Mohon tunggu...
Saifoel Hakim
Saifoel Hakim Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Orang biasa yang hidup biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kent Angrok - 03

20 Juli 2023   18:47 Diperbarui: 22 Juli 2023   22:46 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidangan Pertama

Pagi-pagi sekali Ken Endok sudah pergi ke pasar berbelanja segala keperluan untuk memasak di rumah singgah. Dia juga punya ide agar Gajah Para tidak kesusahan makan siang jika ternyata dia tidak bisa mengantar karena kesibukannya di Rumah Singgah nanti. Dia akan memasak dulu untuk Gajah Para dan mempersiapkan bekal makan siang yang dapat dibawa sekalian pagi ini.

Pasangan muda itu tampak gembira berjalan kaki berdua sambil bergandengan tangan. Gajah Para dan Ken Endok sudah menyusuri jalan menuju perkebunan pada pukul 7.30 pagi. Jarak dari rumah Gajah Para ke sektor 8 tampat bekerja memang tidak terlalu jauh bagi yang sudah terbiasa berjalan kaki. Jalan itu akan melewati depan Rumah Singgah sebelum berbelok ke arah lahan sektor 8.

Ken Endok adalah wanita muda yang memang sangat cantik. Dia berasal dari Desa Pangkur, di sebelah utara sungai. Di Desa ini, dia adalah salah satu primadona. Usianya terpaut 5 tahun di bawah Gajah Para. Banyak pria dari kalangan mandor hingga pegawai administrasi Tumapel Inc. yang ingin mempersuntingnya. Namun, ayah Ken Endok terkenal garang. Sebagai Dalang, ayah Ken Endok cukup terkenal ke seluruh pelosok Jawa Timur. Hampir setiap panen dan masa giling tiba, Ayah Ken Endoklah yang selalu diminta untuk menggelar wayang kulit penolak bala. Karena itulah, profesi Dalang banyak dihubungkan dengan dunia supranatural. Inilah yang membuat para penggemar tersembunyi Ken Endok tidak berani melangkah lebih jauh.

Kecantikan Ken Endok seolah terlindung dari gangguan atau uluran hati para pria. Hanya Gajah Para saja yang seolah tidak peduli jika di Desa Pangkur di seberang sungai, ada bidadari bernama Ken Endok. Bahkan, saat mereka sudah tinggal bersama dengan keluarga Ken Endok ketika bencana banjir, awalnya Gajah Para seperti dingin dan biasa saja dengan Ken Endok. Baru setelah beberapa minggu mereka tinggal bersama itu, Gajah Para mulai akrab dengan Ken Endok. Itu pun karena Ken Endoklah yang selalu berinisiatif mengajak bicara dan berinteraksi lebih dulu.

Pukul 8 kurang 5 menit, pasangan itu berpisah di depan Rumah Singgah. Ken Endok kenal betul sikap Para, dia pasti tidak akan mau untuk ikut mampir dan sekedar basa-basi dengan orang-orang di Rumah Singgah itu. Ken Endok memasuki halaman rumah singgah dan melihat Pak Tunggul sudah ada di teras. Ken Endok pun berjalan menuju teras menghampiri Tunggul Ametung yang sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang.

"Permisi Pak..., selamat pagi...," kata Ken Endok menghentikan percakapan tiga orang di teras itu.

"Eh..., sudah dateng to kamu," kata Pak Tunggul ketika menoleh dan melihat Ken Endok. Kemudian dia memberi aba-aba kepada dua orang tadi untuk pergi.

"Masuk sini Ken Endok, belanjaanmu taruh di situ aja dulu biar diurus sama orang belakang. Ayo kita sowan Ndoro Bram dulu biar kamu kenalan." kata Tunggul yang lalu berteriak, "Jumiyeeem..., ini belanjaan bawa ke dapur."

"Nggiiiih Dhoro...," terdengar sahutan dari dalam rumah.

"Ayo sini..., ikut saya," kata Tunggul mengajak Ken Endok.

Ken Endok mengikuti Tunggul Ametung dari belakang setelah menaruh belanjaanya. Mereka melintasi teras rumah itu ke sisi yang tembus lapangan badminton. Ken Endok sempet berkata dalam hati, "Kenapa kok harus pake kenalan dulu sama Ndoro Bram ya? Bukannya tinggal masak aja?"

"Ken Endok, Ndoro Bram tadi bilang pengin tahu siapa yang masak nasi goreng enak kiriman saya waktu itu. Saya tahu itukan kamu yang masak karena di suruh Ibu." kata Tunggul seolah menjawab pertanyaan dalam hati Ken Endok.

"Oh gitu Pak...," kata Ken Endok lirih.

Dada Ken Endok terasa berdebar saat Tunggul Ametung mengetuk pintu Paviliun yang ditinggali Bramantyo. Betapa tidak, baru kali ini dia akan bertemu dengan "Tuan Besar". Jangankan dia yang hanya seorang istri buruh tani, Pak Tunggul Ametung aja sepertinya sangat hati-hati dan hormat menghadapi Ndoro Bram, pikir Ken Endok.

"Masuk Pak Tunggul!," terdengar suara tegas berwibawa dari dalam.

Tunggul Ametung memutar handle pintu dan membukanya perlahan sambil tangan yang satunya memberi isyarat pada Ken Endok untuk mendekat.

Ken Endok mendekat dengan hati-hati dan menundukkan kepala seolah tidak berani menatap orang di dalam paviliun itu. lalu dia mendengar suara Tunggul, "Selamat pagi Pak Bram, ini Ken Endok yang memasak nasi goreng kiriman saya dulu itu."

"Oh iya, sini masuk dulu. Duduk sini," kata Bramantyo ramah.

"Ayo sini Ken Endok," kata Tunggul, "Kasih salam sama Ndoro Bramantyo," lanjutnya.

Masih sambil menunduk Ken Endok maju mendekati orang yang berdiri agak ke dalam. Matanya hanya tertuju pada kaki Bramantyo, tidak berani menatapnya. Lalu kedua tangannya menjulur untuk bersalaman. Bramantyo pun dengan hangat menyambut salam itu, terasa kekar namun halus di tangan Ken Endok.

"Maaf Pak Bram, saya izin mempersiapkan dulu pekerjaan kita hari ini. Silahkan Pak Bram kalo mau pesen nasi goreng khusus biar dibuatkan Ken Endok," kata Tunggul Ametung. Debar jantung Ken Endok pun semakin cepat ketika tahu akan ditinggalkan hanya berdua.

"Oh iya Pak Tunggul, saya tak ngobrol dulu sama... siapa tadi namamu?" kata Bramantyo pura-pura tidak ingat nama Ken Endok.

"Ken Endok Ndoro..." sahut Ken Endok pelan.

"Oh iya... Ken Endok!, duduk dulu di sini biar Pak Tunggul siap-siap buat pekerjaan hari ini." kata Bramantyo.

"Saya tinggal dulu Pak...," kata Tunggul sambil keluar dan menutup pintu.

"Ayo duduk jangan malu-malu," kata Bramantyo.

"Nggih Ndoro...," Ken Endok menyahut sambil menuju tempat duduk yang agak jauh dari posisi Bramantyo.

"Nasi gorengmu itu enak banget lho," kata Bramantyo sambil duduk diseberang Ken Endok dan menyalakan rokoknya. Lalu lanjutnya, "Belajar di mana kamu kok bisa bikin nasi goreng seenak itu?"

"Eh... anu Ndoro, saya hanya bantuin ibu saat masak saja." kata Ken Endok masih sambil menunduk belum berani mengangkat kepalanya.

"Oh jadi Ibumu juga pinter masak to? Ken Endok, kamu ndak usah takut dan malu-malu gitu ketemu saya. Coba angkat kepalamu, kok dari tadi nunduk saja."

"Eh iya Ndoro," pelahan Ken Endok mengangkat kepalanya dan menatap pria di depannya.

"Nah gitu," kata Bramantyo tersenyum.

