Mohon tunggu...
sahrum
sahrum Mohon Tunggu... Guru - Pengajar SMPN 1 Kauman

Saya suka membaca fiksi, esai, artikel, dan berita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anjing Penyerbu Darah

14 Februari 2019   09:03 Diperbarui: 14 Februari 2019   09:12 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu pagi, ketika aku masak di dapur terdengar seorang perempuan mengetuk pintu. Aku segera membuka pintu. Aku belum pernah mengenalnya sama sekali. Dan dia juga baru pertama datang kerumah kami.

Dari raut wajahnya, aku dapat mengerti. Dia bukanlah wanita yang berkerja sebagai ibu rumah tangga seperti aku. Tangannya terawat. Putih. Tidak ada benjolan kapalan seperti aku. Kulihat matanya masuk mencari suamiku. Tiba-tiba aku merasa mencurigainya.

"Mas Rohman ada?" Tanyanya dengan wajah datar.

"Tidak ada, Anda siapa? Ada keperluan apa dengan Suamiku?" Terbersit rasa penasaran ingin mengetahui perihal kedatangannya yang tiba-tiba itu.

"Kau istrinya, laki-laki bangsat. Katanya tidak punya istri, dia harus bertanggung jawab karena aku tengah mengandung anaknya." Jelasnya dengan nada kasar, mendengar penjelasannya itu seakan rumahku ini mau roboh. Angin yang membelai lembut berubah menjadi pengap. Air mataku mengambang.

Saat kedatangan wanita itu aku mencari tahu keberadaan suamiku, tapi semua kerabat dan teman kerjanya tidak ada yang mengetahuinya. Suamiku seperti di telan bumi.

Aku mendengar suamiku sering bermain judi di warung pojok di pinggir hutan itu, setelah aku sampai di tempat itu ternyata tidak ada. "Kau mencari Rohman, dia sudah lama tidak kesini lagi. Di warung ini, dia meninggalkan hutang. Belum dibayar. Kemarin juga ada wanita mencari Rohman kesini." Ungkapan pemilik warung itu menambah sayatan di jiwaku.

Aku diam dan segera pergi pulang.

Senja sudah mulai meloros, menyisakan kilauan keemasan.

***

Aku hanya mampu tersimpuh di bawah pohon mahoni, di pinggir belantara hutan seperti ini, sementara itu, perjalanan pulang masih jauh. Kudengar suara geretak daun kering terinjak di belakangku, hatiku was-was, karena senja semakin merangkah, meninggalkan kegelapan. Ternyata suara dibelakangku itu adalah anjing yang menyorotkan mata tajam, sambil menjulurkan lidahnya ke arahku. Sorot matanya seperti ingin melukaiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun