Mohon tunggu...
Saibansah Dardani
Saibansah Dardani Mohon Tunggu... Wartawan -

Warga Batam, Pengamat Perbatasan, Pecinta Jurnalistik. "Aku Menulis, Maka Aku Ada." saibansahdardani@yahoo.com 0816-1379708 atau 082171208791 WA : 0851-01221734

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Undangan Kematian

11 Februari 2016   18:00 Diperbarui: 11 Februari 2016   18:26 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RUMAH yang dibangun di atas lahan seluas 5.000 meter persegi itu, terlalu luas untuk dihuni oleh seorang pemuda dengan dua orang pembantu setengah baya. Bergaya arsitektur Romawi kuno, yang dipadukan dengan keunikan khas keraton Ngayogyakarto dan dibangun selama tiga tahun. Tidak ada cat selain warna putih yang dibalutkan di seluruh dinding rumah.

“Pak Dhe, tolong besok sore panggilkan Mas Darto ya, suruh datang ke sini,” pinta Sukirman kepada pembantunya. Sukirman sudah sejak sepuluh tahun lalu hidup bersama dengan Pak Karjo, pembantunya itu.

“Nggih Mas Kir, kira-kira apa ada yang mau diorder lagi,” tanya Pak Karjo.
“Belum Pak Dhe, saya masih mau diskusi desain dulu dengan Mas Darto.”

Pak Karjo mencoba menangkap isi kepala majikan yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu. “Apa dia mau cetak undangan lagi ya…?” Pak Karjo membatin.

“Nggih Mas Kir, nanti siang saya langsung ke rumahnya Mas Darto.”
“Terimakasih Pak Dhe.”

Pak Karjo berlalu meninggalkan ruangan kerja Surkirman di lantai dua rumah paduan arsitektur Romawi kuno dengan keunikan khas keratorn Ngayogyakarto itu. Hari-hari Sukirman sebagai entrepreneur muda memang lebih banyak dihabiskan di ruangan berukuran 10 kali 15 meter peregi itu.

Di ruangan itu, tersusun rapi deretan buku managemen berbahasa Inggris. Juga buku akuntansi, baik lokal maupun impor. Serta beberapa buku tentang kematangan emosi dan religi. Ada juga dua buah televisi layar datar ukuran 50 inci yang tidak menayangkan gambar artis atau penyanyi dangdut. Kecuali hanya barisan angka-angka yang seperti berkejar-kejaran.

Tak ada yang berani masuk ke dalam ruang kerja Sukirman, kecuali Mbok Minah. Wanita berusia 55 tahun ini, sudah dianggap Sukirman sebagai ibunya sendiri. Dari mulut wanita tua inilah, kerap mengalir petuah saripati kehidupan. Bagi Sukirman, ucapan-ucapan Mbok Minah memiliki bobot wahyu budi pekerti yang tinggi.

“Nak Kirman mau sarapan apa,” kata Mbok Minah setelah masuk ke ruangan Sukirman.
“Biasa saja Mbok, kopi pahit dengan roti pake kismis.”
“Nggih.” Mbok Minah berlalu sambil menutup kembali pintu ruang kerja Sukirman.

Sejak satu jam lalu, tangan Sukirman tak pernah bergeser dari kertas HVS yang tersusun rapi di meja kerjanya. Ia mengamati hasil coretannya sendiri. Sesekali kepalanya miring ke kiri dan ke kanan, mengikuti gerakan tangannya yang membolak-balik kertas HVS.

“Ah, nanti mayatku menghadap ke mana ya…?”
“Masak setiap sudut undangan harus dipatok seluruh arah mata angin…?”
“Kenapa tidak seperti jagad raya saja, hanya berpatok pada satu matahari…?

