Liora tiba di apartemennya dengan langkah lambat, tangan masih menggenggam cup kopi yang sudah dingin karena terlalu lama dibiarkan. Suara hujan yang jatuh di luar jendela menjadi latar belakang yang sama seperti biasanya, tapi kali ini, pikirannya tidak sepi seperti biasanya. Ucapan pria tadi terus terngiang-ngiang.
"Kadang, kita cuma butuh didengar."
Dia menghempaskan tubuhnya ke sofa, menatap kosong ke arah cangkir kopi di tangannya. Siapa dia, berani-beraninya menebak apa yang terjadi sama hidup nya? Tapi di sisi lain, Liora sadar pria itu nggak salah. Sudah lama dia tidak benar-benar ngobrol sama siapa pun, bahkan dengan Hana. Setiap kali Hana mencoba masuk lebih dalam, dia selalu mengalihkan atau mengganti topik. Mungkin gue terlalu takut buat cerita, pikirnya.
Keesokan harinya, pesan dari Hana muncul di layar ponselnya. "Yor! Gimana kopi kemarin? Enak kan? Gue penasaran menu yang lo pilih"
Liora mengetik balasan sambil setengah malas. "Enak sih, tapi ada kejadian kecil, kopi gue ditumpahin dikit gara-gara ketabrak orang."
"Loh? Orangnya gimana? Cakep nggak?" Balasan Hana datang dalam hitungan detik, dengan tambahan emoji mata melirik.
Liora tertawa kecil membaca pesan itu. "Han, serius. Gue lagi ngomong penting nih." Tapi setelah berpikir sebentar, dia menambahkan, "Tapi ya, orangnya ramah sih. Dia malah bilang sesuatu yang bikin gue kepikiran."
"Apa tuh?" tanya Hana lagi.
Liora ragu-ragu sejenak sebelum mengetik. "Dia bilang gue keliatan nggak baik-baik aja, terus dia ngomong soal cari temen ngobrol. Simpel, tapi gue jadi mikir. Mungkin bener juga, ya?"
Hana langsung menelepon begitu membaca pesan itu, seperti kebiasaannya yang nggak tahan kalau diskusi penting cuma lewat chat. "Yor, ini beneran serius nih. Lo selama ini apa pernah ngomong jujur soal perasaan lo ke siapa pun, termasuk gue?"
"Ya... nggak tau, Han. Gue ngerasa nggak penting aja ngomongin itu." Liora menarik napas panjang, mencoba mengabaikan rasa sesak di dadanya.
"Yor, dengerin gue ya. Semua orang butuh ngomong, bahkan buat hal yang kelihatannya sepele sekalipun. Kalau lo simpen terus, lama-lama meledak. Kalau lo ngerasa gue nggak cukup, gue bisa bantu cariin psikolog. Tapi plis, Yor, lo harus mulai buka diri."
Liora terdiam cukup lama. Pikirannya berkecamuk, tapi kata-kata Hana masuk ke ruang yang selama ini dia tutup rapat. "Gue pikirin, Han. Gue coba, pelan-pelan."
***
Hari-hari berikutnya, Liora mulai sedikit lebih sering keluar. Keputusan itu memang kecil, tapi baginya terasa seperti langkah besar. Dia kembali ke kafe yang sama, mencoba menikmati suasana tanpa beban. Kali ini, dia membawa buku kecil untuk mencatat ide-idenya, sesuatu yang dulu sering dia lakukan sebelum segalanya terasa begitu berat.
Saat dia sedang menulis, suara familiar tiba-tiba menyapanya. "Kita ketemu lagi."
Liora mengangkat wajah dan mendapati pria yang sama sedang berdiri di dekat mejanya, membawa cangkir kopi di tangan. Dia tersenyum, tidak terlihat terkejut sama sekali.
"Kok kayak kebetulan banget?" tanya Liora sambil tersenyum kecil.
"Bukan kebetulan. Saya sering ke sini juga, cuma mungkin biasanya jadwal kita nggak ketemu," jawab pria itu santai, sambil mengangkat cangkir kopinya. "Mind if I join?"
Liora ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Silakan."
Percakapan itu dimulai dari hal-hal ringan---kopi favorit, cuaca, hingga cerita kecil tentang kafe itu sendiri. Tapi tanpa sadar, Liora mulai merasa nyaman. Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang membuatnya merasa didengar, bahkan ketika dia cuma berbicara tentang hal-hal sederhana.
"Gue nggak tau kenapa, tapi gue ngerasa... ngobrol gini bikin lebih lega," kata Liora tiba-tiba, hampir tanpa sadar.
Pria itu tersenyum, mengangguk. "Kadang, kita cuma butuh sedikit keberanian buat mulai cerita. Setelah itu, semuanya jadi lebih gampang."
Dan sore itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Liora merasa ada sedikit cahaya masuk ke dunianya yang selama ini suram. Mungkin, langkah kecil seperti ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Sore itu, Liora dan pria yang baru ia tahu bernama Raka berbicara lebih lama dari yang ia bayangkan. Awalnya, percakapan mereka hanya seputar menu kopi dan cuaca. Tapi, entah bagaimana, obrolan itu perlahan menyentuh hal-hal yang lebih personal.
"Jadi, lo kerja di mana?" tanya Liora, sambil mengaduk sisa latte di cangkirnya.
"Freelance juga, kayak lo," jawab Raka sambil tersenyum kecil. "Bedanya, gue di desain grafis. Kadang bikin logo, kadang bikin ilustrasi buat brand."
Liora mengangguk, merasa topik itu cukup familiar. "Gue juga freelance, tapi nulis. Artikelnya macem-macem sih, dari lifestyle sampai copywriting. Tapi, belakangan ini lagi ngerasa buntu aja. Nggak ada energi buat mulai nulis."
Raka memiringkan kepala, menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Buntu gimana? Gara-gara kebanyakan kerjaan atau karena... hal lain?"
Liora diam sejenak, menimbang apakah ia harus terbuka atau tetap bermain aman. Tapi ada sesuatu di mata Raka yang membuatnya merasa ini bukan sekadar basa-basi. "Jujur aja, mungkin lebih karena hal lain. Ada banyak yang masih gue cerna dari hidup gue belakangan ini."
"Hmm, gue ngerti. Kadang, kalau ada sesuatu yang berat di kepala, itu bisa ngaruh ke segalanya. Lo coba istirahat, maksud gue, bukan cuma istirahat fisik, tapi bener-bener kasih diri lo waktu buat berhenti mikir"
Liora tersenyum kecil, tapi ada sedikit getir di balik senyumnya. "Gue sering denger saran itu, tapi praktiknya susah. Kepala gue selalu penuh, bahkan kalau lagi nggak ngapa-ngapain. Rasanya kayak... gue nggak bisa lari dari pikiran gue sendiri."
Raka mengangguk, seakan benar-benar memahami apa yang ia rasakan. "Mungkin, lo bukan butuh lari, tapi berdamai. Kadang kita terlalu sibuk nyari jalan keluar, sampai lupa kalau nerima itu sendiri bisa jadi solusi."
Kata-kata itu membuat Liora termenung. Ia memandangi cangkirnya, seakan ada jawaban yang tersembunyi di dalamnya. "Berdamai, ya?" gumamnya pelan.
"Ya. Berdamai sama diri lo, sama masa lalu lo, sama semua hal yang lo pikir nggak bisa lo kontrol. Nggak gampang sih, tapi itu lebih baik daripada terus usaha kabur," Raka menambahkan.
Obrolan itu terus berlanjut, dan tanpa sadar, waktu sudah berlalu jauh. Matahari yang tadinya bersembunyi di balik awan hujan mulai tenggelam, menyisakan langit jingga yang terlihat dari jendela kafe.
"Kayaknya gue harus pulang," ujar Liora sambil melirik jam tangannya. "Thanks buat ngobrolnya, Raka. Gue nggak nyangka bisa ngobrol kayak ini sama orang yang baru gue kenal."
Raka tersenyum. "Sama-sama. Kadang, ngobrol sama orang baru malah bisa jadi penyegaran. Kita nggak punya ekspektasi, jadi semuanya ngalir aja."
Liora mengangguk pelan, setuju. Ia mengambil tasnya, lalu berdiri. Tapi sebelum pergi, ia menoleh ke Raka lagi. "Eh, lo biasanya ke sini hari apa? Siapa tau kita bisa ngobrol lagi."
"Gue nggak punya jadwal tetep, tapi kayaknya sekarang gue bakal lebih sering ke sini," jawab Raka sambil tertawa kecil.
Liora tersenyum, lalu melangkah keluar kafe. Hujan sudah berhenti, menyisakan udara yang segar dan dingin. Di sepanjang perjalanan pulang, ia memikirkan kata-kata Raka. Berdamai... mungkin gue harus mulai belajar itu, pikirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H