya berhenti dan penasaran, siapa yang malam-malam begini mengenal saya? Saat orang itu semakin dekat, barulah saya mengenalinya, dia adalah Alif, teman kuliah saya dulu.

"Ben! Kamu baru pulang? Aku ikut dong...," kata Alif begitu berada di samping motor saya.

"Ayo!" jawab saya, "emang motor elo kenapa?" lanjut saya saat Alif sudah duduk di boncengan dan motor mulai bergerak.

"Iya, Ben. Motorku rusak, aku dah coba pesan ojol, tapi selalu dibatalkan sama abangnya. Untung kamu lewat. Kamu pulang ngapain malam-malam begini?"

"Biasalah, besok ada tender, bos minta dokumen harus sudah siap malam ini. Elo sendiri ngapain pulang semalem ini?"

"Besok aku mau pergi ke luar kota, ada urusan yang harus selesaikan dulu tadi. Ya, namanya juga cari tambahan, hahaha," kata Alif.

Kantor Alif memang dekat dengan kantor saya. Hanya berbeda arah di perempatan tadi. Kadang-kadang kami juga bertemu saat berangkat atau pulang kerja karena rumahnya kira-kira 3 km sebelum komplek perumahan tempat saya tinggal.

"Ben!," kata Alif dari belakang, "Nanti aku turun di komplek ruko setelah pemakaman ya. Bosku menyuruh kumpul di sana karena besok harus naik pesawat pukul 4.30."

"Siap, Bos!" jawab saya sambil menambah kecepatan. Dalam hati saya bersyukur, ada teman yang menemani saya saat melewati komplek pemakaman nanti. Rasa khawatir terhadap begal sedikit berkurang.

Kira-kira 200 meter sebelum komplek pemakaman, Alif tiba-tiba bertanya, "Beni, emang kamu gak takut lewatin tempat ini malam-malam gini? Apalagi ini malam Jumat!"

"Tentu saja, aku takut...," kata saya, "Tapi bukan takut ama pocong atau kunti Lif! Gue takut ama begal saja!" lanjut saya.

"Aku paham, Ben. Wajar kok takut begal. Tapi siapa tahu memang ada hal-hal tak masuk akal? Sudah banyak cerita yang katanya dialami orang..."

"Alif, zaman sudah canggih seperti sekarang, mengapa masih percaya pada hal-hal seperti itu? Aku benar-benar heran dengan masyarakat kita. Ketakutan pada sesuatu yang tidak masuk akal seharusnya tidak perlu dipelihara..."

"Mungkin saja Ben. Tapi siapa tahu, ada yang memang benar-benar mengalaminya! Banyak cerita dari orang-orang yang bilang begitu kok"

"Apa yang ngalamin bisa membuktikan secara akal atau secara ilmiah? Yang ada, cerita-cerita mustahil itu hanya dibesar-besarkan di media sosial atau media daring sekarang. Aku juga heran, bahkan ada media daring yang memiliki rubrik khusus berjudul 'Malam Jumat'. Penulisnya yang berhasil dimuat akan mendapatkan uang. Sungguh menggelikan," kata saya dengan tegas agar Alif tidak ikut-ikutan percaya pada cerita-cerita tak masuk akal.

Motor terus melaju, dan kami mulai memasuki komplek pemakaman. Tidak biasanya, kali ini tercium aroma bunga melati dan mawar seperti saat berkunjung ke rumah duka. Saya merasakan Alif mendekat dan menempel di belakang saya. "Mungkin ada yang baru dimakamkan, jadi wajar ada aroma bunga. Ga usah takut Lif," kata saya untuk menenangkan teman saya.

"Iya Ben, dingin rasanya. Aku tidak pakai jaket," jawab Alif dari belakang.

Suasana jalan itu memang sepi, jarang sekali berpapasan dengan kendaraan lain, baik motor atau mobil. Saya sedikit heran saat motor sudah melewati setengan jalan di komplek pemakaman itu, aroma bunga itu masih tercium dan bahkan lebih kuat. Terdengar Alif bersenandung sebuah lagu tapi tidak begitu jelas, mungkin dia mengusir rasa takutnya. "Ben, aga buruan kenapa? lo kayanya menikmatin bener lewat jalan ginian," kata Alif.

"Liiif.. Lif, lo penakut juga ya ternyata," kata saya sambil menambah lagi kecepatan motor. Aroma bunga itu terus tercium seperti tepat di hidung saya. Saya hanya berpikir, mungkin yang dimakamkan hari ini tidak hanya satu.

Setelah kira-kira 100 meter selepas dari pemakaman dan aroma itu berangsur hilang, Alif minta berhenti, "Stop Bro, tuh di depan ruko yang terang yang banyak mobil parkir," katanya.

Saya berhenti tepat di sebuah ruko yang lampunya masih menyala dan pintunya terbuka. Tampak juga beberapa orang di dalam dan di luar. "Di sini Lif?," kata saya.

Alif turun dari boncengan, "Bro, aku mau minta tolong satu lagi boleh?" kata Alif berdiri di dekat saya di samping motor.

"Tolong apaan Lif?"

"Ini, titipan istriku dari kemarin ketinggalan mulu di kantor. Kamu kalo ada waktu mampir bentar, kasih dia. Gue ga sempet, besok harus berangkat."

"Ooh ok, mana?"

Alif memberikan bungkusan kecil berwarna coklat, "Makasih banget ya Bro!" katanya sambil berbalik menuju Ruko.

Saya masukkan titipan Alif ke dalam ransel kerja biar tidak terlupa juga kalo besok saya mampir pulang kantor. Saya tancap lagi motor ingin segera sampai ke rumah. Dalam hati saya agak geli dan teringat Jhon, pengin rasanya saya bilang sama dia, "Malam jumat ini ternyata saya ketemu Alif, bukan Kunti!"

Mengantar Titipan Alif

Sore hari sekitar pukul 4 saya sudah keluar dari kantor untuk pulang. Saya izin Bos karena semalem mengerjakan dokumen tender sampai jam 12 malam. Untungnya tender tadi dapat dimenangkan sehingga suasana hati Bos masih berbunga-bunga, dia mengizinkan saya untuk pulang lebih awal.

Saya bermaksud mampir ke rumah Alif untuk mengantar titipannya semalem, biar besok tidak harus mengantar. Weekend harus digunakan maksimal dengan keluarga pikir saya. Sebelumnya, saya sudah kirim WA ke istri Alif akan mampir sore ini. Kami sekeluarga memang saling mengenal, Saya dan Alif dulu sempat satu perusahaan. Kami berpisah ketika pandemi covid merontokkan hampir seluruh sendi perekonomian.

Sampai di depan rumah Alif sekitar pukul setengah 5, saya tidak ingin berlama-lama. Saya mengucap salam dan mengetuk pintu. Tidak berapa lama pintu di buka, "Om Beni masuk dulu, kata Mama tunggu sebentar, mama lagi telpon." kata anaknya yang tertua menyapa saat pintu terbuka.

"Om ndak lama, ini cuma mau ngasih titipan Papamu," kata saya sambil mencari-carai titipan Alif dalam Tas.

"Titipan Papa?" kata Anak Alif dengan nada agak heran.

"Iya! sebentar...," saat saya temukan titipan itu, istri Alif tampak berjalan menuju pintu depan.

"Eh..., Mas Beni, masuk dulu mas!" kata Istri Alif dari dalam.

Saya tidak bisa menghindar, saya harus masuk dulu untuk basa-basi. Kurang enak kalau langsung kabur.

Dewi, istri Alif, mempersilahkan saya duduk. Anaknya yang tadi membukakan pintu berjalan masuk ke dalam rumah.

"Ini Dik, kemarin malem saya ketemu Alif di jalan. Dia titip ini, katanya ga sempat dikasih karena harus berangkat jam 5 pagi dari rumah bosnya."

"Apa? Mas Beni ketemu Mas Alif semalem?" kata istrinya seperti kaget dan tidak percaya. Saya menduga jangan-jangan ada masalah di keluarga ini.

"Iya Dik, motornya rusak kata dia. Jadi bareng saya dari perempatan yang dekat kantor Alif itu." kata saya meyakinkan dan ingin segera pamitan agar tidak terlibat jika ada masalah antara Alif dan Istrinya ini.

"Mas Beni nggak tahu ya?," kata Dewi dengan wajah semakin heran. Jangan-jangan Alif sudah kabur dari rumah dan nggak pulang-pulang pikir saya melihat ekspresi Dewi.

"Heeemm, ada apa ya Dik? Semalem Alif ndak cerita apa-apa tuh? Kita ngobrol dan bercanda seperti biasa di jalan."

"Mas..., Mas Alif sudah meninggal dunia seminggu yang lalu..." kata Dewi sambil menahan tangis dan menatap saya.

"Apa?! Yang bener Dik?!" kata saya kaget dan terperanjat.

"Mungkin saya terlewat mengabari Mas Beni karena panik dan sedih, Mas Alif kecelakaan di perempatan dekat kantornya itu. Ditabrak angkot yang menerobos lampu merah."

"Astagfirullahal adzim!! La ila ha ilallah," kata saya semakin kaget.

"Tapi..., tapi... sungguh! ini titipan dia kemarin malam Dik," kata saya sambil menyerahkan bungkusan bewarna coklat itu pada Dewi. Akal dan logika saya pun bertubrukan di kepala saya dan hancur berantakan.

Dewi membuka bungkusan itu pelan-pelan. Saya juga jadi penasaran apa isi bungkusan itu yang dititipkan oleh orang yang sudah meninggal. Ketika bungkusan terbuka, Tangis Dewi semakin menjadi-jadi sambil berkali-kali menyebut nama Alif. Saya tidak bisa melihat jelas apa isi bungkusan itu.

Sambil menunggu tangis Dewi mereda, saya terus berjuang untuk berpikir dan mencari jawaban apa yang sebenarnya saya alami. Saya coba untuk tetap rasional dan logis untuk menjawabnya, namun sia-sia saja.

"Mas Alif ternyata sangat menyayangi saya, walaupun dia tidak sempat memberikan langsung tapi lewat Mas Beni," kata Dewi setelah bisa mengatur emosinya. Dia menunjukan satu set perhiasan emas yang terdiri dari kalung, anting, dan gelang. Lalu Dewi melanjutkan, "Hari saat mas Alif kecelakaan itu, adalah hari ulang tahun saya. Sebelum pulang kerja, dia sempat WA agar saya jangan tidur dulu. Ada hadiah spesial katanya."

Saya hanya bisa berlaku seperti orang kebanyakan, mengatakan pada Dewi untuk sabar dan banyak mendoakan Alif. Saya juga sampaikan turut berduka cita dan bertanya di mana Alif dimakamkan. Setelah itu saya segera mohon diri karena sebetulnya kepala saya juga dijejali berbagai pertanyaan.

Alif, amanahmu sudah saya sampaikan pada Dewi

Keluar dari komplek perumahan tempat tinggal Alif, saya tidak jadi mengarah pulang. Saya kembali ke arah komplek pemakaman. Walupun melihat sikap Dewi tadi seperti nyata, logika saya masih ada sedikit curiga. Jangan-jangan Alif dan istrinya sedang bikin konten untuk 'ngeprank' saya.

Saya ingat menurunkan Alif di depan sebuah ruko di sebelah Apotek. Pelan-pelan saya melihat ke sisi kanan mencari Apotek yang semalem saya lihat. Akhirnya saya melihat plang besar apotek yang saya lihat semalem. Saya mengarah ke ruko sebelah apotek itu. Yak! Ini kejutan ke dua saya hari ini! Saya hanya melihat ruko di mana Alif turun ternyata sebuah ruko yang sudah rusak dan tak terawat. Bahkan sudah tidak ada lagi pintu depannya. Tembok di dalam ruko itu seperti bekas kebakaran.

"Pak mau ke apotek ya? Parkir sebelah sini pak...," tiba-tiba seorang tukang parkir menegur saya.

"Ah.., enggak, saya cuma mau lihat ko ruko ini dibiarkan hancur," kata saya.

"Oh..., itu sudah 6 tahun sejak kebakaran nggak diapa-apain sama yang punya. Padahal sebelah kanan kirinya sudah dibangun bagus lagi," kata tukang parkir itu.

"Oooh...," kata saya manggut-manggut lalu meninggalkan tempat itu dan menuju ke arah makam. Saya mencoba meyakinkan diri saya bahwa Alif memang sudah ada di alam lain. Sampai di Pemakaman, saya berjalan menuju ke tempat yang ditunjukan Dewi tadi.

Sebuah gundukan tanah dan taburan bunga-bunga yang mulai mengering, saya baca nisan yang tertancap di ujungnya, "Alif Dirgatara Bin Sunarto". Saya lihat tanggal wafat dan lahirnya, persis seperti dengan apa yang saya tahu. Saya berdoa di sebelah pusara itu, lalu saya berbisik pelan, "Alif, amanahmu sudah saya sampaikan. Dewi senang menerimanya, dia sangat mencintaimu."

Saya pun pulang dengan mengendari motor perlahan sambil mencoba menikmati senja. Malam Jumat kemarin adalah malam di mana saya terlahir menjadi orang yang percaya pada sesuatu yang tidak masuk akal!

Catatan:

Mengapa Alif turun di ruko yang sebetulnya adalah ruko kosong bekas terbakar dan tidak terawat? Pada suatu kesempatan saya bertemu Alif lagi dan menceritakan semuanya. Saya akan unggah jika memang banyak yang ingin tahu ceritanya, silahkan berkomentar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun