"Kanda, aku telah beroleh anugerah. Hari ini Hyang Batara Cakra berkenan menemuiku. Hyang Batara menitipkan benih di rahimku dan membuat ketentuan bahwa aku tidak diperbolehkan lagi berkumpul denganmu. Bila aku tidak menuruti ketentuan itu, maka akibatnya akan buruk bagi keselamatan kakanda. Aku tidak ingin kehilanganmu," ucap Dewi Ratri dengan suara parau berlinang air mata.
Kawindra menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ia mencoba duduk untuk menenangkan diri, lalu berbicara kepada istrinya,
"Apabila itu sudah merupakan suratan takdir yang digariskan oleh Ida Bathara, maka aku rela melepasmu. Ambillah milik kita yang sepantasnya menjadi milikmu, dan aku akan mengambil apa yang menjadi milikku. Setelah ini aku akan kembali ke Campaka, tempat masa kecilku, sedangkan engkau bermukimlah di Pugeran. Percayalah sekalipun berpisah, hati kita tetap menyatu,".
Kedua pasang suami-istri itu akhirnya saling melepas masing-masing. Kawindra pergi dengan penuh kesedihan, meninggalkan istrinya yang selama ini begitu dikasihinya. Dewi Ratri juga tak kuasa menahan tangis ketika Kawindra pergi meninggalkannya. Pada beberapa langkah Kawindra sempat menoleh kembali. Air matanya membasahi pipi. Dewi Ratri melambaikan tangan hingga sosok lelaki yang dicintainya itu menghilang ditelan turunnya kabut gunung Kawi.
Genap seminggu usia janin dalam rahim Dewi Ratri, pun genap seminggu perpisahannya dengan sang suami, Dewi Ratri mendengar kabar bahwa Kawindra meninggal dunia. Ia menangis dan menjerit dalam hatinya. Kasak-kusuk penduduk menyebut bahwa jabang bayi yang dikandung Dewi Ratri memiliki aura sangat panas sehingga mengakibatkan Kawindra meninggal dunia.
Setelah genap sembilan bulan, jabang bayi itu lahir ke dunia. Dewi Ratri melarikan bayi itu dan menaruhnya di sebuah kuburan bayi di tengah malam. Tidak berapa lama setelah Dewi Ratri pergi meninggalkan bayinya, datanglah seorang pencuri bernama Lembong. Ia menghampiri makam tersebut karena terperangah melihat cahaya berkilauan yang muncul di dalam makam, di tengah malam buta. Setelah didekati, ternyata cahaya tersebut muncul dari sosok seorang bayi laki-laki. Ia mengambil bayi itu dan merawatnya.
---
"Begitulah ceritanya Angrok," kata Bango Samparan.
"Nggih Pak, terimakasih. Angrok akan selalu ingat," sahut Ken Angrok. Dia belum bisa mencerna apa yang barusan diceritakan ayahnya. Pikiranya masih dipenuhi pematangan rencana untuk menghadapi Gagak Ijo besok.
Ken Angrok kemudian melanjutkan untuk mandi. Sambil membersihkan diri, pikirannya terus berputar menimbang-nimbang segala rencana dan putusan untuk besok pagi. Terngiang saran-saran sahabatnya tadi sore, resiko aksi cukup besar. "Apakah aku terlalu egois?" pikir Ken Angrok. Ken Angrok keluar kamar mandi langsung ke tempat penyimpanan obat-obat terlarang. Dia buka kotak yang khusus untuk dikonsumsi sendiri. Ayahnya selalu mengingatkan jangan pernah mengambil dari kotak lain. Ken Angrok mengambil beberapa butir yang paling dia sukai efeknya lalu dia bawa ke kamarnya.
Ken Angrok meletakan obat itu di atas meja belajarnya lalu dia berganti pakaian tidur. Dia ingin minum obat itu dengan segelas kopi manis dan beberapa linting ganja simpanannya. Namun kakinya seolah berat dan malas untuk ke dapur membuat kopi. Dia memtuskan untuk tiduran dulu. Sambil tiduran, dia mencoba mengulang kembali seluruh kejadian yang membuat keputusan untuk beraksi besok pagi.
Ken Angrok kembali mengingat kejadian dua bulan yang lalu saat Gajah Ijo terang-terangan di depan banyak orang menantangnya untuk duel satu lawan satu sampai mati. Saat dia marah dan ingin langsung menanggapi tantangan itu, Gajah dan Singo menariknya menjauh. Mereka mengatakan, "Buat apa ngelayani orang gila! Kita yang waras mending mengalah saja," nasihat Singo dan Gajah waktu itu.