"Bagaimana aku akan melanjutkan sekolah lagi Ibu, bapak bilang hanya mampu menyekolahkan saya sampai lulus SMA. Keluarga saya hanyalah keluarga sederhana. Tidak mempunyai apa-apa. Sedangkan adik saya masih dua, mereka juga sekolah di SD dan SMP." Aku berusaha menjelaskan keadaan kehidupan keluarga kami. Ibu Lasmi tersenyum. Kulihat matanya yang teduh menandakan bahwa beliau adalah Ibu Guru yang tangguh dan tidak pernah menyerah dengan keadaan pahit atau getir.
"Suatu masalah itu pasti akan ada jalan keluarnya, Sur. Asalkan kamu punya keyakinan kuat. Tuhan akan merubah nasib seseorang, tapi kitalah yang harus bekerja dan berusaha secara sungguh-sungguh. Aku akan membantu mengusulkan kamu. Supaya mendapatkan beasiswa yang pantas. Sebelum itu kamu harus minta restu kepada kedua orangtua."
"Saya akan meminta ijin kepada kedua orangtua saya, ibu." Aku mengucapkan terimakasih, kurasakan guratan tangannya yang keras. Bagiku beliaulah yang menguatkan aku ketika menerima cobaan hidup. Beliau serupa akar, selalu mengokohkan.
Namun, Bapak memarahiku, ketika aku memohon restu ingin melanjutkan kuliah. Beliau menganggap sekolah tinggi tidak ada gunannya "Wanita pekerjaannya mengurus dapur, aku tidak mengizinkan kamu sekolah lagi. Kalau kamu tidak mendengarkanku kau boleh pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali lagi."
Saat itulah aku tidak berani mengatakan ingin melanjutkan sekolah lagi, semua impian yang pernah aku bayangkan terpendam bagai air mendidih menguap begitu saja.
Suatu malam, ibu membisikkan di dekat telingaku.
"Kemarin sore ada orang melamarmu, Sur. Dia bernama Arpan, bapak kamu sudah mengenalnya lama. Dia merupakan anak dari sahabat bapak kamu ketika bekerja di Sumatra dulu. Dia termasuk orang terhormat di desannya, selain mempunyai kebun sawit, bapaknya juga mempunyai kebun karet luas di Sumatra. Jangan sampai kamu membuat bapak kamu malu, dan marah." Ibu berusaha membujukku agar aku menerima lamarannya.
Setiap malam sebelum mataku terpejam aku membayangkan kehidupan menikah, pikiranku masih bimbang antara menerima dan tidak. Bagimana nanti kalau aku menolah pasti bapak akan memarahiku dan tidak ada kata ampun.
Meskipun bapak sudah mengenal keluarga Arpan tapi aku masih perlu mengenalnya jauh. Bukankah rasa suka itu tumbuh karena saling mengenal? Bagaimana aku harus menerimannya padahal kami belum pernah saling mengetahuinya. Apakah setiap wanita itu harus menerima nasib seperti ini?
***
Hatiku perih serupa akar yang di gerogoti organisme. Lidahku terasa kelu. Senyap.