"Yor, dengerin gue ya. Semua orang butuh ngomong, bahkan buat hal yang kelihatannya sepele sekalipun. Kalau lo simpen terus, lama-lama meledak. Kalau lo ngerasa gue nggak cukup, gue bisa bantu cariin psikolog. Tapi plis, Yor, lo harus mulai buka diri."
Liora terdiam cukup lama. Pikirannya berkecamuk, tapi kata-kata Hana masuk ke ruang yang selama ini dia tutup rapat. "Gue pikirin, Han. Gue coba, pelan-pelan."
***
Hari-hari berikutnya, Liora mulai sedikit lebih sering keluar. Keputusan itu memang kecil, tapi baginya terasa seperti langkah besar. Dia kembali ke kafe yang sama, mencoba menikmati suasana tanpa beban. Kali ini, dia membawa buku kecil untuk mencatat ide-idenya, sesuatu yang dulu sering dia lakukan sebelum segalanya terasa begitu berat.
Saat dia sedang menulis, suara familiar tiba-tiba menyapanya. "Kita ketemu lagi."
Liora mengangkat wajah dan mendapati pria yang sama sedang berdiri di dekat mejanya, membawa cangkir kopi di tangan. Dia tersenyum, tidak terlihat terkejut sama sekali.
"Kok kayak kebetulan banget?" tanya Liora sambil tersenyum kecil.
"Bukan kebetulan. Saya sering ke sini juga, cuma mungkin biasanya jadwal kita nggak ketemu," jawab pria itu santai, sambil mengangkat cangkir kopinya. "Mind if I join?"
Liora ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Silakan."
Percakapan itu dimulai dari hal-hal ringan---kopi favorit, cuaca, hingga cerita kecil tentang kafe itu sendiri. Tapi tanpa sadar, Liora mulai merasa nyaman. Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang membuatnya merasa didengar, bahkan ketika dia cuma berbicara tentang hal-hal sederhana.
"Gue nggak tau kenapa, tapi gue ngerasa... ngobrol gini bikin lebih lega," kata Liora tiba-tiba, hampir tanpa sadar.