Jemariku teronggok kaku, memelas menahan nafas, tak ada kreatifitas.
Kenangan saat berjaya menyesakkan dada, sakit.
Aku; seorang purnawirawan wartawan, yang telah habis terkikis oleh zaman.
Mungkin kejayaanku tak ada dalam memori kalian,
akulah yang menulis setiap berita besar saat negeri kita dipimpin oleh orang besar.
Seorang presiden yang sangat independen dan kompeten.
Kata-katanya adalah sabda, dan tingkah lakunya adalah sumber berita.
Sumber uang untuk keluarga kecilku yang terjepit hutang.
Aku; seorang ayah dari anakku yang selalu merengek meminta uang sangu.
Ia tak peduli, siapa ayahnya ini.
Lelaki lemah yang hanya tahu bangku sekolah dan tak mengenal sawah.
Aku dididik untuk menjadi lelaki egois, bermuka manis, tapi tidak kritis.
PENJILAT…
Ya, aku terdidik untuk menjadi penjilat.
Mengartikan kepentingan hidup dengan bersumber pada keakuan.
Memanfaatkan siapa saja yang bermanfaat untukku.
Memamerkan senyum untuk siapa saja yang bisa menguntungkanku.
Tapi melupakan bahwa aku telah mendustai nurani.
Kalian, generasi muda yang digembar-gemborkan akan menjadi tulang punggung bangsa.
Jangan pernah mencoba mengikuti jalanku; mengatakan iya ketika nurani berteriak tidak.
Karena hanya dengan berdamai dengan hati nuranilah, kejayaan yang hakiki akan kita raih.
======
Cairo, 24Â Mei 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H