“Tunggu ..., tunggu ...!” suara lelaki terdengar menyapa Kikah, “Tunggulah sebentar, Kah!”
Kikah menoleh ke belakang, di tatapnya langkah cepat mendekat kepadanya, ia tersenyum memandang lelaki itu yang sudah beranjak di sampingnya. “Ada apa Wan?” sapa Kikah kepada Wawan.
“Ada hal yang ingin aku bicarakan kepadamu,” tutur Wawan sambil melirik suasana yang masih ramai ketika kawan-kawannya keluar dari kelas.
“Lekaslah sampaikan apa yang hendak disampaikan.”
“Duduklah dulu sejenak,” kata Wawan, mengajak duduk di bangku yang berada di depan kelas.
Kikah beranjak duduk ditemani Wawan di sampingnya, “Apakah yang hendak engkau sampaikan,” tanya Kikah.
Wawam menarik napas panjangnya, ia terdiam sambil bertukar tangkap dengan pikirannya, “Kau begitu cantik, namun tertutupi kecantikanmu. Ia tak dapat memancar jika kau tak mengubah penampilanmu yang dianggap norak itu.”
“Maksudmu?” tutur lembut Kikah, meski agak tersinggung.
“Maaf sebelumnya, aku rasa yang menjadi sumber kawan-kawan di kelas tidak suka kepadamu adalah penampilanmu yang norak. Zaman sudah modern kau tetap saja berpenampilan demikian.”
“Lantas adakah yang salah dengan penampilanku.”
“Tidak salah, namun tak sesuai dengan kondisi lingkunganmu. Zaman sekarang sudah berkembang, jadi perkembangan pakaian pun tak boleh ketinggalan,” kata Wawan menasihati.