Mohon tunggu...
Saifoel Hakim
Saifoel Hakim Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Orang biasa yang hidup biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ken Angrok - 04

22 Juli 2023   22:36 Diperbarui: 23 Juli 2023   10:44 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak Bisa Berkata-kata

Siang itu sekitar pukul 14.00 Ken Endok masih duduk di ruang tamu Paviliun Bramantyo. Pesanan Bramantyo sudah dia selesaikan dari tadi namun Ndoronya itu belum datang. Sambil menunggu itu, fikiran dia pun melayang-layang. Membayangkan Bramantyo yang seolah tak tersentuh oleh wong-cilik itu ternyata sangat ramah. Penampilan Bramantyo yang hanya berlilit handuk tadi pagi seolah tidak bisa hilang dari kepalanya. Dadanya kadang berdesir, membayangkan betapa rasanya ada dalam pelukan tubuh kekar dan tampan itu. Apalagi jika mengingat kondisi Gajah Para suaminya, dua bulan menikah dengannya belum bisa merasakan hubungan badan yang sebenarnya. Berkali-kali dia harus kecewa ketika hasratnya mulai menggebu. "Ah..., saya kok jadi mikir yang enggak-enggak, saru!" bisik hati Ken Endok saat terbayang dirinya dipeluk Bramantyo. Namun, semakin keras dia mencoba menolak membayangkan itu, semakin jelas pula bayangan adegan-adegan yang membuat dadanya berdesir-desir.

Ken Endok tersentak kaget saat pintu depan tiba-tiba terbuka dan Bramantyo muncul sambil tersenyum, "Wah sory..., kamu nunggu lama ya? tadi saya keliling kebon aga jauh soalnya," kata Bramantyo sambil menatap Ken Endok.

"Nggih... Nggih Ndoro, ndak apa-apa," jawab Ken Endok masih terkejut. Dia aga tersipu takut Bramantyo tahu apa yang sedang dipikirkannya.

"Sudah siap pesananku? Aku tak mandi dulu terus kamu siapin makannya di sini saja," kata Bramantyo sambil melangkah nasuk menuju kamarnya.

"Nggih Ndoro," sahut Ken Endok sambil berdiri dan berjalan menuju ke dapur di belakang Bramantyo.

Di dapur Ken Endok mempersiapkan hidangan, menatanya di sebuah nampan. "Harus beberapa kali membawa hidangan ini ke depan," pikirnya. Lalu dia membawa nampan yang berisi sebagain hidangan dan peralatan makan. Dia berjalan kembali melalui lorong depan kamar Bramantyo. Tiba-tiba langkahnya terhenti dan matanya menatap kagum Bramantyo yang keluar kamar hanya dengan lilitan handuk lagi. Diapun cepat-cepat menunduk saat Bramantyo berjalan ke arahnya menuju kamar mandi. Dia harus memiringkan badan karena lorong itu memang agak sempit untuk berpapasan dua orang. Tapat di depan Ken Endok, Bramantyo berhenti. Aroma wangi tubuh Bramantyo kembali menyerang penciuman Ken Endok. Ken Endok masih tertunduk saat Bramantyo tiba-tiba menjulurkan tangan dan mengambil tempe dalam piring di atas nampan. Bramantyo masih tepat berada di depan Ken Endok saat mulai menggigit tempe itu dan berkata, "Heeemmmm, mantab banget ini Ken..." Tanpa menunggu jawaban Ken Endok, Bramantyo melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi sambil melahap tempe gorengnya melewati Ken Endok yang masih terdiam.

Dada Ken Endok masih berdesir-berdesir saat menurunkan makanan dan menatanya di atas meja tamu. Kemudian dia kembali ke dapur dan mengambil lagi hidangan yang belum terangkat. Dia harus bolak-balik untuk memindahkan makanan dari dapur dan menata di meja tamu. Ketika semuanya telah selesai, Ken Endok kembali ke dapur untuk menyimpan nampan yang dia gunakan. Saat itulah, Bramantyo keluar dari kamar mandi dan berjalan ke lorong. Sekali lagi Ken Endok harus menyaksikan tubuh tegap itu hanya berlilitkan handuk, dia berhenti dan menunduk menunggu Bramantyo lewat terlebih dulu. "Sudah siap semua Ken?" Bramantyo berkata saat mereka sudah dekat.

"Nggih Ndoro..., sudah saya siapkan di depan," jawab Ken Endok masih sambil menunduk. Bramantyo terus melangkah melewati Ken Endok dan berbelok masuk kamar. Aroma wangi sabun dan tubuh segar sehabis diguyur membuat Ken Endok menahan nafasnya. Dadanya berdegup kencang dan berdesir-desir. Di dapur Ken Endok meletakkan nampan, dia menjadi seperti orang bingung dan salah tingkah sendiri. Dia tak mampu menjawab mengapa tiba-tiba hasratnya bergejolak namun tidak tahu harus berbuat apa. Perasaannya berkecamuk dan bercampur aduk sampai dia tersadar ketika mendengar namanya di panggil Bramantyo, "Nggih Ndoro, saya ke depan," jawabnya buru-buru menuju ruang tamu.

"Ya Ndoro...," kata Ken Endok saat sampai di ruang tamu. Dia baru menyadari ternyata tadi di dapur melamun cukup lama ketika melihat Bramantyo sudah hampir selesai makan.

"Lagi ngerjain apa to di dapur? Ko ndak ke sini nemanin saya makan? Situ duduk dulu..." jawab Bramantyo.

"Anu Ndoro, saya nunggu Ndoro selesai makan..." kata Ken Endok berkilah. Dada Ken Endok berdesir lagi melihat Bramantyo hanya mengenakan celana pendek dan kaos putih ketat membalut bagian atas badannya. Dada Bramantyo yang terlihat bidang itu membuat Ken Endok membayangkan betapa nyaman jika kepalanya bersandar di sana.

"Ya nunggunya di sini saja..., biar aku ada yang nemenin ngobrol."

"Nggih Ndoro..."

Bramantyo meletakan piringnya setelah selesai memasukan suapan terakhir ke mulutnya. Ken Endok memperhatikan hidangannya, nasi dan lauk pauknya nyaris habis sudah pindah ke perut Bramantyo. Tentu saja ini membuat Ken Endok senang, masakan 'ndeso"-nya ternyata cukup cocok untuk selera orang kota terhormat seperti Bramantyo. Bramantyo meneguk air putih di gelas hingga tandas.

"Nah ini sudah, dibereskan dulu ya... terus... heemmm," Bramantyo menghentikan bicaranya sambil menatap Ken Endok yang cantik alami itu.

"Iya Ndoro..., terus apa lagi Ndoro?"

"Kamu jadi cari tukang pijat? atau kamu saja? tadi pagikan kamu bilang bisa mijit to?"

"i... iya Ndoro. Saya ndak sempat cari tukang pijat. Dari pasar langsung masak. Kalo Ndoro mau, nggak apa-apa biar saya yang mijat.."

"Oh..., yo wis, ini dibereskan dulu. Nanti kalo sudah bilang ya, ketuk aja kamarku. Aku tak 'leyeh-leyeh' (tiduran santai) dulu..." kata Bramantyo sambil berdiri dan berbalik menuju lorong lalu masuk kamar. Beberapa saat setelah pintu ditutup, Ken Endok mendengar suara AC di kamar bramantyo dinyalakan.

Ken Endok segera membereskan meja ruang tamu yang berubah sementara menjadi meja makan itu. Sambil bolak balik dari ruang tamu ke dapur, dia terus berpikir apa dia mampu menahan diri memijat Bramantyo. Melihat tanpa menyetuh saja dadanya berdetak cepat dan berdesir-desir. Ken Endok kuatir Bramantyo tidak akan merasakan pijatannya jika dia tidak fokus memijat karena gejolak hasratnya. Dia ingat saat Ayahnya marah saat dipijit jika melakukan pemijattan setengah hati karena pikirannya ingin segera bermain dengan teman-temannya. Melihat tubuh Bramantyo yang atletis itu, selalu membuat pikirannya melayang membayangkan adegan-adegan seperti dalam buku novel yang sering dia baca. Ken Endok memang mengoleksi sejumlah buku cerita dan gambar-gambar khusus dewasa yang diperoleh dari teman-temannya, dia simpan semua itu ditempat yang aman dari jangkauan Gajah Para. Koleksi itu kini cukup bermanfaat ketika dia belum bisa mengalaminya secara nyata dari Gajah Para. Kadang, dia juga melihat filem dewasa dari HP temen-temennya secara sembunyi-sembunyi. Ken Endok memang sangat ingin punya HP namun upah Gajah Para sebagai buruh saat ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Gajah Para selalu mewanti-wanti agar tidak meminta tambahan uang pada orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan yang tidak penting.

Selesai mencuci seluruh piring kotor, Ken Endok mengelap tangannya hingga kering. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Pelahan di melangkah melewati lorong dan berhenti tepat di pintu kamar Bramantyo. Dia tampak ragu-ragu akan mengentuk pintu itu, dia menarik nafas dalam-dalam lagi, memberanikan diri mengetuk pintu. Tok..., tok..., tok..., pelahan Ken Endok mengetuk pintu. Tidak ada jawaban atau respon dari dalam. Dia ulang lagi agak lebih keras mengetuk. "Yaaa..., sebentar Ken...," terdengar suara Bramantyo dari dalam. Jantungnya semakin berdebar lebih keras.

Ceklek.., suara handle pintu diputar dari dalam. Bramantyo muncul dari balik pintu itu ketika dibuka. Ken Endok menunduk tidak berani menatapnya. "Ayo sini masuk," kata Bramantyo. Ken Endok seolah tak mampu menggerakkan kakinya sebelum akhirnya Bramantyo meraih tangannya dan menarik pelahan Ken Endok masuk kamar. Di dalam kamar, terdengar pintu ditutup Bramantyo. Detak jantung Ken Endok bertambah kencang. Pikirannya sungguh kacau kesana kemari, betapa tidak? kini dia hanya berdua di dalam kamar dengan seorang laki-laki gagah dan tampan.

Ken Endok berdiri di samping tempat tidur putih bersih itu, dia menunduk dengan jemari saling menggenggam di depan tubuhnya. "Hemmm, gimana dipijitnya?" kata Bramantyo melihat Ken Endok yang terdiam menunduk. "Apa aku perlu melepas kaosku?" lanjutnya sambil tersenyum.

"Eh.., anu, terserah Ndoro saja. Anu..kalo Bapak itu atau Mas Gajah Para, anu Ndoro, biasanya memang tidak pake baju..." kata Ken Endok lirih terbata-bata.

Bramantyo tersenyum, dalam hati dia merasa akan mudah menaklukkan bidadari ini. "Oh gitu ya, ya sudah aku lepas kaosku dulu," kata Bramantyo sambil menarik kaosnya ke atas dan melepasnya. Hembusan udar AC yang sejuk itu pun langsung menebarkan aroma wangi parfum Bramantyo. Aroma itu membuat dada Ken Endok semakin kencang berdetak. Bramantyo lalu melangkah ke tempat tidur dan duduk dipinggirannya, dia menatap Ken Endok yang tertunduk itu. "Saya harus tengkurap atau telentang?" kata Bramantyo seolah tidak tahu menahu proses pijat memijat.

Ken Endok mengakat wajahnya, dan menjawab, "Eh.., anu Ndoro, telentang.. eh tengkurap maksudnya."

"Gimana to? yang bener telentang atau tengkurap?" kata Bramantyo menggoda. "Ken Endok, kamu ndak usah takut-takut atau 'pekewuh' (sungkan/canggung) denganku. Anggap saja aku itu Gajah Para atau Ayahmu. Nanti kalo kamu banyak 'pekewuh' mijetmu malah ndak bener...." lanjut Bramantyo.

"iya Ndoro..., anu pertama tengkurap dulu..." kata Ken Endok agak lebih tenang ketika mendengar kata-kata Bramantyo tadi. "Bener juga, kalo aku anggap Ndoro Bramantyo seperti Mas Gajah Para aku jadi lebih tenang..." pikir Ken Endok dalam hati.

"Ya sudah aku tengkurap dulu," kata Bramantyo sambil merebahkan badannya kemudian tengkurap. Ken Endok mendekat dan duduk di pinggiran tempat tidur. Kedua tangannya pun menjulur memegang pundak Bramantyo. "Eh..., sebentar," tiba-tiba Bramantyo menoleh dan menatap Ken Endok, "Apa aku perlu melepas celanaku juga," kata Bramantyo sambil tersenyum menggoda.

"Ah..., ndak..., ndak usah Ndoro," cepat-cepat Ken Endok menjawab sambil tersipu. Wajahnya pun bersemu merah. Bramantyo semakin suka melihatnya.

"Yo wis, lanjutkan saja..." kata Bramantyo.

Ken Endok menjulurkan tangannya lagi, memegang pundak Bramantyo dan mulai memijat. Jantung Ken Endok mulai berdegup kencang lagi. Ruang yang sejuk ber-AC ini tidak membuatnya berkeringat saat mengerahkan tenaganya untuk memijat pundak kekar dan bidang itu. Bramantyo memejamkan matanya, merasakan pijitan tangan halus milik Ken Endok. Bramantyo tidak habis pikir, mengapa tangan wanita desa ini bisa terasa halus tidak seperti tangan-tangan wanita desa lainnya. Penasaran Bramantyo bertanya sambil matanya tetap terpejam, "Tanganmu kok bisa halus Ken? Nggak seperti tangan wanita desa pada umumnya? Apa kamu di rumah jarang kerja?"