Berjuta pertanyaan berseliweran di kepala Sukirman. Sudah lebih dari lima jam ia mendisain sebuah undangan, tapi belum juga ada yang pas. Tak sedikit pun tampak ekspresi bosan atau capek di wajah pengusaha muda ini. Sebaliknya, semakin lama ia semakin semangat menyelesaikan desain undangannya itu.

“Ya, cukup dengan satu matahari saja, maka jagad alam raya ini sudah hidup…!” katanya mantap. Dan Surkirman pun tampak puas.

***

Pertengahan Agustus tiga tahun lalu, Sukirman juga pernah mengedarkan undangan kepada tidak kurang dari 5.000 orang kolega bisnis dan kerabatnya. Ia mengundang mereka untuk hadir dalam pernikahan yang digelar secara wah di rumahnya yang mewah itu. Tak kurang dari perancang busana paling kondang juga ikut sibuk dalam pesta pernikahan itu. Bahkan, jauh-jauh hari sebelum pernikahan itu benar-benar terjadi.

“Gaun wanitanya pake ukuran body siapa Mas,” tanya Randy, sang perancang busana itu.
“Ah, tak perlu pake ukuran body orang lain, pake body-nya saja langsung,” jawab Sukirman memancing panjangnya daftar pertanyaan di kepala Randy.

“Iya, tapi calon pengantin wanitanya mana Mas ?”
“Belum waktunya, nanti kalau sudah waktunya juga pasti datang.”

Tak mau terjerat dalam kebingungan yang dalam, Randy memutuskan untuk segera mengukur body Surkirman dan merancang busana pengantin untuknya.

Yang tak kalah sibuknya adalah Mbok Minah dan Pak Karjo. Sejak Sukirman sibuk mendisain undangan pernikahan, mereka berdua itulah seksi sibuknya. Mulai dari perlengkapan prosesi pernikahan ala keraton, sampai dengan persiapan penabuh hadrah dari Pesantren Nurul Iman sudah dipersiapkan. Tak lupa, seribu anak yatim piatu dari berbagai panti asuhan sudah diundang jauh-jauh hari. Bahkan, pakaian khusus untuk mereka pun sudah diberikan. Termasuk, uang amal pendahuluannya.

Hari H pesta pernikahan Sukirman tinggal tiga hari lagi. Tapi Randy belum juga menemukan body pengantin wanita untuk diukur. Sementara gaun yang akan dikenakan Sukirman sudah tersimpan rapi di lemari.

“Mas Kir, mana pengantin wanitanya…?” tanya Randy setengah merengek.
“Ya kalau belum waktunya ya belum waktunya Ren, sabarlah.”
Dengan memonyongkan bibirnya yang bergincu tipis itu, Randy berlalu meninggalkan Sukirman sendirian di ruang kerjanya.

Sementara mata Sukirman terus menerawang menembus kaca putih di ruang kerjanya. Dari kursi sofa berwarna putih yang didudukinya, ia melihat seorang wanita bertubuh langsing tersenyum kepadanya. Wanita muda itu mengenakan gaun putih dan selalu tersenyum menebar pesona kepadanya.

“Kamukah istriku…?” tanya Sukirman kepada wanita tadi.
Wanita berparas cantik itu tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk lembut.

Tak ada komunikasi lain antara Sukirman dengan wanita itu, selain saling menatap, melempar senyum dan menebar pesona. Bahkan, Sukirman pun tak tahu siapa nama perempuan itu. Bagi Surkiman, itu saja sudah lebih dari cukup.

Minggu pagi, rumah Sukirman yang mewah tampak semakin mewah. Semua kain serba putih menghias di sebagian dinding rumah. Pelaminan Sukirman pun didesain dengan dominasi warna putih. Satu-satunya benda mencolok yang tak berwarna putih adalah dua buah daun janur kuning yang ditempel di pinggir pintu masuk rumah. Itu saja, selebihnya semua berwarna putih, termasuk gaun yang dikenakan para pagar ayu yang disewa Sukirman dari sebuah perusahaan event organizer terkenal.

Rombongan anak-anak yatim lebih dulu datang. Diikuti dengan rombongan penabuh hadrah yang berjejer rapi di depan pintu masuk rumah Sukirman. Satu-persatu undangan sudah mulai datang. Senyum para tamu dan canda mereka membuat suasana pernikahan Sukirman begitu indah dan ramah. Apalagi, suara alunan pujian shalawat nabi yang dinyanyikan oleh para penabuh hadrah sambung menyambung tiada henti.

Tak ada penghulu yang hadir dalam pernikahan Sukirman. Ia mempercayakan tugas berat menikahkan itu kepada Pak De, pembantunya. Dan mempercayakan Mbok Minah sebagai saksinya. Sudah, itu saja.

Sampai menjelang matahari bergerak mencapai titik angka jarum jam dua belas, para undangan masih menunggu pengantin wanita. Sementara Sukirman sudah duduk manis di pelaminan. Kursi pengantin wanita masih juga kosong. Sementara para tamu sudah semakin banyak, membuat luas tanah 5.000 meter persegi di rumah Sukirman terasa sempit.

Tak sedikit tamu yang berbisik menanyakan pengantin wanitanya. Tapi tak sedikit pula yang buru-buru ingin memberi ucapan selamat untuk bisa langsung pulang. Tapi bagaimana mungkin, pengantin wanitanya saja belum ada.

Meski begitu, suasana pesta pernikahan Sukirman tetap meriah. Tak sedikit diantara kolega Sukirman yang menganggap pesta pernikahan ini tak lebih dari sekadar pesta kebun dan acara makan-makan biasa. Jadi, mereka tidak begitu peduli dengan pengantin wanitanya yang belum juga datang.

Sampai akhirnya, tamu undangan benar-benar bersih. Tak ada satu pun undangan yang memberi ucapan selamat.

***

“Ya Mas Kir, mau bikin undangan apa lagi,” tanya Darto.
“Begini To, aku mau kamu bikinkan undangan seperti desain ini.”
“Ah, desain apa ini Mas Kir ?”
“Aku tidak pernah bikin undangan seperti ini,” tambah Darto sebelum Sukirman sempat menjawab pertanyaannya.

“Ini adalah undangan kematianku.”
“Aku ingin cetak dua kali lipat dari undangan pernikahanku dulu To.”
Darto tampak berasa menguasai emosi dirinya sendiri. Napasnya sendiri pun tak terkontrol dengan baik.

“Baik Mas Kir.” Itu saja kalimat yang keluar dari mulut Darto, sebelum ia meninggalkan Sukirman sendirian di ruang kerjanya.

Sukirman kembali menatap kaca jendela ruang kerjanya. Kembali ia melempar senyum kepada perempuan cantik yang kini sudah ia anggap sebagai istrinya itu. Sebaliknya, senyum lebih manis pun terlepas dari bibir tipis perempuan bergaun putih itu.

“Aku sudah mencetak undangan kematianku, sayang.”
“Aku ingin ada ribuan anak yatim mengantarkan jenazahku, juga ribuan sahabat dan ribuan malaikat.”

Tetap saja, tak pernah ada jawaban yang keluar dari mulut perempuan bergaun putih itu, selain senyuman.

Tiga hari sebelum hari H yang tercetak dalam undangan kematian Sukirman, setiap malam ribuan anak yatim piatu melangsungkan wiridan di rumah Sukirman. Mereka semua mendo’akan arwah Sukirman agar diterima di sisi-Nya. Bersama para anak yatim piatu itu, Sukirman juga khusyu’ berdo’a.

Tiga hari berlalu setelah hari H kematian Sukirman yang tercetak dalam undangan kematian itu, pengajian wiridan ribuan anak yatim itu pun terus berlangsung. Dan Sukirman, juga khusyu’ berdoa’a bersama mereka.

***

Batam, 7 Januari 2006

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun