Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya yang Meredupkan

17 Februari 2019   11:18 Diperbarui: 17 Februari 2019   11:46 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika Wiji melayani pelanggan, konsentrasinya hanya dapat terbagi oleh satu hal, yaitu bayangan gelap yang biasanya menempel pada tumitnya. Bayangan yang disebabkan oleh cahaya matahari siang itu menjadi satu-satunya media yang digunakannya untuk menentuntukan waktu. 

Baginya, setiap perbedaan panjang dan  arah dari bayangan mewakili perubahan dari masing-masing waktu. Seperti halnya siang itu ketika bayangan tubuhnya berada tepat di sebelah timur tumitnya dengan panjang sekitar satu jengkal, dia akan menafsirkannya sebagai sebuah pertanda masuknya waktu sembahyang siang. 

Mengetahui itu, dia akan  melayani pelanggannya dengan lebih cepat dan bergegas untuk mengambil selembar kain warna hitam yang disimpan dalam laci untuk kemudian ditutupkannya ke gerobak. Setelah memastikan semuanya tertutup rapat sehingga tidak seekor lalatpun yang dapat hinggap di gelas, toples tempat sirup, dandang tempat pentol, bungkus plastik, dan sedotan, dia berjalan menuju tempat sembahyang yang tidak jauh dari sana. 

Dia hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di samping gerobaknya kembali di halaman SDN 04. Di samping gerobak itulah dia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan tanpa beristirahat. Dia tidak pernah pulang sebelum dagangan pentolnya habis.

Di rumah, dia memiliki sebuah jam dinding yang terpasang pada ruang tamu. Jam yang didapatkannya dari toko Enci, teman kecilnya itu berbentuk bulat dengan warna latar hitam, serta angka dan jarumnya berwarna merah. 

Dahulu istrinyalah yang meminta agar dia membeli jam dan dipasang di dinding ruang tamu dekat dengan foto pernikahan mereka. Kata istrinya, " Kita membutuhkan jam yang nantinya akan dipasang di samping foto pernikahan dan di atas foto keluarga kita jika kita sudah memiliki anak. 

Dengan begitu kita akan selalu mengingat keluarga saat melihat jam. Biar kita dapat memanfaatkan waktu untuk keluarga kita dengan sebaik mungkin." Berkat permintaan itulah, dia mendatangi toko sahabatnya Enci yang menjual peralatan rumah tangga di perempatan jalan raya dekat gang rumahnya saat perjalanan pulang dari berjualan. 

Enci yang saat itu mengatahui dirinya menanyakan tentang jam dinding kepada salah seorang karyawannya segera mendekat sambil memegang telinganya. "Eh, apa tidak salah kamu berencana membeli sebuah jam dinding?" Enci tertawa dengan kepala menengadah ke atas dan mulut terbuka lebar. 

Suaranya terdengar ke seluruh ruangan tokonya hingga menyita perhatian semua pelanggan dan karyawannya. "ini istriku yang minta." Dia berbisik. Rasa malu membuatnya tidak mampu mengeluarkan kata-kata dengan keras. "Aku kira namamu sudah bukan lagi Wiji, hingga membutuhkan jam." 

Enci tertawa geli. Enci kemudian memanggil salah seorang karyawannya dan memintanya untuk mengambilkan jam dinding terbaik yang dia punya untuk sahabatnya. " Anggap ini sebagai kado pernikahanmu." Enci tersenyum tipis.

Seiring berjalannya waktu, istrinya justru semakin jarang menyaksikan jam dinding itu. Bahkan setelah jaman berjalan dan gawai menjadi kebutuhan pokok, istrinya sama sekali tidak pernah memandang jam dinding itu.  Memang jauh sebelum itu, istrinya masih sering memandangi jam. 

Mencoba memperkirakan lama waktu memasaknya. Mengatur waktu istrahatnya dan memastikan ketepatan waktu persembahyangannya. Istrinya tahu betul kapan waktu memasak bekal makanan di pagi hari agar dia tidak terlambat pergi ke pabrik sepatu tempat dia menjadi seorang buruh. 

Namun jam yang terdiri atas bilangan dan angka itu dapat berpindah kemanapun. Selepas jam dinding, bergantilah masa jam tangan. Istrinyapun membeli jam tangan dengan sebagian gajinya. Sebentar-bentar jam tangannya itu menyita perhatiannya. 

Dia ingat betul bagaimana istrinya yang selalu memandangi jam tangan saat berbicara dengannya sambil berkata, "Aku tidak punya banyak waktu. Sekarang pabrik sangat ketat. Terlambat sedikit saja uang gajiku dipotong." Kemudian dia berlari keluar meninggalkannya sendirian.

Wiji menggunakan bintang sebagai penanda waktu saat malam tiba. Belakangan, Dia semakin kesulitan untuk menemukan bintang di cakrawala malam. Satu persatu bintang itu pergi dari pandangan matanya. Dia merasa terdapat sesuatu yang salah dengan matanya. 

Maka pada suatu malam ketika Rahman anak keduanya pulang dari asrama, Dia kemudian meminta sarannya mengenai penyakit mata yang di deritanya. Rahman dengan tanpa ragu menyarankan agar bapaknya memeriksakan matanya ke dokter. 

Dengan penuh keraguan, Wijipun menuruti saran itu. Dia pergi ke dokter Ibrahim yang rumahnya dekat dengan SDN 04 tempatnya berjualan. Dokter Ibrahim tertawa saat mendengar penjelasannya. Dokter itu bilang "bukan matamu yang sakit. Itu bintangnya yang sakit." Dokter itu tertawa mendengar keterangan Wiji dengan tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Wiji diminta pulang ke rumah.

Pada suatu hari ketika ketiga anaknya pulang dari asrama, secara terang-terangan dia menceritakan pengalaman itu kepada anak-anaknya ketika makan malam di ruang tamu rumahnya, di depan jam dinding yang masih berdetak dengan suara khas yang biasanya menjadi satu-satunya temannya saat malam tiba. Makan malam itupun tidak dihadiri istrinya yang sejak dua tahun lalu mendapat giliran kerja malam. 

Ketika dia menceritakan pengalamannya bersama dengan dokter Ibrahim, ketiga anaknya tertawa terbahak-bahak, bahkan Surya, anak pertamanya sampai merebahkan badan di bangku panjang karena merasa pengalaman ayahnya terlampau menggelitiki pikirannya. Surya yang saat itu masuk sekolah SMA kemudian angkat bicara, " Sakitnya bintang itu karena kecerahannya yang kalah dengan kecerahan lampu Yah." 

Sambil menyaksikan kebingungan bapaknya, kemudian dia meminta agar menik, adik bungsunya mengambil sebuah lilin dan menyalakannya di atas meja. 

Sedangkan Rahman dimintanya bersiap di luar rumah dekat sekring. Ketika Surya memberikan siulan, Rahman segera memutar sekring rumahnya hingga lepas dan membuat rumah itu gelap gulita. " Yah, lihat lilin ini! Terang bukan?" Menik anak bungsunya menunjukkan tangannya pada lilin itu. Setelah cukup puas melihat mimik kebingungan dari Ayahnya, Surya kemudian bersiul dan Rahman, kembali memasang sekringnya. "Lilin ini sekarang tampak redup ya Yah?" Wiji mengangguk. 

Surya kemudian melanjutkan. " Lilin ini cahayanya lebih redup katimbang lampu neon kita. Sehingga kalau lampu neon dinyalakan, cahaya lilin tidak akan terasa menyilaukan. Bayangkan saja jika lilin ini bintang dengan cahaya yang lebih redup katimbang lampu ini. Pasti cahaya bintang itu akan kalah sehingga tidak kelihatan." Wiji sebenarnya masih belum benar-benar paham atas penjelasan anaknya. Tetapi dia menyimpulkan dalam pikirannya bahwa bintang hilang karena kalah dengan cahaya lampu sebagaimana lilin itu.

Cahaya redup akan kalah dengan cahaya yang lebih terang dan mungkin mataharipun akan kalah dengan cahaya yang lebih terang darinya. Wiji kuatir kalau suatu saat manusia dapat menemukan sebuah sumber cahaya yang lebih terang dari Matahari. 

Jika itu terjadi, Wiji yakin bahwa anak cucunya tidak akan mampu mengenal Matahari apabila kejadian luar biasa itu terjadi. Dia mengingat bagaimana dahulu dia sering kali mencoba menghitung bintang-bintang dan mengingat letak posisinya saat ayahnya mengajarkan tentang pembagian waktu malam. 

Sekarang dia sudah tidak lagi mampu melakukan itu bersama dengan anak-anaknya. Fenomena hilangnya bintang ini bagaikan sebuah kemajuan yang mengakibatkan bencana. Bagaimana jika matahari juga mengalami hal serupa? Wiji tidak pernah mampu membayangkannya. Dalam diam, dia berdoa agar hal itu tidak pernah terjadi.

Beberapa tahun belakangan ketika ketiga anaknya tinggal di asrama dan istrinya bekerja, dia merasa semakin kesepian. Istrinya selalu berangkat ke pabrik tepat jam setengah 5 sore sedangkan Wiji yang menggunakan matahari sebagai penanda waktunya, jam pulangnya tidak tentu. 

Terkadang dia pulang setelah istrinya berangkat dan terkadang mereka berpapasan di gang masuk ke rumahnya, dan terkadang pula keduanya bertemu di rumah sebentar sambil mengucapkan salam atau membicarakan mengenai sisa lauk yang telah dimakan istrinya. 

Saat dini hari, ketika Wiji bangun dan mempersiapkan dagangannya, biasanya Minah, istrinya baru sampai rumah dan kemudian tidur tanpa meninggalkan sepatah katapun. Ketika Minah masih tertidur pulas dan Wiji telah menyelesaikan pekerajaannya, dia kemudian memasak sarapan untuk istrinya. Dia tahu, istrinya telah bekarja keras di pabrik sehingga dia merasa tidak patut untuk membangunkannya. 

Wiji berangkat kerja saat istrinya masih tidur lelap. Mereka seolah menjadi dua makhluk asing di rumah tanpa adanya anak-anak. Biasanya jika anak-anak liburan, mereka masih menyempatkan untuk sarapan bersama dan kemudian istrinya melanjutkan istirahatnya.

Pernah suatu hari Wiji menegur istrinya, ketika dia harus memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian. "Kamu terlalu sibuk belakangan, bahkan tidak punya banyak waktu buat rumah kita." Sontak istrinya yang waktu itu baru pulang kerja langsung emosi. " Aku bekerja untuk mencukupi rumah tangga kita. Aku bekerja mulai sore hingga tengah malam dan saat aku baru sampai rumah sudah kamu marahi." 

Wiji yang saat itu merasa telah menyampaikan keluhannya dengan bahasa yang sangat halus, kemudian diam. Tetapi istrinya melanjutkan, " Sudah aku bilang kamu perlu membawa jam agar kita dapat berjumpa tiap hari. Jika kamu menggunakan jam sebagai acuan rutinitasmu, kita tentu dapat dengan mudah bertemu. Karena kamu menggunakan matahari sebagai acuan, akhirnya tidak jelas waktu pulangmu. 

Kamu selalu pulang setelah aku berangkat kantor." Wiji merunduk dengan penuh penyesalan. Dia mencoba untuk mengumpulkan seluruh kecerdasannya agar dapat menjawab keluhan istrinya itu. Namun tiap sebuah ide terlintas dipikirannya, dipendamnya kembali dalam-dalam. 

Dia tidak ingin menyakti istrinya. Sampai beberapa saat setelahnya saat istrinya mulai melahap makanan malamnya sepulang kerja, Wiji kembali membuka pembicaraan, "Aku sudah berusaha pulang lebih cepat dari biasanya." Keengganannya untuk melirik jam dinding membuatnya tidak tahu tepat jam berapa dia pulang. " Aku dahulu pulang saat bayanganku sejengkal lebih tinggi dari tubuhku. 

Sekarang aku pulang tiap bayangan itu sama dengan tubuhku. Tetapi ... " Dia hendak menyampaikan bahwa meskipun dia pulang lebih cepat tetap saja tidak dapat bertemu dengan istrinya. Namun dia tidak menginginkan sebuah konflik. 

Dia selalu ingin menghindari konflik yang diakibat oleh rasa tidak terima atas pernyataannya yang terkesan menghakimi istrinya. "Ya, tetapi lama Matahari menyinari bumi selalu berubah dan tidak sama. Kamu selalu bilang begitu jika disalahkan. Aku mau tidur dulu. Aku capek." Istrinya meninggalkan nasinya yang tinggal separuh dan berangkat menuju kamar tidur.

Siang itu, hujan mengguyur kota dengan deras. Wiji yakin jika pelanggannya sudah tidak akan mencarinya dengan intensitas hujan yang seperti itu. Biasanya, dalam cuaca seperti itu, dia akan mangkal di depan toko Enci yang di terasnya banyak orang berteduh. 

Tetapi pagi sebelumnya, Enci bilang kalau dia akan berlibur bersama seluruh karyawannya sehingga tokonya ditutup. Wiji memilih untuk pulang dengan isi gerobag dagangannya yang masih setengah. Dengan semangat, dia kemudian bergegas menaruh Gerobagnya di teras rumah. 

Diambilnya ember dari dapur dan dimasukkannya sisa-sisa pentolnya ke dalamnya. Setelah memastikan semua pentolnya aman di dapur, dia kemudian berniat untuk melakukan sembahyang di kamarnya. Dia bersuci dengan air hujan dan kemudian masuk ke dalam kamarnya. Ketika membuka pintu kamarnya, tiba-tiba kepalanya terasa terpukul sebuah benda yang sangat besar. 

Tubuhnya terasa susah untuk digerakkan dan matanya tidak lagi dapat dipejamkan. Dia melihat istrinya sedang tidur terlentang bersama dengan seorang lelaki yang tengkurap disampingnya tanpa busana. Disandarkan tubuhnya yang terasa kehilangan tenaga pada dinding kamarnya.

Cukup lama buatnya mengenali wajah lelaki itu. Dia adalah atasan Minah, istrinya yang bernama Hafizd. Dialah orang yang menyambutnya dengan sangat ramah saat acara penghargaan buruh terbaik yang diterima istrinya. 

Dia pula orang yang sering diceritakan istrinya dengan segudang kabaikannya. Ketika anak bungsunya sakit, Hafizd yang saat itu baru ditempatkan di Pabrik tempat Minah kerja datang mewakili perusahaan untuk memberi santunan. 

Dia pula orang yang seringkali memberikan bonus kepada istrinya. Wiji perutnya tiba-tiba mual dan ingin muntah membayangkan istrinya menjual diri untuk atasannya itu. Darahnya tiba-tiba memanas dan kepalanya terasa seakan melayang tidak pada tempatnya. 

Napasnya menjadi tidak teratur. Dia membayangkan dirinya mengambil pisau daging yang biasa digunakannya untuk mencacah daging pentolnya dan kemudian mencincang tubuh dua orang itu dan membakarnya. Pasti tidak seorangpun tahu mereka meninggal. 

Namun napasnya tiba-tiba sesak ketika mengingat penjelasan Surya mengenai hilangnya bintang. "Lilin ini cahayanya lebih redup katimbang lampu neon kita. Sehingga kalau lampu neon dinyalakan, cahaya lilin tidak akan terasa menyilaukan." Suara surya terus saja terdengar ditelinganya. 

"Bagaimana jika, aku adalah lilin dan bintang yang hilang oleh silaunya lampu neon? Aku memang tidak sebanding dengan Hafizd dan pantas jika Minah mencintai hafizd. Minah tidak akan pernah jual diri, dia orang yang merdeka dan punya harga diri." Gumamnya. 

Dia merasa mengenal Minah dengan sangat baik. Berkat itu pula air matanya semakin mengalir deras. Ketika emosinya kembali memuncak, Dia ingin memanggil tetangganya dan mengumumkan peristiwa itu sehingga nanti mereka berdua diarak keliling kampung. Namun dia memikirkan nasib anak-anaknya yang selama ini disekolahkannya dengan uang hasil jualan pentolnya. Dia tidak ingin anak-anaknya malu karena tingkah ibunya. 

Diapun tidak ingin menceraikan Minah karena takut anak-anaknya merasa kehilangan ibunya. Dan kembali dia ingat bagaimana Minah dengan gajinya yang dihabiskan untuk membeli barang-barang mewah kebutuhannya sendiri, gelang, kalung, dan cincin yang menurutnya dibutuhkan untuk bersosialisasi serta riasan untuk menjaga kecantikannya. Dia kembali marah mengetahui semua itu dikenakan Minah bukan untuknya. 

"Dia dengan mudah menuduhku tidak mencukupi rumah tangga, sedangkan dia sendiri tidak pernah memberikan sepeserpun uangnya untuk keluarga."

Dia berjalan mendekat dan kemudian duduk di kursi rias Minah, di samping ranjang. Dia memandangi setiap inci kedua tubuh yang tampak tertidur dengan sangat pulas itu. Dia kemudian teringat pada Enci yang menitipkan sebuah cairan Pala sebelum pergi berlibur. "Jangan-jangan mereka meminum cairan Pala itu?" Dia berlari menuju kulkas dan ketika dibuka kulkasnya, benar bahwa cairan pala itu tinggal separuh botol. 

Cairan Pala itu digunakan Enci untuk mengobati penyakit susah tidurnya. Dengan cairan itu seseorang akan dapat tidur pulas lebih dari dua belasnya. Mengingat Enci dia kembali teringat tentang perbincangan enam bulan sebelumnya. Enci yang saat itu sedang melayani pelanggan tiba-tiba berlari dan memanggilnya. 

Enci ternyata telah menyiapkan kopi dan berbagai jajanan untuknya. "Ji, aku sering lihat istrimu berangkat dan pulang diantarkan mobil bagus. Aku intip dari jendela, ternyata yang antar seorang lelaki. Kamu baiknya perlu waspada." Wiji membela. "Kamu ini ada-ada aja Ci. Mungkin itu layanan antar jemput kantornya." Enci tampak marah, dia menarik napasnya untuk pengendalian diri. 

"Jika kamu ingin lihat orangnya, pulanglah saat Sembahyang siang sekali-kali." Wiji tidak percaya. Dia tersenyum dan mengabaikannya. Dia berpikir Enci hanya terlalu kawatir, sedangkan dirinya merasa sangat percaya pada istrinya.

Wiji terduduk di depan kulkas. Tenaganya hilang dan dia hampir saja membentur lantai. Dengan sisa kesadarannya, dia melihat Enci datang memasuki rumahnya bersama dengan tetangg-tetangganya. Enci menghampirinya dan menggendongnya sambil berbisik, " Jika dahulu aku memberikan jam agar istrimu tidak mengkritikmu, kini aku telah memberinya pelajaran agar dia mengetahui seberapa baik dirimu." Rumahnya tiba-tiba penuh sesak dengan orang-orang yang berpusat di kamarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun