Mohon tunggu...
Saifoel Hakim
Saifoel Hakim Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Orang biasa yang hidup biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ken Angrok - 04

22 Juli 2023   22:36 Diperbarui: 23 Juli 2023   10:44 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ceklek.., suara handle pintu diputar dari dalam. Bramantyo muncul dari balik pintu itu ketika dibuka. Ken Endok menunduk tidak berani menatapnya. "Ayo sini masuk," kata Bramantyo. Ken Endok seolah tak mampu menggerakkan kakinya sebelum akhirnya Bramantyo meraih tangannya dan menarik pelahan Ken Endok masuk kamar. Di dalam kamar, terdengar pintu ditutup Bramantyo. Detak jantung Ken Endok bertambah kencang. Pikirannya sungguh kacau kesana kemari, betapa tidak? kini dia hanya berdua di dalam kamar dengan seorang laki-laki gagah dan tampan.

Ken Endok berdiri di samping tempat tidur putih bersih itu, dia menunduk dengan jemari saling menggenggam di depan tubuhnya. "Hemmm, gimana dipijitnya?" kata Bramantyo melihat Ken Endok yang terdiam menunduk. "Apa aku perlu melepas kaosku?" lanjutnya sambil tersenyum.

"Eh.., anu, terserah Ndoro saja. Anu..kalo Bapak itu atau Mas Gajah Para, anu Ndoro, biasanya memang tidak pake baju..." kata Ken Endok lirih terbata-bata.

Bramantyo tersenyum, dalam hati dia merasa akan mudah menaklukkan bidadari ini. "Oh gitu ya, ya sudah aku lepas kaosku dulu," kata Bramantyo sambil menarik kaosnya ke atas dan melepasnya. Hembusan udar AC yang sejuk itu pun langsung menebarkan aroma wangi parfum Bramantyo. Aroma itu membuat dada Ken Endok semakin kencang berdetak. Bramantyo lalu melangkah ke tempat tidur dan duduk dipinggirannya, dia menatap Ken Endok yang tertunduk itu. "Saya harus tengkurap atau telentang?" kata Bramantyo seolah tidak tahu menahu proses pijat memijat.

Ken Endok mengakat wajahnya, dan menjawab, "Eh.., anu Ndoro, telentang.. eh tengkurap maksudnya."

"Gimana to? yang bener telentang atau tengkurap?" kata Bramantyo menggoda. "Ken Endok, kamu ndak usah takut-takut atau 'pekewuh' (sungkan/canggung) denganku. Anggap saja aku itu Gajah Para atau Ayahmu. Nanti kalo kamu banyak 'pekewuh' mijetmu malah ndak bener...." lanjut Bramantyo.

"iya Ndoro..., anu pertama tengkurap dulu..." kata Ken Endok agak lebih tenang ketika mendengar kata-kata Bramantyo tadi. "Bener juga, kalo aku anggap Ndoro Bramantyo seperti Mas Gajah Para aku jadi lebih tenang..." pikir Ken Endok dalam hati.

"Ya sudah aku tengkurap dulu," kata Bramantyo sambil merebahkan badannya kemudian tengkurap. Ken Endok mendekat dan duduk di pinggiran tempat tidur. Kedua tangannya pun menjulur memegang pundak Bramantyo. "Eh..., sebentar," tiba-tiba Bramantyo menoleh dan menatap Ken Endok, "Apa aku perlu melepas celanaku juga," kata Bramantyo sambil tersenyum menggoda.

"Ah..., ndak..., ndak usah Ndoro," cepat-cepat Ken Endok menjawab sambil tersipu. Wajahnya pun bersemu merah. Bramantyo semakin suka melihatnya.

"Yo wis, lanjutkan saja..." kata Bramantyo.

Ken Endok menjulurkan tangannya lagi, memegang pundak Bramantyo dan mulai memijat. Jantung Ken Endok mulai berdegup kencang lagi. Ruang yang sejuk ber-AC ini tidak membuatnya berkeringat saat mengerahkan tenaganya untuk memijat pundak kekar dan bidang itu. Bramantyo memejamkan matanya, merasakan pijitan tangan halus milik Ken Endok. Bramantyo tidak habis pikir, mengapa tangan wanita desa ini bisa terasa halus tidak seperti tangan-tangan wanita desa lainnya. Penasaran Bramantyo bertanya sambil matanya tetap terpejam, "Tanganmu kok bisa halus Ken? Nggak seperti tangan wanita desa pada umumnya? Apa kamu di rumah jarang kerja?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun