Mencoba memperkirakan lama waktu memasaknya. Mengatur waktu istrahatnya dan memastikan ketepatan waktu persembahyangannya. Istrinya tahu betul kapan waktu memasak bekal makanan di pagi hari agar dia tidak terlambat pergi ke pabrik sepatu tempat dia menjadi seorang buruh.Â
Namun jam yang terdiri atas bilangan dan angka itu dapat berpindah kemanapun. Selepas jam dinding, bergantilah masa jam tangan. Istrinyapun membeli jam tangan dengan sebagian gajinya. Sebentar-bentar jam tangannya itu menyita perhatiannya.Â
Dia ingat betul bagaimana istrinya yang selalu memandangi jam tangan saat berbicara dengannya sambil berkata, "Aku tidak punya banyak waktu. Sekarang pabrik sangat ketat. Terlambat sedikit saja uang gajiku dipotong." Kemudian dia berlari keluar meninggalkannya sendirian.
Wiji menggunakan bintang sebagai penanda waktu saat malam tiba. Belakangan, Dia semakin kesulitan untuk menemukan bintang di cakrawala malam. Satu persatu bintang itu pergi dari pandangan matanya. Dia merasa terdapat sesuatu yang salah dengan matanya.Â
Maka pada suatu malam ketika Rahman anak keduanya pulang dari asrama, Dia kemudian meminta sarannya mengenai penyakit mata yang di deritanya. Rahman dengan tanpa ragu menyarankan agar bapaknya memeriksakan matanya ke dokter.Â
Dengan penuh keraguan, Wijipun menuruti saran itu. Dia pergi ke dokter Ibrahim yang rumahnya dekat dengan SDN 04 tempatnya berjualan. Dokter Ibrahim tertawa saat mendengar penjelasannya. Dokter itu bilang "bukan matamu yang sakit. Itu bintangnya yang sakit." Dokter itu tertawa mendengar keterangan Wiji dengan tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Wiji diminta pulang ke rumah.
Pada suatu hari ketika ketiga anaknya pulang dari asrama, secara terang-terangan dia menceritakan pengalaman itu kepada anak-anaknya ketika makan malam di ruang tamu rumahnya, di depan jam dinding yang masih berdetak dengan suara khas yang biasanya menjadi satu-satunya temannya saat malam tiba. Makan malam itupun tidak dihadiri istrinya yang sejak dua tahun lalu mendapat giliran kerja malam.Â
Ketika dia menceritakan pengalamannya bersama dengan dokter Ibrahim, ketiga anaknya tertawa terbahak-bahak, bahkan Surya, anak pertamanya sampai merebahkan badan di bangku panjang karena merasa pengalaman ayahnya terlampau menggelitiki pikirannya. Surya yang saat itu masuk sekolah SMA kemudian angkat bicara, " Sakitnya bintang itu karena kecerahannya yang kalah dengan kecerahan lampu Yah."Â
Sambil menyaksikan kebingungan bapaknya, kemudian dia meminta agar menik, adik bungsunya mengambil sebuah lilin dan menyalakannya di atas meja.Â
Sedangkan Rahman dimintanya bersiap di luar rumah dekat sekring. Ketika Surya memberikan siulan, Rahman segera memutar sekring rumahnya hingga lepas dan membuat rumah itu gelap gulita. " Yah, lihat lilin ini! Terang bukan?" Menik anak bungsunya menunjukkan tangannya pada lilin itu. Setelah cukup puas melihat mimik kebingungan dari Ayahnya, Surya kemudian bersiul dan Rahman, kembali memasang sekringnya. "Lilin ini sekarang tampak redup ya Yah?" Wiji mengangguk.Â
Surya kemudian melanjutkan. " Lilin ini cahayanya lebih redup katimbang lampu neon kita. Sehingga kalau lampu neon dinyalakan, cahaya lilin tidak akan terasa menyilaukan. Bayangkan saja jika lilin ini bintang dengan cahaya yang lebih redup katimbang lampu ini. Pasti cahaya bintang itu akan kalah sehingga tidak kelihatan." Wiji sebenarnya masih belum benar-benar paham atas penjelasan anaknya. Tetapi dia menyimpulkan dalam pikirannya bahwa bintang hilang karena kalah dengan cahaya lampu sebagaimana lilin itu.