"Pada akhirnya semua orang akan mengetahui kebenerannya. Semua itu hanya masalah waktu. Aku tidak perlu membuktikan apa-apa." Ucapan terakhir sebelum dirinya menutup telpon.
***
Pagi itu, Jacob datang ke cafenya sedikit terlambat. Gaung suara music dan pengaruh alkohol akibat pesta pada malam harinya masih terasa memenuhi kepalanya. Dia berjalan terseyok-seyok sambil memicingkan mata ketika melewati halaman parkir caf yang masih kosong.
Beberapa orang pelayan menyambutnya dengan sebuah kue Tar warna putih saat dia baru saja membuka pintu. Sebuah perayaan kecil kembali dilakukan bersama dengan pelayannya melanjutkan pesta sebelumnya yang diadakan bersama teman-temannya.
Seorang perempuan keluar dari mobil mazda warna putih. Kakinya panjang dan mulus, Baju warna merah dengan pernak-pernik yang berkilauan, Lipstik warna merah menyala, dan rambut sebahu yang terurai rapi dengan warna sedikit kemerah-merahan menyita perhatian beberapa orang petugas parkir yang duduk di bawah pohon pinggir jalan raya.Â
Wanita itu melewati mereka, berjalan menuju caf dengan langkah mantap. Sesampainya di depan pintu, dia menghampiri Jacob yang masih memotong kue dan membagikannya kepada pelayannya.
" Selamat ulang tahun Jacob." Perempuan itu menyodorkan sebuah kotak kecil.
Jacob yang merasa tidak mengenal si perempuan merasa kebingungan. Dia hentikan prosesi potong kuenya dan menyambut wanita itu dengan senyum. Dia merasa tidak mengenal wanita itu.
"Aku mendapat titipan dari Carol. Dia meminta maaf karena tidak bisa datang dan mengucapkannya sendiri." Wanita itu meyakinkan agar Jacob mau menerima hadiahnya.
Dengan sedikit kurang percaya dia membuka kotaknya. Sebuah jam rolex warna keemasan tampak elegan di matanya. Dia balik jam itu dan kemudian ditemukan sebuah tulisan tangan Carol. " Selamat ulang tahun, semoga jam ini dapat menebus ketidakhadiranku pada hari istimewamu." Jacob terperangah ketika mengingat kalau ternyata jam itu adalah jam yang sangat dia inginkan. Dia sempat cerita keinginannya itu kepada Carol beberapa tahun sebelumnya.
"Silahkan duduk mbak. Maaf baru buka, jadi masih belum begitu rapi." Jacob mempersilahkan perempuan itu duduk di sofa dekat kaca. " Tempat itu rasanya akan serasi dengan kecantikan anda mbak."
" Ah, bapak bisa saja." Perempuan itu tersenyum.
****
Malam tahun baru itu terasa lebih melankolis. Suara hujan dan petir, kembang api dan konser di halaman parkir apartemennya, serta sorak orang-orang menyambut pergantian tahun terasa menambah kepiluan dalam hatinya. Carol duduk di kursi bacanya, menghadap keluar jendela mengintip keriuhan yang terjadi di luar apartemennya. Dia ingin sekali membuka jendelanya dan melemparkan tubuhnya keluar jendela.
Dia teringat berbagai kisah novel yang pernah dibacanya tentang penyakit mental. Setidaknya itulah yang dirasakannya. Sebuah ketidak normalan yang khusus terjadi pada dirinya. " Mungkin aku orang pilihan. Karena itu pula mungkin Tuhan memilihku untuk merasakan semua ini." Bisiknya dalam kesunyian kamarnya.
Malam itu merupakan hari kesepuluh perpindahan Jacob dari apartemennya. Sebelumnya dia tinggal bersama dengan Jacob, temannya dari desa. Jacob memutuskan pindah karena terpaan isu tentang kecendrungan seksualnya dengan carol. Sebuah tuduhan yang tentunya tidak berdasar.
Carol dan Jacob berteman sejak masih Sekolah Dasar. Rumah mereka bersebelahan di desa ketika Carol hidup bersama neneknya. Mereka juga sekolah dan duduk di kelas yang sama. Mereka berangkat sekolah, bermain dan mengerjakan PR bersama selama enam tahun masa sekolah Dasarnya. Carol dikirim kembali ke kota oleh kerabat ibunya setela neneknya meninggal. Sejak itulah keduanya terpisah. Baru setelah Jacob kuliah di kota, mereka bertemu kembali.
"Sekarang dunia telah begitu maju, namun persahabatanpun harus dihancurkan hanya karena isu semacam itu." Gerutu Carol sambil menyalakan sebatang rokoknya.
Mereka memang bertemu kembali bersamaan dengan arus perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Berbekal dengan facebook, Carol mencari nama Jacob dan mengetikannya pada kolom pencarian. Dia memilah beberapa nama Jacob yang waktu itu masih belum banyak ada di Facebook.Â
Dia pandangi beberapa foto dan ketemulah sebuah nama dengan wajah yang menyerupai teman kecilnya itu. Dia kemudian menambahkannya menjadi teman dan tidak berselang lama Jacob menghubunginya lewat pesan.
" Apakah benar ini Carol Sastra?" Tulis Jacob.
" Iya, Apa kabarmu cob? Dulu banyak orang mengejek nama kita karena menurut mereka aneh."
Berawal dari pertanyaan kabar itu kemudian  pembicaraan mereka berkembang menjadi semakin dalam. Jacobpun menceritakan tentang kesulitannya untuk tinggal di kota dengan kiriman uang dari desa yang terbatas. Saat itulah kemudian Carol menawarkan solusi agar Jacob tinggal di apartemennya. Jacob menerima tawaran itu.
Sepuluh tahun mereka lalui bersama. Berbagi ruangan untuk tidur, berbagi makanan bahkan mereka berbagi handuk, yang terakhir itu merupakan sesuatu yang istimewa buat Carol.Â
Sebelumnya dia tidak pernah berbagi pakaian dengan siapapun di dunia ini. Handuk itu pulalah yang sekarang masih terpasang di lehernya dengan bau badan Jacob yang masih melekat. "Dulu dia suka sekali menggunakan handuk ini setelah olah raga pagi." Memang bukan handuk mandi yang di maksudkan. Tetapi handuk kecil yang lebih tepat bila disebut sapu tangan untuk menyeka keringat saat seseorang berolah raga.
***
Perempuan itu tampak mengenang sesuatu, menikmati rokok sampurna evolution yang ukurannya seramping dirinya. Rambutnya yang terurai membuatnya kelihatan lebih cantik dari seharusnya ditambah riasan tipis di muka dan bibirnya yang tampak serasi dengan pakaian warna merah dengan rok se-paha itu. Jacob teringat pada Carol saat menyaksikan penampilan perempuan itu. Sebuah riasan yang sangat identik dengan garapan temannya.
" Bukankah Carol yang meriasmu?" Jacob duduk tepat di depan perempuan itu sambil menaruh dua cangkir kopi latte di atas meja.
" Tidak, hanya saja dia yang mengajariku. Aku bertemu dengannya saat dia liburan di korea dan aku sedang menjalani studi di sana. Kami berkenalan di sebuah kereta menuju Soeul." Jawab perempuan itu ringan.
" Jacob." Jacob menjulurkan tangannya dan mengajak perempuan itu bersalaman.
" Lina Rahmati. Aku sudah banyak mendengar cerita tentangmu." Perempuan itu tersenyum.
Pelayannya tampak berbisik dibalik meja kasir. Mereka sebentar-sebentar melirik tingkah kikuk atasannya dengan seorang wanita yang memiliki kepercayaan diri cukup tinggi itu. Mereka menyimpulkan bahwa keduanya telah kenal dekat. Mereka menghidupkan kemungkinan bahwa perempuan cantik itu tidak lain merupakan mantan pacarnya.
Seekor kucing keluar dari sebuah kardus berwarna coklat yang ditinggalkan seseorang di samping kaca. Dia berlari kencang mencari sisa-sisa bau tubuhnya sebagaimana Jacob yang berada di balik kaca sedang mengumpulkan berbagai kenangannya tentang Carol. Lina tidak menghiraukan itu, dia terus saja bercerita tentang pertemuannya dengan Carol. "Dia tampak sangat lesu malam itu. Aku sangat prihatin padanya.Â
Tetapi setelah aku bertanya tentang alasannya datang ke Negara itu, dia segera menjawab dengan panjang lebar. Aku tidak mengingat detail penjelasannya. Banyak nama dan peristiwa yang dijelaskan. Aku hanya menyimpulkan kalau dirinya sangat tertekan malam itu. Ya, aku tahu itu dari rambutnya yang berantakan dan matanya yang tidak tentu arah."
Jacob merasa telah menemukan kata-katanya, dia menatap Lina dengan penuh keraguan. "Aku dulu meninggalkannya sendiri. Itu merupakan kesalahan terbesarku. Aku hanya menghiraukan perkataan orang-orang dan mengabaikan fakta jika akulah satu-satunya kerabatnya yang tersisa di dunia ini."
" Kamu meninggalkannya?" Lina kaget. " Dia tidak pernah menceritakan itu."
" Malam itu aku terpaksa harus pergi dari apartemennya dan mencari kontrakan baru." Jacob tampak bingung. "Ya, semua berawal dari orang-orang sekitarku yang menuduhku homo karena tinggal serumah dengan Carol. Di sini, penyuka sesama jenis mendapat diskriminasi dari lingkungan yang cukup keras."
"Owh, itu ternyata penyebab kalian berpisah." Lina kembali menyalakan rokoknya. "Jika kamu tidak homo, mengapa harus menghiraukannya?"
"Sepertinya kamu bukan orang yang hidup dari lingkungan sama denganku. Kamu tidak akan paham dengan kekuatan social di sini."
*** *
Di bawah cahaya lampu kota seoul, dia duduk di sebuah bangku sambil menyalakan gawainya. Dia tampak ragu saat hendak menekan layar gawainya. Sebuah kebimbangan yang teramat dalam menyita kesadarannya. Dia tidak tahu harus melakukan apa malam itu. Saat dia harus memutuskan untuk terakhir kalinya dalam hidupnya.
Pikirannya melayang menerobos cakrawala membelah kenangan-kenangannya yang terasa melilit tubuhnya. Dia merasa bahwa dirinya tidak seperti yang digambarkan orang-orang. Diapun percaya bahwa dirinya adalah orang yang normal. Orang yang dapat jatuh cinta dengan wanita dan juga keindahan lain yang datang menyertainya.
Dia berdiri mondar-mandir, mengenang masa-masa pedihnya saat neneknya tutup usia. Dia dengan sangat terpaksa harus meninggalkan desa karena perebutan warisan yang dilakukan oleh saudara ibunya. Dia dianggap mengancam jatah warisan Pak dhe, Bu dhe, Pak lik dan Bu lik yang jumlah tidak sedikit. Mereka kemudian memutuskan agar Carol kembali ke kota. Mungkin keputusan itu sangat ringan buat kerabatnya.Â
Tetapi bagi Carol, memulangkannya ke kota sama halnya membiarkannya tinggal sendiri di rumah besar bersama dengan asisten rumah tangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengannya.
Kakek dan neneknya dari ayah terlalu sibuk untuk diajak bicara. Mereka berdua lebih sering berwisata keluar negeri untuk menghilangkan kenangan tentang anak semata wayangnya yang telah mendahuluinya. Mereka bahkan menganggap Carol sebagai anak yang dapat mengingatkan kepedihan itu. Carol kecil mengisi waktu dengan bermain wanita.
Entah berapa banyak wanita yang telah dia sakiti. Entah berapa banyak pula wanita yang dengan suka rela menyerahkan dirinya saat masuk masa SMA. Semua itu membuatnya merasa bahwa segala yang dihadapinya saat ini merupakan sebuah karma yang harus ditebusnya. Air matanya mengalir deras melewati pipinya.
"Halo, Jacob ini Carol."
" Iya, setahun lamanya kita tidak jumpa kawan. Kamu dimana sekarang?" Suara Jacob terdengar antusias.
"Aku masih di planet yang sama denganmu."
" Kau menangis kawan?"
" Tidak, aku hanya merasa mereka terlalu berlebihan terhadap kita."
" Kemarin pacarmu si Lady menemuiku. Dia mencarimu."
" Dia hanya datang untuk memastikan kalau kita sudah berpisah. Dia merasa cemburu denganmu. Dia percaya tentang semua yang dibicarakan orang."
" Sudahlah, semua sudah berlalu. Tidak perlu kamu buktikan bahwa mereka salah." Jacob mencoba menenangkan temannya.
***
" Terserah apa katamu. Aku tidak akan menilaimu atau lingkungan sosialmu." Lina memutar-mutar cangkir kopinya.
" Kapan kamu terakhir bertemu dengan Carol?" Jacob mencoba mencairkan kebekuan.
" Lima tahun lalu di sebuah taman. Dia tampak kesepian pagi itu. Dia duduk di bangku sambil memegang jaketnya erat." Tatapan Lina tampak kosong. "Aku membawakan sarapan pagi untuknya. Memang sebelumnya dia telah berpesan padaku agar mampir ke taman sambil membawakan sarapan pagi ketika berangkat ke kantor."
" Apakah dia sehat waktu itu?"
" Dia makan dengan sangat lahap."
" Berarti setelah itu kamu kehilangan jejaknya?"
Lina menganggukkan kepala. Dia setengah menangis " Aku sangat kesepian setelah kepergiannya. Satu tahun kebersamaan kami telah cukup membuatku ketergantungan dengannya. Saat itu pulalah dia memberikan jam tangan itu." Lina menunjuk jam tangan yang dikenakan oleh Jacob. "Dia berpesan agar aku memberikannya kepadamu saat ulang tahunmu ke-35."
" Dia mengingatku dengan baik." Mata Jacob berkaca-kaca.
Jacob menghentikan kesedihannya ketika melihat sebuah tahi lalat yang menempel di leher sebelah kiri. Sebuah tanda lahir yang serupa dengan milik Carol.
" Apakah dia bunuh diri?" Jacob kembali bertanya. " Dia orang yang paling ingin mengakhir hidupnya sendiri."
" Tidak, aku yakin dia masih hidup."
" Bagaimana bisa kamu seyakin itu?"
" Aku tidak tahu kondisinya bagaimana. Tetapi beberapa bulan sebelum kepergiannya, dia bercerita kepadaku tentang keinginannya untuk memiliki anak dengan tanpa berhubungan lawan jenis atau mengadopsi. Dia merasa korea-lah Negara asia yang mampu mewujudkan keinginannya."
Jacob ingin bertanya tentang tahi lalat itu. Tetapi dia mengurungkan niatnya.
Seorang anak perempuan yang ditemani seorang pengasuhnya berlari menghampiri Lina. " Ma, aku ingin pulang." Ajaknya pada Lina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H