Melihat wajah tampan dan berwibawa itu, Ken Endok seperti melihat seorang yang bijak dan kebapaan. Dia tidak menyangka kalo ternyata seperti ini wajah Ndoro Bramantyo itu.

"Kamu sudah keluarga?" tanya Bram seperti membuyarkan kekaguman Ken Endok memandangi wajah Bramantyo.

"Nggih Ndoro, sudah..."

"Oh, berapa anakmu?"

"Belum Ndoro, saya baru menikah 2 bulan yang lalu."

"Wah..., manten anyar to kamu itu..." kata Bramantyo ramah.

"Nggih Ndoro..."

"Lha terus kamu sekarang tinggal sama suami atau masih ikut Bapak Ibu?"

"Saya tinggal sama Mas Gajah Para suami saya. Bapak sama ibu tinggal di Pangkur, Desa diseberang sungai itu." Ken Endok mulai lancar bicara. Dia merasa berada dengan orang yang sangat kebapaan dan mengayomi sehingga mengalir begitu saja cerita tentang awal bertemu hingga pernikahanya dengan Gajah Para. Tetapi Ken Endok tentu tidak bercerita soal kejantanan Gajah Para yang terganggu.

Bramantyo mendengar cerita itu sambil menatap wajah Ken Endok yang muda dan cantik. Andai saja dia tinggal di kota, pikir Bramantyo, pasti sudah jadi model atau artis. Wajah cantiknya yang alami tanpa polesan dan didukung bentuk tubuhnya yang proporsional membuat Bramantyo berdesir dadanya. Bramanatyo tidak fokus lagi dengan apa yang diceritakan Ken Endok, karena sebagian besar juga pernah dia dengar dari Tunggul Ametung. Dia lebih banyak menikmati kecantikan alami di depan matanya itu.

Melihat kecantikan Ken Endok, gairah kejantanan Bramantyo sebetulnya mulai memberontak menuntut segera dilampiaskan. Namun akal sehatnya masih mengekangnya. Bramantyo yang sangat berpengalaman menghadapi ribuan wanita, faham bahwa Ken Endok bukanlah wanita yang bisa diselesiakan hanya dengan beberapa lembaran ratusan ribu. Ken Endok butuh pendekatan spesial sebelum dia jatuhkan dalam pelukannya.

"Wah menarik juga cerita hidupmu...," kata Bramantyo saat Ken Endok berhenti bercerita. Lalu lanjutnya, "Oh iya, mungkin sekarang kamu bisa mulai buatkan saya nasi goreng."

"Oh nggih ndoro, kalo gitu saya ke dapur dulu...," kata Ken Endhok sambil berdiri.

"Nggak usah ke dapur di Rumah Induk, di sini aja masaknya. Itu dibelakang ada dapur kecil. Cukuplah buat bikinin nasi goreng satu piring saja."

"Tapi belanjaan saya tadi di bawa ke dapur Ndoro," sahut Ken Endok.

"Sebentar...," kata Bramantyo sambil membuka HP-nya. "Pak Tunggul, tolong tadi belanjaan Ken Endok suruh bawa ke sini ya.." kata Bramantyo berbicara melalui HP.

"Nanti aku tak mandi dulu, kamu siapin nasi goreng ya Ken Endok. Dibelakang itu ada dapur kecil yang sudah lengkap peralatanya."

"Nggih Ndoro...," jawab Ken Endok singkat.

Bramantyo berdiri lalu masuk ke kamar meninggalkan Ken Endok sendirian di ruang tamu. Tak berapa lama terdengar pintu diketuk dari luar. Ken Endok berdiri dan membukakan pintu, ada seorang pelayan membawakan belanjaan Ken Endok tadi. "Oh..., suwun nggih mbak (terima kasih ya Mbak)," kata Ken Endok sambil menerima dua tas kresek berisi belanjaan dia tadi.

Ken Endok pun ragu, dia akan berjalan ke belakang tapi harus melalui kamar Bramantyo yang terlihat terbuka. Dia tidak berani melangkah dan duduk lagi menunggu Bramantyo keluar kamar. Tiba-tiba Bramantyo keluar kamar, Ken Endok terperangah kaget karena melihat Bramantyo hanya mengenakan handuk yang dililitkan dari lutut hingga pinggang. Bramantyo tahu benar bahwa aksinya ini akan membuat Ken Endok terkejut. Dengan santainya, seolah tidak ada yang salah denganya, dia berkata sambil menatap Ken Endok, "Lhoh..., kok belum ke dapur to? sini ayo lewat sini."

"Nggih Ndoro...," Ken Endok berdiri menunduk dan berjalan ke arah Bramantyo.

Bramantyo pun berjalan ke arah belakang diikuti Ken Endok. Dapur itu memang kecil namun mewah dan lengkap dengan peralatan masak. Ken Endok baru menyadari kenapa Bramantyo keluar hanya mengenakan handuk, ternyata kamar mandi Paviliun ini tepat berada disebelah dapur lebih kebelakang.

"Ini di sini kamu masaknya, pake aja itu alat-alat yang kamu perlukan. Aku mandi dulu, jangan ngintip yo..?" kata Bramantyo bercanda sambil masuk ke kamar mandi.

"Eh..., iya iya Ndoro.." Ken Endok tampak tersipu mendengar candaan Bramantyo.

Ken Endok mulai sibuk memasak, nasi untuk digoreng sudah dia siapkan tadi dari rumah sehingga tinggal meracik bumbu-bumbu. Ketika Ken Endok mulai mengaduk bumbu-bumbu di dalam wajan, aroma bumbu nasi goreng sangat menggugah selera. Ken Endok sangat fokus dan hati-hati memasak kali ini. Dia ingin Bramantyo tertarik dengan masakannya lalu bisa membantu membuka jalan untuk rencana usahanya. Tak berapa lama kemudian, Ken Endok terperanjat ketika pundaknya terasa ada yang memegang, dia menoleh kebelakang dan melihat ternyata Bramantyo tepat berdiri dibelakangnya. Kepala Bramantyo tampak mendongak ke atas dengan kepala terpejam seperti menghirup aroma bumbu nasi goreng, "Wah..., aroma bumbunya aja sudah seenak ini," kata Bramatyo sambil menunduk dan membuka matanya langsung menatap Ken Endok yang terlihat salah tingkah. Bramantyo menepuk-nepuk pundak Ken Endok sambil berkata, "Cepet diselesaikan ya, wis ndak sabar aku mau makan nasi gorengmu." Sambil tersenyum Bramantyo lalu membalikan badan dan berjalan ke lorong yang menuju kamar.

Ken Endok sepertinya masih shock diperlakukkan seperti itu. Dia sama sekali tidak menyangka kalo Ndoro Bramantyo memperlakukannya seakrab itu. Fikirannya pun berkecamuk tidak bisa memahami apa yang barusan terjadi. Dia tetap melanjutkan memasak dan menyelesaikannya, lalu menata nasi goreng itu dalam piring dengan telor mata sapi melingkar diatas. Dia siapkan juga segelas air putih. Ken Endok membawa hidangan itu di atas nampan ke ruang tamu, dia melihat pintu kamar Bramantyo tertutup saat melewatinya. Hidangan itu diletakkan di meja tamu di depan kursi di mana tadi Bramasntyo duduk, lalu dia duduk di kursi seberangnya dan menunggu.

Bramantyo keluar kamar dengan celana jeans dan T-Shirt warna biru muda. Dia menutup pintu kamar dan menguncinya. Melihat penampilannya itu, Ken Endok seperti melihat Dewa dari langit dengan wajah yang sangat tampan dan mata yang bersinar. Aroma parfumnya juga tercium lembut di udara. Kekagumannya memandangi sosok Bramantyo seketika buyar saat Bramantyo berkata, "Eh sudah siap sarapannya, lhoh la kamu mana?"

"Ah... anu Ndoro, anu... nanti saja tidak apa-apa," jawab Ken Endok terbata-bata.

"Lha piye to, aku makan sendirian ini..."

"Iya.., iya Ndoro..., monggo di dahar, maaf kalo rasanya kurang pas."

Bramantyo duduk lalu perlahan mengambil sendok dan mulai menyuap.., matanya terpejam seolah sedang serius merasakan nasi goreng. Ken Endok sedikit cemas dan menanti respon Bramantyo. Dia melihat pria itu mulai menelan nasi goreng bikinanya. "Luar biasa..., uenak tenan ini. Belum pernah aku ngerasain nasi goreng seenak ini," kata Bramantyo tersenyum sambil menatap Ken Endok. Dia pun melanjutkan suapannya dengan bersemangat seperti seorang yang belum pernah makan nasi goreng. Ken Endok merasa lega dan senang dipuji seperti itu. Dia menatap pria di depannya itu masih dengan rasa kagum. Dia seperti melihat seorang laki-laki yang sempurna.

Sambil menghabiskan sisa-sisa nasi di piringnya, Bramantyo berkata, "Eh..., kamu biasanya jam berapa anter makan siang ke suamimu?"

"Ndak Ndoro, tadi pagi sudah saya siapkan biar bisa dibekel sekalian."

"Oh.., ya sudah kalo gitu. Kamu masak lagi aja buat makan siang saya ya.."

"Ndoro mau 'dahar' (makan) apa siang nanti?"

"Opo yo?," Bramantyo tampak berpikir sebentar, "Anu saja, buatin saya sayur asem sama ayam goreng. Sambel terasi sama lalapan. Tambah tahu tempe. Wis itu aja cukup."

"Nggih Ndoro...," sahut Ken Endok.

Bramantyo berdiri mendekat ke Kend Endok, dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu. "Ini buat belanja, bikin yang enak ya..." kata Bramantyo sambil menyerahkan uangnya pada Ken Endok.

"Anu Ndoro, uang yang semalem masih cukup buat belanja," kata Ken Endok menolak pemberian Bramantyo.

"Ndak apa-apa, ini buat tambah-tambah aja.." Bramantyo memaksa dengan mengambil tangan Ken Endok dan menaruhnya digenggaman. Agak beberapa lama Bramantyo memegang tangan Ken Endok, sambil tersenyum dia berkata, "Yang enak ya..., nanti kalo ndak enak uangnya tak minta kembali."

"Nggih...nggih Ndoro," kata Ken Endok salah tingkah merasakan genggaman tangan Bramantyo.

"Ya sudah, saya tak kerja dulu sama Pak Tunggul," kata Bramantyo sambil berbalik akan membuka pintu depan. Namun dia berhenti sebentar dan menoleh ke Ken Endok sambil berkata, "Eh anu, kamu punya teman yang bisa memijat ga? Badanku agak pegal-pegal ini."

"Oh..., anu ndoro, coba nanti saya carikan. Tapi kalo ndoro mau, saya sebetulnya juga bisa memijat," kata Ken Endok tanpa sadar menawarkan diri karena merasa punya keahlian memijat. Ken Endok memang pandai memijat, ayahnya selalu menyuruhnya memijat ketika lelah setelah berkeliling sebagai Dalang. Dia belajar dari Ibunya yang juga seorang ahli memijat di masa lalu.

"Oh ya? Kamu pinter masak dan bisa memijat juga?"

"Iya Ndoro, Ibu saya dulu waktu muda memang pemijat yang cukup dikenal. Bahkan, Ibu cerita kalo berjodoh dengan Bapak karena memijat itu. Setelah menikah Bapak melarang Ibu memijat, jadi ibu beralih menjadi tukang masak"

"Oooh gitu. Ya sudah, nanti coba aku rasakan juga kepinteranmu yang lain..." jawab Bramantyo sambil membuka pintu dan berjalan ke luar. Dia seolah kurang peduli dengan tawaran Ken Endok. Padahal, di dalam hati Bramantyo bersorak gembira karena memang itu tujuan sebenarnya, dipijat Ken Endok! Bramantyo benar-benar merasa beruntung, dia tidak perlu lagi mengambil jalan berputar-putar untuk mendapatkan Ken Endok.

BERSAMBUNG

Baca Lengkap di Sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun