Mohon tunggu...
Saidul Afkar
Saidul Afkar Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA DI UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

HOBI : FUTSAL

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Review Buku Hukum Perdata Islam Karya Elfirda Ade Putri

12 Maret 2024   22:29 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:07 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

REVIEW BUKU HUKUM PERDATA ISLAM

Karya : Elfirda Ade Putri, S.H., M.H.

Oleh : Saidul Afkar, 222121220

 

 

Judul : Hukum Perdata Islam

Penulis : Elfirda Ade Putri, S.H., M.H.

Tahun terbit : 2020

Penerbit : Deep Publish

Buku hukum perdata islam ini adalah buku yang memuat mengenai berbagai hukum perdata islam yang ada dan berlaku di indonesia dan tujuan ditulisnya buku iniadalah untuk menjadi buku ajar dalam perkuliahan hukum perdata islam dan juga sebagai pembelajaran agar hukum perdata islam dapat mudah dimengerti orang lain khusunya bagi para mahasiswa.

Buku ini memiliki 8 bab yang mana per bab membahas persoalan yang berbeda mengenai hukum perdata islam, 8 bab tersebut yaitu:

Bab 1: Hukum Perdata Islam

Bab 2 : Hukum Perkawinan Di Indonesia

Bab 3 : Mahar, Pencatatan, Akad Nikah, Larangan, Pencegahan, dan Pembatalan Perkawinan

Bab 4 : Perjanjian Perkawinan, Perkawinan Wanita Hamil, dan Perkawinan Poligami

Bab 5 : Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Beda Kewarganegaraan

Bab 6 : Putusnya Perkawinan dan Alasan-alasan Perceraian

Bab 7 : Tata Cara Perceraian, Rujuk, dan Massa Idah

Bab 8 : Akibat Hukum Putusnya Perkawinan, Harta Bersama dan Hak asuh Anak

Buku ini tulis dengan baik dan mudah dipahami, buku ini menjelaskan secara detail setiap persoalan hukum perdata islam dan juga memuat sumber yang jelas dan juga lengkapdengan contoh dari persoalan tersebut yang membuat pembaca jelas dalam memahami hal tersebut .

Pada bab 1 buku ini menjelaskan mengenai apa itu pengertian dari hukum perdata islam itu sendiri dan ruang lingkup dari hukum perdata islam, sejarah hukum perdata islam di indonesia, sumber-sumber hukum perdata islam dan hukum perdata islam dan kekuatan hukumnya di indonesia.

Pengertian hukum perdata islam : Pengertian hukum perdata islam yaitu peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah swt. Dan sunnah rasul yang mencakup norma hukum seperti munakahat dan faraid.

Ruang lingkup hukum perdata islam : 1) munakahat, yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, serta akibat-akibatnya. 2) Wirasah, mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta harta peninggalan warisan. 

3) Jinayat, yang memuat aturan-aturan yang mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman. 4) Mukhassamat, mengatur soal peradilan, kehakiman dan hukum acara. 5) Al-ahkam al-sulthaniyah, membicarakan soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan baik pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya, 6) Siyar, mengatur urusan perang dan damai.

Sejarah hukum perdata islam di indonesia : 1) Masa kerajaan, hukum islam dipraktikkan masyarakat dalam bentuk yang hampir sempurna mencakup masalah muamalah dan ahwal al syakhsiyyah. 2) Masa Penjajahan belanda, adanya teori receptie dimana hukum islam bisa diterima dan punya kekuatan hukum apabila diterima oleh hukum adat.

 3) Masa Penjajahan Jepang, tidak banyak perubahan hanya saja jepang ingin menghapus segala hal yang berhubungan dengan pemerintahan belanda. 4) Masa Kemerdekaan, tidak berlakunya lagi teori receptie karena bertentangan dengan Al-quran dan sunnah rasul. 5) Masa Orde Baru, kontribusi besar islam dalam menumbangkan rezim orde lama dan banyak produkhukum islam yang menjadi hukum positif. 6) Masa Reformasi, masa bertambah luasnya aspirasi politik umat islam karena munculnya berbagai partai islam dan munculnya tokoh politik islam.

Sumber-sumber Hukum Perdata islam : 1) Pancasila, 2) UUD 1945 amandemen, 3) UU no.7 tahun 1989 tentang sebagimana diubah dengan UU no.3 tahun 2006 tentang pengadilan agama, 4) UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan, 5) Inpres Presiden no.1 tahun 1991 tentang penyebaran kompilasi Hukum Islam.

Hukum Perdata Islam dan Kekuatan hukumnya di Indonesia : 1) Syariah 2) Fikih, 3) Fatwa, 4) Yurisprudensi, 5) Peraturan Perundang-undangan

Pada bab 2 tentang Hukum perkawinan di indonesia memuat tentang pengertian perkawinan, prinsip hukum perkawinan, rukun dan syarat sah perkawinan, pengertian peminangan, syarat dan halangan peminangan, akibat hukum perkawinan dan peminangan, dan hak kewajiban suami istri dalam hukum perdata.

Pengertian Perkawinan : perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. (pasal 1 UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan)

Prinsip Hukum Perkawinan : 1) Asas Kesukarelaan dan Persetujuan kedua belah pihak, 2) Asas membentuk keluarga yang sakinah,mawaddah, warahmah dan kekal, 3) Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan pihak yang melaksanakan perkawinan, 4) Asas monogami terbuka, 5) Asas calon suami dan istri telah matang jiwanya untuk kawin, 5) Asas mempersulit perceraian, 6) Asas keseimbangan hak dan kewajiban suami istri, 6) Asas pencatatan perkawinan.

Rukun dan syarat sah perkawinan : 1) adanya keduam mempelai, 2) Wali, 3) Saksi, 4) Ijab Qabul

Pengertian Peminangan : upaya seorang lelakiatau perempuan ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan cara yang baik (ma'ruf)

Syarat dan halangan peminangan : 1) syarat lazimiyah, syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan itu dilakukan, 2) syarat mustahsinah, syarat yang tidak harus dipenuhi tetapi apabila dipenuhi mendapat ihsan (kebaikan). hal yang perlu diperhatikan, 1) peminangan nya hanya kepada wanita yang perawan atau kepada janda yang telah habis masa idah, 2) wanita yang masih dalam masa idah dilarang untuk dipinang, 3) dilarang meminang wanita yang telah dipinang pria lain, 4) putusnya pinangan daripihak pria adanya pernyataan putusnya hubungan pinangan.

Akibat hukum perkawinan dan peminangan : 1) belum menimbulkan akibat hukum dan dapat memutus hubungan kapan saja, 2) kebebasan memutuskan hubungan harus dilaksanakan dengan cara yang baik, 3) antara pemberian (hadiah) dengan mahar haruslah dibedakan.

Hak dan kewajiban suami istri :  kewajiban suami, 1) pembimbing istri dan rumah tangganya, 2) melindungi istri dan memberi segala keperluan hidupberumah tangga, 3) memberi pendidikan agama kepada istri dan memberi kesempatan belajar, 4) menanggung nafkah, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya pengobatan, biaya perawatan, biaya pendidikan, 5) menyediakan tempat tinggalbagi istri dan anaknya, 6) wajib melengkapi tempat kediaman, 6) memberi tempat tinggal dan biaya hidup, 7) membayar mahar dengan jumlah, bentuk, dan jenisnya sesuai kesepakatan, 8) mehar menjadi hak istri. Kewajiban istri, 1) berbakti lahir dan batin kepada suami, 2) menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sebaik mungkin.

Pada bab 3 memuat mengenai mahar, kedudukan mahar dalam perkawinan, pencatatan perkawinan, akibat hukum dari dicatat atau tidaknya perkawinan, larangan perkawinan, pencegahan perkawinan, dan pembatalan perkawinan.

Mahar : pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam (pasal 1 huruf d KHI)

Kedudukan mahar dalam perkawinan : pada surah Al-baqarah ayat 237 dan an-nisa ayat 4 sebagai dasar hukum bahwa laki-laki wajib membayar mahar kepada perempuan yang hendak dinikahinya dengan ikhlas agar hak perempuan dapat ditegakkan dan terkait jenis mahar besar atau kecil tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak.

Pencatatan perkawinan : pencatatan perkawinan perlu dilakukan setelah perkawinan telah sah dilakukan, bagi yang ber agama islam pencatatatan perkawinan dilakukan dari KUA yang hadir sedangkan untuk agama katolik, kristen, budha, hindu pencatatan perkawinan dilakukan di kantor catatan sipil.

Akibat hukum dicatat atau tidaknya perkawinan: fungsi dan manfaat pencatatan perkawinan adalah untuk bukti autentik jika terjadi masalah dalam perkawinan antara pasangan tersebut dan jika terjadi perceraian akta perkawinan digunakan sebagai bukti dan alat dalam penyelesaiannya. Akibat hukum tidak dicatatnya perkawinan, 1) perkawinan dianggap tidak sah, 2) sah menurut agama tetapi dianggap tidak sah oleh negara, 3) anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, 4) anak dan ibu tidak berhak atas nafkah dan warisan.

Larangan perkawinan : 1) karena pertalian nasab, 2) karena pertalian kerabat semenda, 3) karena pertalian susuan, 4) karena berbeda agama, 5) karena sesama jenis.

Pencegahan perkawinan : 1) syarat materil, berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akad nikah, dan larangan perkawinan, 2) syarat administratif, syarat perkawinan yang melekat pada setiaprukun perkawinan dan pelaksanaan akad nikah. Yang dapat mencegah perkawinan ialah keluarga, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai. Yang dapat membatalkan pencegahan adalah putusan pengadilan atau pemohon menarik kembali permohonan.

Pembatalan perkawinan : usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan perkawinan setelah sebelumnya perbuatan itu terjadi. Hal yang menyebabkan pembatalan perkawinan, 1) masih adanya ikatan perkawinan dengan seseorang, 2) perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat yang tidak berwenang, 3) belum mencapai usia untuk kawin, 4) tiada kecakapan untuk memberi kesepakatan, 5) keluarga ada hubungan sedarah, 6) perkawinan ketiga kalinya dengan orang yang sama, 7) perkawinan yang dilakukan meskipun ada pencegahan.

Selanjutnya pada bab 4 berisi tentang perjanjian dalam perkawinan, perkawinan wanita hamil, perkawinan poligami.

Perjanjian dalam perkawinan : adalah persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah. 

Perjanjian perkawinan diatur UU perkawinan pasal29 UU no.1 tahun 1974 menyatakan bahwa "pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat engadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan." perjanjian tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, perjanjian berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah.

Perkawinan wanita hamil : kawin dengan seorang wanita yang hamil diluar nikah baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang bukan menghamilinya. Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya dan dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anaknya dan apabila perkawinan telah dilangsungkan pada saat hamil tidak perlu di ulangi setelah anak itu lahir.

Perkawinan poligami : pada surah an-nisa ayat 3 adalah satu-satunya yang menerangkan poligami. Pada ayat ini tidak dianjurkan untuk poligami tetapi hanya memberikan izin dan itupun harus dengan syarat yang sangat ketat. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri begitupun sebaliknya dan pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan juga alasan dan syarat nya harus logis dan memenuhi syarat-syarat untuk dapat ber poligami.

Selanjutnya di bab 5 membahas tentang perkawinan beda agama dan perkawinan beda kewarganegaraan.

Perkawinan beda agama : perkawinan beda agama di indonesia telah menjadi sebuah peristiwa kontemporer yang dipandang bagi pendukungnya merupakan hak untuk memilih pasangan hidup terlepas dari agamanya apa karena itu bagi mereka yang melakukan pernikahan beda agama. 

Dalam UU republik Indonesia no.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan : "perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan dan di wilayah Indonesia perkawinan harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak di perbolehkan untuk melaksanakan dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan beda agama berarti pernikahan itu tidak sah dan melanggar UU.

Perkawinan beda kewarganegaraan : adalah perkawinan antara dua orang di indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan. Dan status anak yang lahir dari perkawinan beda kewarganegaraan adalah warga negara asing dan harus dibuatkan paspor dan dibuatkan kartu izin tinggal sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusan yang tidak murah.

Pada bab 6 memuat tentang putusnya perkawinan, alasan-alasan perceraian berdasarkan UUP dan  KHI, dan  hal-hal yang dapat melepaskan ikatan pernikahan.

Putusnya perkawinan : artinya adalah tali perkawinan telah tidak tersambung atau terhubung lagi, singkatnya hubungan suami istri telah berakhir. Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.

Alasan perceraian berdasarkan UUP dan  KHI: perceraiang hanya dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain perceraian harus melalui pengadilan, namun tidak mudah menggugat ataupun memohon cerai ke pengadilan, harus ada  alasan yang cukup menurut hukum sehingga gugatan cerai bisa dikabulkan pengadilan. 

Alasan yang menjadi dasar perceraian: 1) salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, penjudi, 2) salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut- turut tanpa izin, 3) salah satu pihak dipenjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat, 4) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, 5) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang membuat ia tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri, 6) antara suami istri terus menerus ada perselisihan dan pertengkaran dan tidak harapan untuk hidup rukum lagi dalam berumah tangga, 7) suami melanggar taklik-talak, 8) murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Hal-hal yang dapat melepaskan ikatan pernikahan : 1) talak, tindakan perceraian dalam hukum islam yang diberikan oleh suami kepada istrinya dengan cara tertentu sesuai dengan ajaran islam. 2) Fasakh, perkawinan itu dirusakkan atau diputuskan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim pengadilan agama, biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah seorang istri, alasan diperbolehkannya fasakh seorang istri adalah suami gila, suami sakit menular, suami kehilangan kemampuan melakukan hubungan kelamin, suami jatuh miskin dan tidak dapat menafkahi istri, istri merasa tertipu baik nasab,kekayaan atau kedudukan suami, suami pergi tanpa diketahui dan tanpa berita. 

3) Khulu', bentuk perceraian atas persetujuan suami-istri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkancerai dengan khuluk itu. Syarat sah nya khuluk ialah harus dengan kerelaan dan persetujuan suami-istri, besar kecilnya uang tebusan ditentukan dengan persetujuan bersama suami-istri dan apabila tidak ada persetujuan antara keduanya mengenai uang penebus akan ditentukan oleh hakim pengadilan agama. 4) Li'an, sumpah yang didalamnya terdapat penyataan bersedia menerima laknat tuhan apabila  berdusta atas sumpah yang dia ucapkan, akibatnya ialah putusnya perkawinan anta suami dan istri untuk selama- lamanya. 

5) ila', bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan , 6) zhihar, seorang suami yang bersumpah bahwa istrinya itu baginya sama dengan punggung ibunya, dengan bersumpah demikian berarti sang suami telah menceraikan istrinya dan apabila hendak menyambungnya kembali wajiblah sang suami membayar kafarahnya terlebih dahulu, bentuk membayar kafarahnya seperti memerdekakan budak, puasa 2 bulan berturut-turut, memberi makan 60 orang miskin. 7) hadhanah, apabila terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu maka yang berhak mengasuh adalah ibu atau nenek seterusnya keatas.

Pada bab 7 menjelaskan mengenai tata cara perceraian, rujuk dan masa idah.

Tata cara perceraian : 1) pengajuan gugatan, gugatan perceraian diajukan oleh suami istri atau kuasanya kepada pengadilan dan gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat tergugat dan apabila tergugat telah meninggalkan  pihak lain selama 2 tahun maka gugatan di ajukan di pengadilan tempat penggugat. 2) pemanggilan, pemanggilan disampaikan melalui surat, pemanggilan dilakukan oleh juru sita (pengadilan negeri) dan petugas yang ditunjuk (pengadilan agama), pemanggilandilakukan dengan cara yang patut dan diterima pihak selambat-lambatnya 3 hari sebelum sidang, pemanggilan bagi tergugat yang kediamannya tidak jelas pemanggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di pengadilan. 

3) persidangan, untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan 30 hari oleh pengadilan, para pihak yang berperkara dapat menghadiri sidang atau didampingi kuasanya, apabila tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil maka gugatan dapat diterima tanpa hadirnya tergugat, pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. 

4) perdamaian, pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak sebelum maupun selama persidangan sebelum gugatan diputuskan, apabila terjadi perdamaian maka tidak boleh diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian, dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang lain atau badan yang dianggap perlu. 

5) putusan, pengucapan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang terbuka, putusan dapat dijatuhkan walau tergugat tidak hadir, perceraian dianggap terjadi dengan segala akibat-akibatnya terdapat perbedaan antara orang yang beragama islam dan yang lainnya.

Rujuk : kembali hidup sebagai suami-istri antara laki-laki dan wanita yang  melakukan perceraian dengan jalan talak raj'I selama masih dalam masa idah tanpa pernikahan ba'in, hak rujuk adalah suami sebagai imbangan dari hak talak yang dimilikinya. Syarat rujuk, 1) bekas istri yang ditalak sudah pernah dicampuri, 2) harus dilakukan dalam masa idah, 3) disaksikan oleh 2 orang saksi, 4) talak dari suami tidak disertai 'iwald dari pihak istri, 5) persetujuan istri yang akan dirujuk.

Masa idah : masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh talak dalam waktu mana si suami boleh merujuk kembali istrinya. Sehingga pada masa idah ini si istri belum boleh melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Tujuan masa idah, 1) untuk memberi kesempatan berpikir kembali dengan pikiran yang jernih setelah menghadapi keadaan rumah tangga yang panas, 2) apabila cerai karena ditinggal mati suami idah untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami, 3) untuk mengetahui keadaan istri dalam keadaan mengandung atau tidak.

Pada bab terakhir atau bab 8 membahas tentang akibat hukum putusnya perkawinan, pengertian harta bersama dan hak asuh anak menurut UUP dan KHI.

Akibat hukum putusnya perkawinan : 1) baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anaknya semata-semata berdasarkan kepentingan anak, 2) bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, 3) pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Harta bersama : pasal q butir f KHI menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Hak asuh anak : undang-undang perkawinan pasal 42 sampai pasal 54 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan pada pasal 105 KHI ini dijelaskan hak asuh anak yang masih berusia dibawah 12 tahun adalah hak ibunya. Namun pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan, yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua.

Penulis : Saidul Afkar, 222121220

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun