Sebut saja, namanya Dina. Pekerja sebuah hotel di Jakarta, yang setiap bulan mendapat upah sebesar Rp 4.267.349. Sesuai dengan UMP DKI.
Secara normal, dia bekerja 40 jam seminggu. Sehari 8 jam. Meskipun tidak masuk bekerja karena tanggal merah hari besar nasional atau keagamaan, cuti haid, sakit, bahkan ketika sedang "tidak ada pekerjaan", upah yang diterimanya tidak pernah kurang dari UMP.
Wacana pemberlakuan upah per jam membuat hatinya resah. Jika upah per jam diberlakukan, dengan UMP DKI saat ini; maka upah per jamnya adalah sebesar Rp 17.780 [4,26 juta dibagi 30 (hari), hasilnya dibagi 8 (jam)].
Sebagai housekeeping yang tugasnya bersih-bersih dan merapikan ruangan, bisa saja perusahaan hanya mempekerjakannya 2 jam sehari. Itu artinya, dalam seminggu Dina hanya perlu bekerja selama 10 jam. Jika sebulan ada empat minggu, berarti totalnya 40 jam.
Dikalikan upah per jam 17.780, maka sebulan dia hanya akan mendapatkan upah sebesar 711 ribu. Layakkah seorang buruh bekerja di Jakarta hanya mendapatkan upah sebesar 711 ribu?
Secara teori, setelah bekerja 2 jam di hotel, Dina bisa bekerja di tempat lain. Tetapi masalahnya, mau bekerja dimana? Â Lapangan pekerjaan sangat terbatas. Sementara pencari kerja setiap saat membludak. Gadis manis ini akan kesulitan mencari pekerjaan tambahan.
Berdasarkan apa yang dikhawatirkan Dina itulah, saya mengatakan, upah per jam akan membuat buruh menjadi absolut miskin. Perusahaan akan beramai-ramai merubah sistem penggajian berdasarkan upah per jam. Sehingga pendapatan buruh di bawah upah minimum.
Ada yang bilang, upah per jam tidak untuk pekerja yang bekerja selama 40 jam seminggu. Itu hanya pemanis saja. Dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga tidak lagi 40 jam seminggu. Dengan demikian ia memenuhi syarat untuk membayar upah per jam. Upah minimum pun hilang.
Kekhawatiran Dina juga dikhawatirkan oleh jutaan pekerja di Indonesia. Karena itulah, pada tanggal 20 Januari 2020, Â setidaknya 30 ribu orang buruh akan mendatangi DPR RI.
Maksud kedatangan puluhan ribu buruh ini adalah untuk meminta agar wakil rakyat di Senayan menolak omnibus law dan menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Ratusan ribu buruh juga melakukan hal yang sama untuk menolak omnibus law dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan mendatangi DPRD di masing-masing provinsi, seperti Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Utara, Kepuluan Riau, Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Maluku.
Mereka akan meminta Gubernur dan DPRD untuk membuat surat rekomendasi kepada Presiden RI terkait penolakan terhadap omnibus law dan iuran BPJS Kesehatan.
Bagi kaum buruh, omnibus law tidak membawa kebaikan bagi kaum buruh. Sebaliknya, beleid ini justru memberikan ancaman terhadap kesejahteraan yang selama ini mereka dapatkan.
Selain masalah hilangnya upah minimum, dampak lain yang akan terjadi adalah sebagai berikut:
Hilangnya Pesangon
Menko Perekonomian menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah.
Terkait hal ini, bahwa di dalam UU No 13 Â Tahun 2003; sudah diatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh yang ter-PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah.
Selain itu, Â mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15% dari toal pesangon dan/atau penghargaan masa kerja.
Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih.
Penggunaan Outsourcing dan Buruh Kontrak Diperluas
Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja. Kita menafsirkan, istilah fleksibilitas pasar kerja adalah tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT). Dalam hal ini, outsourcing dibebaskan di semua lini produksi.
Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa dioutsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas.
Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan.
Lapangan Pekerjaan yang Teredia Berpotensi Diisi Tenaga Kerja Asing  (TKA) Unskill
Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu. TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskill workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia.
Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlain khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasinoal, maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional.
Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya 3 -- 5 tahun, dia harus kembali ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal.
Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job, dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan si TKA tadi.
Namun sayangnya, dalam omnibus law ada wacana, semua persyaratan tadi dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang mustinya bisa diempati oleh orang lokal diisi oleh TKA.
Jaminan Sosial Terancam Hilang
Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun.
Menurutnya, hal ini akibat dari adanya sistem kerja yang fleksibel tadi. Sebagaimana kita pahami, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.
Bagaimana mau mendapatkan jaminan pensiun, jika pekerja setiap tahun berpindah pekerjaaan dan hanya mendapatkan upah selama beberapa ja saja dalam sehari yang besarnya di bawah upah minimum?
Menghilangkan Sanksi Pidana Bagi Pengusaha
Dalam omnisbus law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Sebagaimana kita ketahui, UU 13/2003 memberikan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh.
Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah upah di bawah upah minimum, bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun. Jika sanksi pidana ini dihilangkan, bisa jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum.
Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak berikan pengusaha. Karena tidak ada efek jera.
Buruh Juga Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Selain menolak omnibus law, dalam aksi nanti, buruh juga akan menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang suda diberlakujan per 1 Januari 2020. Terkait dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut, ada 5 (lima) alasan mengapa buruh Indonesia dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) adalah menolak  kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Pertama, kenaikan ini membuat daya beli masyarakat jatuh. Sebagai contoh, untuk peserta kelas III rencananya naik dari 25 ribu menjadi 42 ribu. Jika dalam satu keluarga terdiri dari suami, istri, dan 3 orang anak (satu keluarga terdiri dari 5 orang) maka dalam sebulan mereka harus membayar 210 ribu.
Bagi warga Jakarta dengan standar upah minimum atau penghasilan sebesar 4,2 juta, mungkin tidak memberatkan. Walaupun mereka juga belum tentu setuju dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Tetapi bandingkan dengan kabupaten/kota yang upah minimumnya di kisaran satu juta, mereka pasti akan kesulitan untuk membayar iuran tersebut. Misalnya masyarakat di daerah seperti Ciamis, Pangandaran, Sragen, dan lain-lain.
Bagi daerah yang upah minimumnya di kisaran 1 juta, satu keluarga yang terdiri dari 5 anggota keluarga harus mengeluarkan biaya lebih dari 20 persen dari penghasilan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan.
Tentu saja hal ini akan sangat memberatkan. Apalagi itu adalah uang yang hilang. Dalam artian mau dipakai atau tidak, uangnya tidak bisa diambil kembali.
Dengan kata lain, kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan membuat daya beli masyarakat jatuh. Apalagi tingkat upah minimum tiap-tiap daerah berbeda.
Kedua, BPJS Kesehatan adalah jaminan kesehatan dengan hukum publik. Ia bukan PT atau BUMN yang bertugas untuk mencari keuntungan.
Dengan kata lain, jika mengalami kerugian, sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menutup kerugian tersebut.
Apalagi hak sehat adalah hak rakyat. Sebagai hak rakyat, maka tugas pemerintah adalah memberikan hak tersebut.
Dengan demikian, pemerintah tidak bisa serta-merta menaikkan iuran BPJS Kesehatan tanpa terlebih dahulu menanyakan kepada rakyat.
Ketiga, setiap tahun, iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan buruh selalu ada kenaikan.
Sebagaimana kita ketahui, iuran BPJS Kesehatan dari buruh besarnya 5% dari upah. Dimana 4% dibayarkan pengusaha dan 1% Â dibayarkan buruh. Ketika setiap tahun upah mengalami kenaikan, setiap tahun iuran BPJS juga mengalami kenaikan.
Jadi jangan dipikir setiap tahun tidak ada kenaikan.
Keempat, akan terjadi migrasi kepesertaan dari kelas I ke kelas II atau III. Apalagi jika kemudian berpindah ke asuransi kesehatan swasta dan tidak lagi bersedia membayar iuran BPJS Kesehatan.
Padahal dalam mandatnya, tahun 2019 ini seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali sudah harus menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Kelima, rakyat tidak mampu lagi membayar iuran BPJS Kesehatan. Ketika iuran semakin memberatkan dan akhirnya rakyat tidak mampu membayar iuran BPJS Kesehatan (sebagai contoh di atas satu keluarga bisa membayar hingga 20% dari penghasilan mereka), sama saja kebijakan ini telah memeras rakyat.
Padahal jaminan kesehatan seharusnya hadir adalah tanggung jawab negara sebagaimana amanat undang-undang 1945 pasal 28H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H