"Nggak Ndoro, ibu selalu menyuruh saya untuk tetap merawat diri dengan ramuan-ramuan khusus. Ada yang diminum dan juga ada yang dijadikan param."

"Heemmm, pantesan... Kulitmu juga keliatan alus. Suamimu sungguh beruntung Ken..." kata Bramantyo tetap terpejam seperti menikmati pijitan Ken Endok.

"Saya ini cuma 'wong ndeso' Ndoro..."

[Adegan lanjutan di sini telah Penulis sensor karena khusus untuk dewasa, untuk 21++]

***

Menjelang pukul 6 sore, Ken Endok tampak menggerakkan tubuhnya. Bramantyo melihatnya, dia tahu benar jika nanti Ken Endok terbangun pasti akan ada drama terlebih dulu yang harus dia selesaikan. Bramantyo dengan sengaja memiringkan tubuhnya berhadapan dengan Ken Endok karena dia menduga sebentar lagi Ken Endok akan terbangun. Bramantyo sudah sangat berpengalaman menghadapi apa yang akan terjadi.

Benar saja, ketika Ken Endok membuka matanya, dia melihat tepat di depannya wajah Bramantyo yang tersenyum. Ken Endok pun kaget, "Ah... apa yang terjadi Ndoro!" kata Ken Endok Panik sambil bangun terduduk. Tangannya mencari-cari pakaian tapi tak kunjung dia temukan. Dengan cepat dia meraih bantal untuk menutupi bagian depan tubuhnya. "A... apa yang terjadi Ndoro..." dia menatap Bramantyo yang terlihat tenang dan bahkan tersenyum.

"Tenang dulu Ken Endok..., tenanglah, coba kamu ingat-ingat lagi," kata Bramantyo santai.

Ken Endok menunduk dan mencoba mengingat kejadian sebelum dia tertidur. Pelan-pelan mulai terbayang kejadian siang tadi. Setelah mencuci piring-piring kotor bekas makan Bramantyo, dia ingat mulai memijat Bramantyo!!

"Ah..." tangannya menutup mulutnya yang hampir berteriak, "Tapi kenapa bisa terjadi sejauh ini Ndoro?"

"Yah... aku juga tidak tahu Ken Endok. Semuanya mengalir begitu saja. Awalnya memang kamu memijatku, tapi lama-lama kelamaan kita saling merasakan sesuatu. Lalu terjadilah..." Kata Bramantyo mencoba menjelaskan.

Ken Endok menunduk. Dia betul-betul terlena dan mengira sedang berhubungan dengan Gajah Para. Tak terasa air matanya menetes, "Maafkan aku Mas Para... maafkan aku," bisik Ken Endok disela isak tangisnya.

Sesaat suana menjadi hening, sesekali terdengar isak tangis Ken Endok. "Aku minta maaf...," kata Bramantyo pelan. "Aku tak bisa mengendalikan diriku ketika bersamamu seperti tadi," lanjutnya.

"Iya Ndoro...," jawab Ken Endok lirih, lalu lanjutnya, "Sebaiknya kejadian ini kita lupakan saja Ndoro, anggap saja tidak pernah terjadi."

"Iya Ken Endok. Hanya saja yang kamu perlu tahu..." Bramantyo menghentikan ucapannya, mengambil nafas dalam-dalam lalu melanjutkan, "Aku sangat mencintaimu..." hampir tak terdengar ucapan Bramantyo ini. "Ken Endok..., kamulah satu-satunya wanita yang bisa membuatku tak mampu menahan gejolak hasratku." kata Bramantyo sambil menatap Ken Endok. "Besok pagi, datanglah lagi kesini untuk memasak seperti tadi. Aku berjanji, tak akan menyentuhmu lagi," lanjut Bramantyo.

Ken Endok tak mampu bicara sepatah kata pun, dia melangkah melewati Bramantyo tanpa menengoknya, lalu keluar kamar dan menuju ruang tamu. Sebelum membuka pintu depan, sesaat dia melihat lagi pintu kamar Bramantyo yang sudah tertutup. Ken Endok keluar dari Paviliun, di luar sudah ada sebuah mobil yang siap mengantarnya.

BERSAMBUNG

Baca Lengkap di Sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun