Sekarang aku pulang tiap bayangan itu sama dengan tubuhku. Tetapi ... " Dia hendak menyampaikan bahwa meskipun dia pulang lebih cepat tetap saja tidak dapat bertemu dengan istrinya. Namun dia tidak menginginkan sebuah konflik.Â
Dia selalu ingin menghindari konflik yang diakibat oleh rasa tidak terima atas pernyataannya yang terkesan menghakimi istrinya. "Ya, tetapi lama Matahari menyinari bumi selalu berubah dan tidak sama. Kamu selalu bilang begitu jika disalahkan. Aku mau tidur dulu. Aku capek." Istrinya meninggalkan nasinya yang tinggal separuh dan berangkat menuju kamar tidur.
Siang itu, hujan mengguyur kota dengan deras. Wiji yakin jika pelanggannya sudah tidak akan mencarinya dengan intensitas hujan yang seperti itu. Biasanya, dalam cuaca seperti itu, dia akan mangkal di depan toko Enci yang di terasnya banyak orang berteduh.Â
Tetapi pagi sebelumnya, Enci bilang kalau dia akan berlibur bersama seluruh karyawannya sehingga tokonya ditutup. Wiji memilih untuk pulang dengan isi gerobag dagangannya yang masih setengah. Dengan semangat, dia kemudian bergegas menaruh Gerobagnya di teras rumah.Â
Diambilnya ember dari dapur dan dimasukkannya sisa-sisa pentolnya ke dalamnya. Setelah memastikan semua pentolnya aman di dapur, dia kemudian berniat untuk melakukan sembahyang di kamarnya. Dia bersuci dengan air hujan dan kemudian masuk ke dalam kamarnya. Ketika membuka pintu kamarnya, tiba-tiba kepalanya terasa terpukul sebuah benda yang sangat besar.Â
Tubuhnya terasa susah untuk digerakkan dan matanya tidak lagi dapat dipejamkan. Dia melihat istrinya sedang tidur terlentang bersama dengan seorang lelaki yang tengkurap disampingnya tanpa busana. Disandarkan tubuhnya yang terasa kehilangan tenaga pada dinding kamarnya.
Cukup lama buatnya mengenali wajah lelaki itu. Dia adalah atasan Minah, istrinya yang bernama Hafizd. Dialah orang yang menyambutnya dengan sangat ramah saat acara penghargaan buruh terbaik yang diterima istrinya.Â
Dia pula orang yang sering diceritakan istrinya dengan segudang kabaikannya. Ketika anak bungsunya sakit, Hafizd yang saat itu baru ditempatkan di Pabrik tempat Minah kerja datang mewakili perusahaan untuk memberi santunan.Â
Dia pula orang yang seringkali memberikan bonus kepada istrinya. Wiji perutnya tiba-tiba mual dan ingin muntah membayangkan istrinya menjual diri untuk atasannya itu. Darahnya tiba-tiba memanas dan kepalanya terasa seakan melayang tidak pada tempatnya.Â
Napasnya menjadi tidak teratur. Dia membayangkan dirinya mengambil pisau daging yang biasa digunakannya untuk mencacah daging pentolnya dan kemudian mencincang tubuh dua orang itu dan membakarnya. Pasti tidak seorangpun tahu mereka meninggal.Â
Namun napasnya tiba-tiba sesak ketika mengingat penjelasan Surya mengenai hilangnya bintang. "Lilin ini cahayanya lebih redup katimbang lampu neon kita. Sehingga kalau lampu neon dinyalakan, cahaya lilin tidak akan terasa menyilaukan." Suara surya terus saja terdengar ditelinganya.Â