Sahroha, No. 40
[caption caption="Ilustrasi/thebridalbox.com"][/caption]
I Love You, Pariban!
Semilir angin pantai yang menyentuh lembut kulitku sore ini rasanya tak mampu membuat ku nyaman. Entah mengapa kegelisahan masih menghantui seminggu setelah kepergian Tiara, gadis yang mewarnai hari-hariku selama ini. Aku akhirnya memilih pantai ini untuk menyendiri, satu tujuanku ingin merasakan apa yang tengah dirasakan Tiara saat ini. Aku tahu, dunia kami memang telah berbeda.
Siapa yang meinggalkan siapa? Tak lagi penting. Satu yang pasti, kini Tiara telah sendiri di alam yang berbeda. Aku tak bisa pergi menemaninya, bahkan tidak dmungkin walau aku tahu hanya kematian yang bisa mengantarku kesana. Tidak mungkin kulawan takdir, dengan mencabut nyawa mendahului sang Pencipta. Walau hanya kenangan yang kokoh dan abadi di dalam pikiran, keyakinan untuk setia di dalam jiwa telah kuikrarkan setelah kepergiannya. Sayang, waktu begitu cepat memisahkan dan lara ini tak mungkin terhapus dengan cepat. Aku kini nelangsa, namun wajah dan senyuman Tiara entah mengapa enggan untuk berlalu dari kepalaku. Walau tinggal cerita, namun semuanya masih sangat nyata di depan mata.
Dentingan piano berirama jazz dari sebuah café yang kebetulan kulewati malam itu membuat langkahku tak tertahan untuk mampir. Mataku hampir tak berkedip menyaksikan jemari yang menari di atas piano tersebut, gadis berambut panjang dengan paras lembut mengalihkan pandangku ditambah iringan musik yang memang sesuai dengan seleraku saat itu. Lantunan melodi dari sebuah lagu popular milik Elvis Presley –Always on My Mind yang digubahnya dalam musik jazz membuat malam itu sangat indah. Walau dihantui rasa penasaran dengan gadis tersebut, sayangnya tidak ada nyaliku untuk menyapanya dari jauh. Hanya tepukan tangan yang kutujukan kepadanya di akhir lagu, sama dengan pengunjung yang hadir.
Beruntung seseorang berbisik dari belakang ‘Orang Batak memang luar biasa suaranya’ , aku hanya tersenyum sambil menoleh ke belakangku. Rasa penasaran semakin menggila, dari salah satu pelayan café akhirnya aku tahu, Tiara Sihombing, nama gadis yang sangat sempurna itu. Entah mengapa anganku langsung melambung mengimpikan jika berduaan dengan Tiara, nama belakangnya yang disebut ‘Marga’ sama dengan milik ibuku. Sehingga Tiara ini merupakan ‘Pariban’, dalam Bahasa Batak, mereka yang bisa dinikahi.
Belakangan aku tahu jadwal panggung dari Tiara, tiga kali seminggu. Dan aku tidak pernah absen untuk menikmati lantunan piano dan suaranya yang begitu indah. Kekagumanku secara perlahan membangun keberanian untuk mendekati Tiara. Sampailah di malam yang bersejarah bagiku sebagai pria yang telah lama menjadi pengagum rahasia. Aku benar-benar merencanakan malam itu untuk berkenalan dengan Tiara. Aku sengaja mendatangi café lebih cepat dari biasanya, sepulang kantor pukul 17.00, langkahku langsung menuju café.
Niatku memang ingin berkenalan dengan Tiara sebelum dia naik panggung. Alangkah kecewanya hati, sesampai di café, pelayannya mengatakan bahwa Tiara absen malam itu dikarenakan terkena radang tenggorokan. Kekecewaanku membuat hati gelisah dan lagu-lagu yang dimainkan pengganti Tiara malam itu tidak bisa mengubah moodku. Entah mengapa, aku seperti kehilangan seseorang yang bahkan belum mengenalku sedikitpun. Memilih duduk di sudut belakang, hatiku semakin sepi saja. Hingga seseorang menyapaku.
‘Udah lama mas? Boleh duduk nggak?’
Suara serak dari gadis yang kutunggu membuatku tak percaya. Aku bahkan hanya mampu menganggukkan kepala menjawabnya.
‘Oh Tuhan, dia bahkan lebih indah dari dekat!’
Menutupi kegugupanku, akhirnya kuperkenalkan diri dan membahas mengenai hubungan marga dengan Tiara. Alangkah hebatnya Tiara, walau sudah lama di ibukota, dia masih tetap mengerti adat Batak.
‘Jadi aku panggil kamu pariban kan ya? Wah, akhirnya dapat pariban juga di Jakarta!’ ungkapnya.
Malam itu menjadi perkenalan pertama yang akhirnya berlanjut dengan tukar kontak, sebulan berlalu kami sudah begitu akrab. Aku menjadi pria beruntung, ketika terang-terangan Tiara meminta untuk datang ke rumahnya untuk dikenalkan kepada orang tuanya. Karena sesama Batak, akupun sangat cepat akrab dengan orang tuanya. Tiga bulan berlalu, aku sadar hubungan ini tak lagi sebatas teman. Benih cinta di antara kami telah bergejolak dan berkali-kali memaksa mulut untuk berbicara. Namun tidak pernah ada keberanian berucap.
Aku semakin merasa menjadi pengecut ketika akhirnya Tiaralah yang mengutarakan perasaannya walau hanya melalui telepon malam itu. Aku merasa begitu kerdil, mengapa orang yang kucintai justru lebih berani dari aku?
‘I love You Pariban!’ ucap Tiara menutup telepon malam itu. ‘a..aapa?’ jawabku. Bunyi telepon tanda terputus sekaligus menjadi saksi betapa bodohnya aku malam itu. Beruntung otakku masih bekerja, akhirnya kukirimkan sebuah pesan melalui Whats App. ‘Besok, tunggu di tempat biasa jam 6 sore ya pariban’. Beberapa menit aku mendapat balasan ‘See you Pariban, I LOVE You ‘. Aku tersenyum dan menari nari kecil sepanjang malam. Bahkan tak bisa kupejamkan mata hingga subuh menjelang.
Aku terbangun pukul 10 pagi, alarmku benar-benar tak bisa membangunkanku pagi ini. Sadar telah terlambat ke kantor, kuraih handphone untuk meminta izin cuti. Alangkah terkejutnya aku melihat daftar 10 panggilan tak terjawab dari ibu Tiara. Sebelum meneleponnya kembali, aku telah kehabisan daya membaca pesan singkatnya ‘Tiara kecelakaan pagi ini, Tia telah tiada Bere’! duniaku begitu hancur, berulang kubaca pesan itu dan isinya tidak berganti sedikitpun. Kuraih bajuku seadanya dan bersama kesedihan menuju rumah Tiara. Benarlah, bersama air mata yang tak tertahan kulihat wajah pucat Tiara dikelilingi keluarganya. Tuhan, dia pergi.. Dia tiada lagi..Mengapa secepat itu? Semingguku meraung dan menyesali kepergian Tiara.
Kini kuberdiri di pantai ini, pantai yang pernah kita rencanakan untuk liburan tahun baru. Namun kau tiada di sampingku Tiara. Aku tak pernah menyesali rasa ini dan pertemuan kita. aku juga tidak akan menyesal jika akhirnya begini. Hanya satu yang kusesalkan, mengapa aku begitu pengecut dan tak pernah berani menyatakan cinta ini? Mengapa ketakutan akan penolakan membuatku sebegitu kerdilnya? Mengapa aku juga tak berani membalas pesan singkatmu dengan kalimat cinta? Mengapa aku begitu bodoh? Tuhan, makhluk hina apa aku ini yang kau biarkan bertemu dengan bidadari seperti Tiara?
Sekarang aku tidak tahu dan tidak bisa meyakinkan hatiku bahwa Kau telah bahagia di alam barumu. Namun satu hal yang pasti, cinta ini tak akan pudar dan berlalu dengan mudah. Kini aku tak bisa mengenggam tanganmu untuk menjanjikan kebahagiaan, tetapi dirimu akan abadi dan menetap di hatiku. Akan selalu ada ruang untukmu Tiara. Di sini, di pantai ini, kuukirkan kalimat yang sejak dulu ingin kuutarakan. Walau tak sempat mulut ini berucap, percayalah ukiran kalimat ini selalu subur di dalam hati semenjak pertemuan kita yang pertama. Walau kini kita telah dipisah maut, namun cinta kita akan menjadi salah satu sejarah yang akan selalu kukenang di sanubari. Dari segenap hati dan jiwa yang merindukanmu kuucapkan, I Love You Tiara… I love You Pariban!
Â
…..Maybe I didn't treat you
Quite as good as I should have
Maybe I didn't love you
Quite as often as I could have
You are always on My Mind..You are always on my mind..
Â
*Pariban (bhs.Batak) adalah sebutan untuk sepupu dalam lingkaran adat Batak yang disarankan untuk menjadi jodoh.
*Bere (bhs. Batak) adalah panggilan untuk anak dari saudara perempuan kita,untuk laki-laki
Â
Â
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H