SEMAKIN sulit bagiku membedakan muka dan pantatmu. Setiap kali kulihat mukamu, aku bukannya melihat wajah, tapi pantatmu. Begitu juga ketika kulihat pantatmu, yang tampak justru mukamu. Jadi, tolong ajari aku bagaimana membedakan muka dan pantatmu Joe.
“Apa arti pantat buatmu Joe, begitu berartikah sehingga harus pindah ke mukamu?”
“Itulah game Man, kamu tak akan pernah mengerti permainan ini.”
“Jadi bagaimana cara membedakan muda dan pantatmu ?”
“Gampang, lihat saja sekelilingmu, apa yang kamu lihat di jalanan itu, apa mereka sedang pasang muka atau pantat?”
“Aku masih belum paham Joe.”
“Sudah kubilang, kamu tidak akan pernah bisa mengerti permainan ini.”
Begitulah, Joe selalu membenturkanku pada kebingungan-kebingungan seperti itu. Ini adalah kebingungan yang paling aku muak. Masa untuk membedakan mana muka dan mana pantat saja aku harus minta diajari. Dasar aku yang bodoh atau memang benar kata Joe, ini adalah game yang tak muda dimengerti? Ah, dasar Jumadi!
***
Sebagai entrepreneur muda yang baru mulai pakai sopir pribadi, aku semakin tidak melihat lagi ada sisa Joe yang dulu temanku main gasing di Belakangpadang. Joe tampak seperti sosok aneh di mataku, manusia dengan muka pantat.
“Dari mana Joy punya ilmu setinggi itu?” Pernyataan itu terus saja bergelayut di kepalaku.
“Udahlah Man, biar kamu tak terus bingung, nanti malam kamu ikut aku ya.”
“Ke mana Joe ?”
“Udahlah, tak usah banyak tanya, pokoknya ikut saja.”
Tak perlu banyak tanya, mungkin itulah cara Joe mengajarkan kepadaku bagaimana membedakan muka dan pantat. Ikut saja tanpa banyak tanya, barangkali itu jauh lebih baik daripada banyak tanya tapi tak ikut. Dan setelah itu, game yang kata Joe tak mungkin bisa kumengerti, akan benar-benar dapat kumengerti.
Adukan semen hari ini lambat sekali kering. Padahal, aku sudah tidak sabar lagi mau ikut Joe naik mobil jeep Land Cruiser hitamnya. Untuk meninggalkan proyek bangunan perumahan RSS sebelum pekerjaan benar-benar kelar, bukanlah kebiasaanku. Meski matahari sore sudah menabur warna merah di ujung langit.
Tapi tanggung jawab sebagai kuli bangunan tak boleh begitu saja diabaikan. Bagiku, profesi adalah istri pertama, sedangkan wanita yang menungguku di rumah, adalah istri kedua. Itu doktrin yang sudah terlanjur tertanam kuat di dadaku. Jadi apapun, doktrin itu selalu menuntun langkahku. Termasuk menunggu adukan semen kering di proyek perumahan RSS ini.
Ustadz Muzakir baru saja mengakhiri do’a panjangnya di Masjid Nurul Iman, tanpa buang waktu lagi, aku segera pergi ke rumah Joe.
“Gimana sudah siap Man?”
“Sudah Joe, apa lagi yang harus aku persiapkan?”
“Tak ada, cukup mata kamu, itu saja sudah cukup kok.”
“Untuk apa pake mata segala Joe?”
“Udahlah, tak usah banyak tanya, ikut saja.”
Jeep Land Cruiser hitam Joe sudah keluar dari garasi rumah tingkat tiganya. Halaman luas diselimuti rumput hijau membuat rumah Joe serasa seperti hamparan permadani. Sudah ratusan kali aku mengagumi megahnya rumah Joe yang menghabiskan duit miliaran rupiah itu.
Tapi tetap saja, itu tak berarti apa-apa, hanya rasa syukur saja bahwa Jumadi, temanku main gasing sekarang sudah jadi entrepreneur muda yang sukses di kota industri ini. Selebihnya tak ada, hanya rasa syukur itu saja.
“Silahkan masuk pak, “ Rustam, sopir pribadi Joe membukakan pintu belakang mobil Jeep Land Cruiser hitam.
“Terimakasih Tam.”
***
“Ini rumah siapa Joe?”
“Sudah berapa kali aku bilang, jangan banyak tanya, cukup pake matamu saja.”
Kali ini, Joe mulai memperingatkan aku dengan sedikit nada tekanan. Aku yakin, ia sudah bosan dengan pertanyaanku yang bertubi.
Begitu melewati pagar besi setinggi dua meter, kami langsung disambut sorotan cahaya yang begitu terang. Malam itu seperti siang yang tertutup mendung tipis, dingin dan sejuk. Kebun di halaman depan dan belakang rumah itu begitu luas, sehingga kami semua dapat dengan leluasa bergerak.
Termasuk, untuk mengitari kolam renang yang terletak di sudut paling pojok di halaman belakang rumah. Di halaman belakang rumah, juga ada beberapa binatang peliharaan, mulai dari berbagai jenis burung, reptil sampai dengan harimau Sumatera.
Ada puluhan tenda-tenda kecil yang di atasnya tersedia berbagai jenis makanan kecil. Sedangkan di tengah tenda-tenda kecil itu ada meja besar yang di atasnya juga sudah tersedia berbagai jenis makanan dan minuman enak.
Ratusan orang yang datang, tak ada satupun dari mereka yang aku kenal. Hanya Joe-lah satu-satunya orang yang aku tahu namanya malam itu. Meski tak ada yang kenal, tapi aku seperti melihat sosok ratusan Joe di sana. “Mengapa pantat mereka semua pindah ke muka ?” aku semakin terjerembab dalam kebigungan game ini.
Pantat di muka mereka tak pernah lelah menebar senyum. Dan senyum itu semakin lebar ketika seorang bertubuh tinggi, berkumis tebal dan menggunakan syal hitam, turun dari lantai dua rumah mewah itu. Aku bukannya melihat senyum, tapi pantat yang menyeringai. Siap menerkam pria berkumis tebal itu.
“Tapi mengapa pantat orang-orang itu menyeringai, apa salah pria berkumis itu, mengapa mereka seolah siap menerkamnya...?”
Aku sudah benar-benar kapok dan memilih untuk menyimpan deru pertanyaan itu di kapalaku. Biarlah aku pake mata saja, tak perlu pake mulut, sebab begitulah pesan Joe berkali-kali kepadaku.
Begitu kakinya menjejak di hamparan permadani dari rumput, pria berkumis tebal itu langsung disambut bak bidadari baru turun dari langit. Ia dipeluk, dicium pipi dan tanganya. Tapi, lagi-lagi bukan muka yang mencium pria berkumis tebal itu, tapi pantat. Aku hanya mampu memandangi dari sisi kolam renang. Kakiku tidak cukup kuat untuk berdiri mendekati pria berkumis tebal itu, apalagi memeluk dan mencium pipi seperti orang-orang bermuka pantat itu. Melihat dari jauh, sudah cukup bagiku.
***
Sampai jarum jam sudah lewat dari angka dua belas, tak ada satu pun dari orang-orang itu yang beranjak pulang. Mereka semua bertahan di halaman depan dan belakang rumah pria berkumis tebal itu. Begitu pula Joe, aku lihat dari jauh larut dalam obrolan yang aku sama sekali tidak mengerti topiknya. Setiap obrolan mereka selalu diiringi dengan ledakan tawa lepas. Yang terdengar olehku bukan tawa, tapi kentut.
“Memang benar kata Joe, aku tidak akan pernah bisa mengerti game ini.” Aku sudah bisa mengambil kesimpulan, Joe benar. Semakin larut, aku semakin merasakan kebenaran omongan Joe, bahwa aku tak akan pernah bisa mengerti game yang dimaksud Joe. Meski aku sudah pake mata seperti yang diminta Joe.
“Joe, benar katamu, aku tak mungkin bisa mengerti,” kataku pasrah.
“Mungkin belum waktunya Man, santai saja masih banyak waktu.”
“Ya, mungkin tidak sekarang, tapi bagaimana mungkin begitu banyak orang yang pantatnya di muka Joe, siapa mereka?” Kembali aku kalah, tak mampu menahan gempuran pertanyaan yang sejak tadi aku tekan di sudut kepala.
“Kamu tetap tak akan bisa mengerti Man, sudahlah lihat saja orang-orang itu, perhatikan saja mereka, lalu kamu coba pahami sendiri…”
Itu sudah aku lakukan sejak pertama kali melewati pagar besi setinggi dua meter itu. Dan sampai malam melepas embun terakhir, aku belum juga bisa mengerti.
Dari mana ratusan orang dengan pantat di muka itu. Datang dengan mengendarai mobil mulus dan pakaian bagus, memberiku sedikit pemahaman, mereka semua adalah orang-orang seperti Joe. Manusia dengan pantat di muka!
Batam, 11 September 2005
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H