Ada puluhan tenda-tenda kecil yang di atasnya tersedia berbagai jenis makanan kecil. Sedangkan di tengah tenda-tenda kecil itu ada meja besar yang di atasnya juga sudah tersedia berbagai jenis makanan dan minuman enak.
Ratusan orang yang datang, tak ada satupun dari mereka yang aku kenal. Hanya Joe-lah satu-satunya orang yang aku tahu namanya malam itu. Meski tak ada yang kenal, tapi aku seperti melihat sosok ratusan Joe di sana. “Mengapa pantat mereka semua pindah ke muka ?” aku semakin terjerembab dalam kebigungan game ini.
Pantat di muka mereka tak pernah lelah menebar senyum. Dan senyum itu semakin lebar ketika seorang bertubuh tinggi, berkumis tebal dan menggunakan syal hitam, turun dari lantai dua rumah mewah itu. Aku bukannya melihat senyum, tapi pantat yang menyeringai. Siap menerkam pria berkumis tebal itu.
“Tapi mengapa pantat orang-orang itu menyeringai, apa salah pria berkumis itu, mengapa mereka seolah siap menerkamnya...?”
Aku sudah benar-benar kapok dan memilih untuk menyimpan deru pertanyaan itu di kapalaku. Biarlah aku pake mata saja, tak perlu pake mulut, sebab begitulah pesan Joe berkali-kali kepadaku.
Begitu kakinya menjejak di hamparan permadani dari rumput, pria berkumis tebal itu langsung disambut bak bidadari baru turun dari langit. Ia dipeluk, dicium pipi dan tanganya. Tapi, lagi-lagi bukan muka yang mencium pria berkumis tebal itu, tapi pantat. Aku hanya mampu memandangi dari sisi kolam renang. Kakiku tidak cukup kuat untuk berdiri mendekati pria berkumis tebal itu, apalagi memeluk dan mencium pipi seperti orang-orang bermuka pantat itu. Melihat dari jauh, sudah cukup bagiku.
***
Sampai jarum jam sudah lewat dari angka dua belas, tak ada satu pun dari orang-orang itu yang beranjak pulang. Mereka semua bertahan di halaman depan dan belakang rumah pria berkumis tebal itu. Begitu pula Joe, aku lihat dari jauh larut dalam obrolan yang aku sama sekali tidak mengerti topiknya. Setiap obrolan mereka selalu diiringi dengan ledakan tawa lepas. Yang terdengar olehku bukan tawa, tapi kentut.
“Memang benar kata Joe, aku tidak akan pernah bisa mengerti game ini.” Aku sudah bisa mengambil kesimpulan, Joe benar. Semakin larut, aku semakin merasakan kebenaran omongan Joe, bahwa aku tak akan pernah bisa mengerti game yang dimaksud Joe. Meski aku sudah pake mata seperti yang diminta Joe.
“Joe, benar katamu, aku tak mungkin bisa mengerti,” kataku pasrah.
“Mungkin belum waktunya Man, santai saja masih banyak waktu.”
“Ya, mungkin tidak sekarang, tapi bagaimana mungkin begitu banyak orang yang pantatnya di muka Joe, siapa mereka?” Kembali aku kalah, tak mampu menahan gempuran pertanyaan yang sejak tadi aku tekan di sudut kepala.