Cerita Bapak
Ken Angrok sampai di rumah saat hari mulai redup menuju malam. Saat dia hendak mandi, tiba-tiba Bango Samparan, ayah Ken Angrok, memanggil, "Ang Rock..., sini dulu le (nak)!"
"Nggih Pak," Ang Rock berjalan ke ruang tengah mendekati Ayahnya. Dia lihat ayahnya sedang 'fly', hal yang sudah sangat biasa ditemui Ken Angrok.
"Duduk sini, bapak mau cerita sesuatu, cerita ini mungkin kelak akan berguna untukmu..."
Dari sejak kecil, Ken Angrok sering mendengar dongeng dari Ayahnya. Dia nyaris tidak pernah mendapat bentakan jika ayahnya marah, tapi dinasihati dengan dongengan. Ken Angrok pun sering mendapat ide saat merencanakan sesuatu dari dongeng-dongeng yang dia dengar itu.
"Kali ini, Bapak mau cerita tentang sebuah pengorbanan. Begini ceritanya...,"
---
Di tepi gunung Kawi, di desa Pugeran, terdapatlah sepasang suami-istri yang saling kasih-mengasihi. Dewi Ratri, sang istri selalu setia membawakan bekal makanan kepada Kawindra, suaminya yang setiap harinya mengerjakan sawah di daerah Aruga. Suami-istri tersebut walaupun bukan dari golongan kaya, namun mereka berdua hidup berkecukupan. Kawindra adalah pria gagah perkasa, sedangkan Dewi Ratri adalah wanita cantik jelita yang pernah menawan hati banyak pria, bahkan dewata.
Syahdan, pada suatu hari Batara Cakra turun ke bumi dan menyaksikan kecantikan Dewi Ratri. Sang Batara menghampiri Dewi Ratri yang saat itu sedang dalam perjalanan mengantar bekal makanan untuk suaminya yang bekerja di sawah Aruga. Pertemuan keduanya terjadi di ladang Lalateng. Dewi Ratri takjub melihat kebesaran Batara Cakra dengan cahaya berkilauan di tubuh dan parasnya. Sang Batara berkata padanya, "Dewi Ratri, aku menitipkan jabang bayi di rahimmu. Kelak kelahiran mulia anak yang kaukandung ini akan menjadi penguasa tanah Jawa. Setelah pertemuan ini janganlah kau tidur dengan Kawindra, suamimu, karena ia bisa tewas jika engkau melanggar ketentuan ini,".
Berbeda dengan Dewi Kunti yang mengucapkan mantra untuk mendatangkan para dewa dan menitipkan benih di rahimnya, Batara Cakra sendiri yang hadir langsung di hadapan Dewi Ratri. Setelah kejadian itu ia takjub namun juga bingung. Dapatkah Kawindra menerima peristiwa ini dengan lapang dada?
Dewi Ratri berjalan dengan raut wajah yang diliputi keresahan. Suaminya melihat istrinya itu dari kejauhan dan segera menyapanya,
"Adinda, kiranya ada yang berbeda dari parasmu. Hal apa yang sedang engkau risaukan?," tanya suaminya itu.
"Kanda, aku telah beroleh anugerah. Hari ini Hyang Batara Cakra berkenan menemuiku. Hyang Batara menitipkan benih di rahimku dan membuat ketentuan bahwa aku tidak diperbolehkan lagi berkumpul denganmu. Bila aku tidak menuruti ketentuan itu, maka akibatnya akan buruk bagi keselamatan kakanda. Aku tidak ingin kehilanganmu," ucap Dewi Ratri dengan suara parau berlinang air mata.
Kawindra menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ia mencoba duduk untuk menenangkan diri, lalu berbicara kepada istrinya,
"Apabila itu sudah merupakan suratan takdir yang digariskan oleh Ida Bathara, maka aku rela melepasmu. Ambillah milik kita yang sepantasnya menjadi milikmu, dan aku akan mengambil apa yang menjadi milikku. Setelah ini aku akan kembali ke Campaka, tempat masa kecilku, sedangkan engkau bermukimlah di Pugeran. Percayalah sekalipun berpisah, hati kita tetap menyatu,".
Kedua pasang suami-istri itu akhirnya saling melepas masing-masing. Kawindra pergi dengan penuh kesedihan, meninggalkan istrinya yang selama ini begitu dikasihinya. Dewi Ratri juga tak kuasa menahan tangis ketika Kawindra pergi meninggalkannya. Pada beberapa langkah Kawindra sempat menoleh kembali. Air matanya membasahi pipi. Dewi Ratri melambaikan tangan hingga sosok lelaki yang dicintainya itu menghilang ditelan turunnya kabut gunung Kawi.
Genap seminggu usia janin dalam rahim Dewi Ratri, pun genap seminggu perpisahannya dengan sang suami, Dewi Ratri mendengar kabar bahwa Kawindra meninggal dunia. Ia menangis dan menjerit dalam hatinya. Kasak-kusuk penduduk menyebut bahwa jabang bayi yang dikandung Dewi Ratri memiliki aura sangat panas sehingga mengakibatkan Kawindra meninggal dunia.
Setelah genap sembilan bulan, jabang bayi itu lahir ke dunia. Dewi Ratri melarikan bayi itu dan menaruhnya di sebuah kuburan bayi di tengah malam. Tidak berapa lama setelah Dewi Ratri pergi meninggalkan bayinya, datanglah seorang pencuri bernama Lembong. Ia menghampiri makam tersebut karena terperangah melihat cahaya berkilauan yang muncul di dalam makam, di tengah malam buta. Setelah didekati, ternyata cahaya tersebut muncul dari sosok seorang bayi laki-laki. Ia mengambil bayi itu dan merawatnya.
---
"Begitulah ceritanya Angrok," kata Bango Samparan.
"Nggih Pak, terimakasih. Angrok akan selalu ingat," sahut Ken Angrok. Dia belum bisa mencerna apa yang barusan diceritakan ayahnya. Pikiranya masih dipenuhi pematangan rencana untuk menghadapi Gagak Ijo besok.
Ken Angrok kemudian melanjutkan untuk mandi. Sambil membersihkan diri, pikirannya terus berputar menimbang-nimbang segala rencana dan putusan untuk besok pagi. Terngiang saran-saran sahabatnya tadi sore, resiko aksi cukup besar. "Apakah aku terlalu egois?" pikir Ken Angrok. Ken Angrok keluar kamar mandi langsung ke tempat penyimpanan obat-obat terlarang. Dia buka kotak yang khusus untuk dikonsumsi sendiri. Ayahnya selalu mengingatkan jangan pernah mengambil dari kotak lain. Ken Angrok mengambil beberapa butir yang paling dia sukai efeknya lalu dia bawa ke kamarnya.
Ken Angrok meletakan obat itu di atas meja belajarnya lalu dia berganti pakaian tidur. Dia ingin minum obat itu dengan segelas kopi manis dan beberapa linting ganja simpanannya. Namun kakinya seolah berat dan malas untuk ke dapur membuat kopi. Dia memtuskan untuk tiduran dulu. Sambil tiduran, dia mencoba mengulang kembali seluruh kejadian yang membuat keputusan untuk beraksi besok pagi.
Ken Angrok kembali mengingat kejadian dua bulan yang lalu saat Gajah Ijo terang-terangan di depan banyak orang menantangnya untuk duel satu lawan satu sampai mati. Saat dia marah dan ingin langsung menanggapi tantangan itu, Gajah dan Singo menariknya menjauh. Mereka mengatakan, "Buat apa ngelayani orang gila! Kita yang waras mending mengalah saja," nasihat Singo dan Gajah waktu itu.
Awalnya, Ken Angrok bisa menerima dan menuruti saran sahabatnya. Namun, Gajah Ijo semakin menjadi-jadi mengolok-olok dia sebagai pengecut. Dia sendiri tidak tahu apa penyebab Gajah Ijo tiba-tiba menantang duel. Dia sudah mencoba berpikir dan membicarakan pada para sahabatnya mengapa Gajah Ijo seperti itu. Sahabatnya selalu menjawab, "karena Gajah Ijo itu ga waras!"
Geng Molimo punya nama cukup terkenal dan disegani dikalangan siswa SMP. Geng-geng lain pun cukup menaruh rasa hormat pada kelompok Ken Angrok ini. Bagaimana tidak? Dari soal balap motor liar, tawuran, hingga narkoba eksistensi Geng Molimo selalu ada di atas. Bahkan, dalam sisi yang lain, prestasi anggota Geng Molimo cukup mengejutkan. Posisi pelajar dengan nilai terbaik se-Kabupaten Tumapel sesuai tingkatan kelasnya selalu di pegang Ken Angrok nomor satu dan Sumi nomor dua. Esha juga tak kalah terkenal, acara-acara resmi di Kabupaten sering menugaskan untuk menjadi MC atau menyanyi. Prestasi positif inilah yang membuat perusahaan Tumapel Inc. memberi Ken Arok dan Sumi beasiswa.
Ken Angrok juga tidak bisa memahami mengapa Pak Tunggul Ametung sebagai penguasa tertinggi Tumapel Inc. tetap memberinya beasiswa walapun nama Ken Angrok juga tercatat di kepolisian sebagai salah satu anak yang sering terlibat kenakalan remaja. Ken Angrok tiba-tiba tersentak, tidak hanya beasiswa aneh itu tapi beberapa kali dia mengalami peristiwa yang janggal. Pada saat dia terkena razia ketika ikut balap liar atau saat terciduk dalam keadaan mabuk oleh polisi, dia selalu dibebaskan paling cepat. Dia selalu dipisahkan dari anak-anak yang lain kemudian diam-diam disuruh pulang begitu saja. Gajah, Singo, dan Boyo sempat menginap tiga hari di kantor polisi saat ditangkap bersama, namun Ken Angrok bisa pulang pada hari yang sama walaupun di malam hari. "Mengapa aku bisa semudah itu dilepaskan?" pikir Ken Angrok.
Ken Angrok teringat dongeng ayahnya tentang anak seorang Dewa yang lahir dari rahim manusia biasa, rahim seorang perempuan desa. Lalu pikirannya melayang lagi mengingat dongeng itu.
***
Tok! Tok! Tok!.., "Ken Angrooook... sudah siang, kamu ga berangkat sekolah?" Terdengan suara Genuk Buntu mengetok pintu kamar Ken Angrok. Ken Angrok kaget lalu melihat jam dinding di kamarnya, sudah pukul 6.30 pagi! "Iyaa Bu, sekolah!," jawab Ken Agrok buru-buru bersiap diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H