Mohon tunggu...
Said Iqbal
Said Iqbal Mohon Tunggu... -

Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Sekretaris Jenderal Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menjawab Tulisan Pendukung Anies - Sandi tentang "Dilema Upah Minimum"

7 November 2017   12:40 Diperbarui: 7 November 2017   13:04 1714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tulisan pendukung Anies - Sandi berjudul 'Dilema Upah Minimum' bukan saja cacat logika, tetapi juga menyesatkan.

Siapa pendukung Anies - Sandi yang saya maksud? Dugaan saya, dia adalah kelompok pengusaha hitam yang pro terhadap upah murah. Seharusnya dia tahu, bahwa menjadi hak seluruh rakyat untuk mendapatkan penghidupan yang layak demi kemanusiaan.

Karena itu, tulisan ini saya buat untuk menanggapi pernyataan pendukung Anies - Sandi yang berusaha mempertahankan upah murah di Jakarta tersebut.

Bisa dipahami jika sebagai pendukung Anies -- Sandi, dia memberikan pembelaan terhadap junjungannya. Tetapi pernyataannya terkait upah minimum, saya kira harus diluruskan.

Buruh yang melakukan kritik keras terhadap kebijakan Anies -- Sandi terkait dengan UMP DKI adalah buruh yang secara militan ikut memenangkan Anies -- Sandi. Mereka bukan barisan dari kubu sebelah, yang katakanlah, sakit hati dan belum move on.

Itu dulu point pertama yang harus dipahami oleh pendukung Anies - Sandi. Para buruh yang sebagian besar akan melakukan aksi tanggal 10 November 2017 itu, adalah buruh yang berjuang dan bekerja keras untuk memenangkan Anies - Sandi.

Hanya saja, bedanya, dukungan buruh terhadap Anies -- Sandi bukan dukungan buta. Tetapi sebuah dukungan yang didasarkan pada komitmen untuk menghadirkan sesuatu yang lebih baik bagi masyarakat DKI. Ini bukan tentang pribadi Anies -- Sandi. Juga bukan karena buruh menjadi underbow partai atau tokoh politik tertentu. Tetapi murni karena perjuangan suci untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya di Jakarta.

Meskipun baru dilantik 3 Minggu, janji tetaplah hanji

Pendukung Anies - Sandi mengatakan, pasangan ini baru 3 minggu dilantik. Dengan kalimat ini, seolah-olah dia ingin mengatakan agar kebijakan Anies -- Sandi bisa dimaklumi. Toh masih baru.

Tetapi bagi buruh yang memberikan dukungan atas dasar perjuangan idiologis, tidak bisa begitu. Bagi buruh, sekali berbohong cukuplah dikatakan sebagai pembohong. Dia telah berkhianat kepada kaum buruh yang telah memberikan dukungan kepadanya.

Satu hal yang harus diketahui, Anies -- Sandi pernah menandatangani kontrak politik dengan buruh. Dimana salah satu isinya adalah akan menaikkan UMP DKI Jakarta lebih besar dari PP 78/2015. Bukan baru 3 minggu kemarin kontrak politik ini ditandatangani, tetapi sudah berbulan-bulan yang lalu. Dengan demikian, itu artinya, Anies -- Sandi jauh-jauh hari sudah paham dengan apa yang diperjanjikannya.

Jangankan 3 minggu, bahkan sehari setelah dilantik, seorang kepala daerah terikat dengan janji yang harus ditepatinya. Jika baru dilantik saja sudah mengingkari, bagaimana kita bisa percaya jika kedepan tidak akan lagi melakukan hal yang sama di kemudian hari?

Alih-alih memaklumi, seharusnya para pendukung Anies - Sandi merapatkan barisan. Sama-sama mengusulkan kepada Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk mencatat agar Anies -- Sandi diberikan penghargaan sebagai pasangan Kepala Daerah yang paling cepat melupakan janji politiknya. Baru 3 minggu dilantik, tetapi sudah mengingkari.

Tidak tepat membandingkan UMP DKI Jakarta dengan Nusa Tenggara Barat

Terdengar lucu ketika UMP DKI Jakarta yang sebesar Rp 3.648.035,- dibandingkan dengan UMP Nusa Tenggara Barat yang sebesar Rp 1.631.245,-

Kalau mau membandingkan harus apple to apple. Sebagai Ibu Kota Negara, seharusnya gaji Jakarta dibandingkan dengan gaji Ibu Kota Negara seperti Singapura, Bangkok, Kuala Lumpur, atau Manila. Kecuali kalau pendukung Anies - Sansi ini mau membandingkan dengan Phnom Phen. Tetapi apakah iya, Indonesia akan dibandingkan dengan Kamboja?

Berdasarkan data yang dikeluarkan ILO yang tercatat dalam Buku Tren Ketenagakerjaan ILO Tahun 2015 halaman 28, disebutkan bahwa upah rata-rata Kamboja 119 dollar, Laos 121 dollar, Indonesia 174 dollar, Vietnam 181 dollar, Filipina 206 dollar, Thailand 357 dollar, dan Malaysia 506 dollar. Dengan kenaikan upah sebesar 8,71%, maka Indonesia akan semakin jauh tertinggal dengan negara-negara sekitar.

Itu upah berdasarkan rata-rata. Sedangkan berdasarkan data dari www.nwpc.dole.gov.ph, Upah Minimum Tahun 2017 di Indonesia adalah Rp 3.605.272. Sedangkan Cina sebesar Rp 4.255.658; Thailand Rp 3.409.020; Philipina Rp 2.295.150 - Rp 3.954.051; Malaysia Rp 3.016.598 (Malaysia tidak punya sistem upah minimun. Upah tersebut adalah upah untuk buruh migran termasuk TKI); Hongkong Rp 13.446.021; Korea Rp 17.655.535; Australia Rp 42.893.358; dan Jepang Rp 19.021.123. Indonesia jauh tertinggal.

Dan tidak usah jauh-jauh mencari pebanding DKI dengan NTB. Bandingkan saja dengan Bekasi dan Karawang. Upah Minimum DKI tertinggal jauh di bawahnya.

Jadi kalau pendukung Anies - Sandi mengatakan banyak perusahaan yang pindah ke Cikarang karena upah di DKI sudah kelewat besar, itu sama sekali tidak benar. Bahkan menyesatkan. Asal tahu saja, upah di Cikarang saat ini lebih besar dari DKI. Di Cikarang upahnya 3,53 juta. Sedangkan DKI hanya 3,3 juta. Jadi kalau banyak perusahaan pindah ke Cikarang, itu bukan karena upah di Cikarang lebih besar.

DKI Jakarta adalah Ibu Kota Negara Indonesia. Dengan nilai PDB yang luar biasa. Berbagai perusahaan multinasional dengan gaji belasan hingga puluhan juta berkantor pusat di sini. Tetapi lihat upah buruhnya? Hanya 3,68 juta.

Boleh juga sih membandingkan dengan Nusa Tenggara Barat. Tetapi pada nilai kenaikkan. DKI hanya naik 8,71% sesuai PP 78/2015. Tetapi NTB naik 11,5%. Dalam hal ini, Gubernur NTB lebih ksatria dengan berani menaikkan UMP di atas PP 78/2015. Anies -- Sandi? Justru yag didukung buruh malah tidak memiliki nyali untuk menggunakan kewenangannya untuk menetapkan UMP lebih tinggai dari PP 78/2015 sesuai dengan apa yang pernah dia janjikan.

Mengutip data BPS sebagai pembenaran upah murah itu memalukan

Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengklaim income Rp 11.000 per hari atau setara Rp 332.119 per bulan masuk kategori tidak miskin. Bagi saya ini memalukan.

Banyak orang yang mempertanyakan dan menggugat standar kemiskinan yang digunakan BPS tersebut. Apakah pendukung Anies - Sandi mau dan bisa hidup sebulan dengan Rp 332.119 per bulan? Jangankan untuk sewa rumah. Bahkan untuk makan di Jakarta saja tidak cukup.

Seharusnya pendukung Aniea - Sandi mengutip hasil Survei Biaya Hidup dari BPS yang menyebutkan bahwa Jakarta merupakan kota dengan biaya hidup tertinggi se-Indonesia dengan rata-rata biaya hidup di Jakarta Rp 7.500.726 per bulan. Ini hasil survei terakhir, tahun 2012. Kalau di survei sekarang, tentu jauh lebih besar dari itu.

Para penerima UMP itu sebagian besar sudah berkeluarga. Memiliki istri/suami dan anak-anak yang harus dibesarkan. Kebayang bagaimana mereka setiap bulan berjibaku mencari hutangan untuk menutup kebutuhan.

Upah murah menyebabkan daya beli turun dan berakibat PHK besar-besaran

Akibat upah murah dengan adanya PP 78/2015, mengakibatkan daya beli rakyat turun. Sehingga, berdasarkan data BPS, konsumsi rumah tangga turun. Akibatnya target pertumbuhan ekonomi pemerintahan Jokowi (termasuk Ahok saat masih menjabat Gubernur), sehingga banyak pabrik tutup dan dalam 3 tahun sudah ratusan ribu buruh ter PHK.

Itu terjadi  bukan karena upah tinggi. Jadi, jangan sesat pikir. PHK bukan karena upah minimum naik tinggi. Pemikiran seperti ini adalah teori usang yang sudah ditinggal dunia. Di negara-negara maju, kesejahteraan Tenaga Kerja ditingkatkan dan dinomorsatukan. Kalau Indonesia mau maju, seharusnya juga begitu.

Berdasarkan data KSPI, sejak PP 78/2015 diterapkan, sudah ratusan ribu buruh yang ter-PHK.

PHK massal gelombang pertama terjadi pada akhir tahun 2015. Ini menimpa buruh sektor tekstil dan garmen. Dimana 65 ribu buruh kehilangan pekerjaan.

Gelombang kedua PHK terjadi pada kurun waktu Januari hingga April 2016, berdampak terhadap 100 ribu buruh di PHK. Terjadi di industri elektronik dan otomotif. Di industri elektronik, PHK terjadi di PT Tosiha, PT Panasonik, PT Philips, PT Shamoin, PT DMC dan PT. Ohsung. Pengurangan kayawan di industri otomotif terjadi pada industri sepeda motor dan roda empat serta turunannya, seperti PT Yamaha, PT Astra Honda Motor, PT Hino, PT AWP, PT Aishin,PT Mushashi, PT Sunstar.

Gelombang ketiga PHK terjadi di sektor ritel, Industri keramik, pertambangan, farmasi, telekomunikasi, dan sebagainya. KSPI memperkirakan, hingga pertengahan tahun ini saja, lebih 50 ribu buruh di PHK. Hal ini seiring dengan laporan pengusaha yang mengatakan sepinya penjualan. Ini ditandai dengan tutupnya 7-Eleven. Bahkan diprediksi, PHK akan terjad di Hypermart, Ramayana, Hero, Giant, Tiptop, dan beberapa industri yang lainnya dengan cara menututup beberapa gerai di beberapa daerah.

Faktanya, data-data ini tidak diumumkan pemerintah. Bahkan pemerintah sibuk menyangkal karena pemerintah takut fakta yang sebenarnya, yaitu kenaikan upah murah menyebabkan daya beli turun yang berakibat perusahaan menutup atau mengurangi drastis jumlah produksi barang dan jasa. Sehingga jalan satu-satunya adalah PHK, bukan seperti yang dibilang pendukung Anies - Sandi, kenaikan upah tinggi penyebab PHK. Salah tuch...

Gelombang satu hingga tiga, penyebabnya adalah daya beli yang menurun. Bagi KSPI dan buruh Indonesia, salah satu penyebabnya upah murah melalui penerapan PP 79/2015.

Paket kebijakan ekonomi tidak bisa mengangkat daya beli, tetapi hanya membuka ruang kemudahan untuk berinvestasi. Tidak diiringi dengan kebijakan peningkatan daya beli. Maka yang terjadi adalah penurunan konsumsi, itulah yang menyebankan terjadinya PHK besar-besaran.

Jadi kalau pendukung Anies - Sandi setuju dengan upah murah, maka sama saja setuju dengan adanya PHK besar-besaran. Produk dari berbagai perusahaan tidak ada yang membeli, karena rendahnya daya beli masyarakat kita. Jika produk sudah tidak ada yang membeli, itulah akan menjadi alasan utama sebuah perusahaan tutup dan lagi-lagi, buruh yang akan jadi korban.

Surat Edaran Kemnaker Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017 tidak mempunyai kekuatan hukum

Di bagian akhir, pendukung Anies - Sandi menyebut Surat Edaran Kemnaker Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017. Seolah ingin mengatakan, penetapan UMP DKI sesuai PP 78/2015 ini bukan dosa Anies -- Sandi.

Satu hal yang harus diketahui, penetapan UMP adalah kewenangan Gubernur. Ambil contoh Gubernur Nusa Tenggara Barat yang menaikkan UMP sebesar 11,5%. Tahun sebelumnya, Provinsi Aceh, Kalimantan Selatan, dan Papua berani menetapkan UMP lebih tinggi dari PP 78/2015. Bahkan untuk UMP tahun 2016, Ahok juga menetapkan lebih tinggi.

Pertanyannya, bukankah Surat Edaran Kemnaker Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017 juga ditujukan kepada Gubernur Nusa Tenggara Barat. Tetapi mengapa dia berani menetapkan lebih tinggi, sedangkan Anies -- Sandi tidak? Maka saya cuma bisa bilang: "Terlalu...!!".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun