Kondisi parpol saat ini sungguh mengkuatirkan akibat tingginya krisis kepercayaan publik. Dengan kata lain, tingkat kepercayaan publik terhadap parpol saat ini ibarat terjun bebas ke titik nol. Beberapa hasil survei publik menunjukkan bahwa terdapat dua lembaga yang paling tidak dipercaya publik, yakni DPR dan Parpol. Tidak usah heran, mengingat relasi parlemen dan parpol ibarat dua sisi dari sekepeing mata uang. Lantaran parpol mengkatrol kader-kader karbitan yang tidak kapabel dan tidak kompeten untuk masuk ke lembaga parlemen, maka kualitas parlemen pun merosot drastis.
Tidak ada pilihan lain, parpol harus berbenah diri! Parpol jangan membiarkan bertumbuhnya praktek politik kotor seperti keharusan menyerahkan ‘mahar politik’ untuk momentum seleksi kepemimpinan politik misalnya pada pilkada, pemilu legislatif, dan pilpres. Praktek mahar politik akan membawa akibat buruk pada kualitas dan citra parpol sendiri. Mahar politik hanya akan membebani kader-kader yang sedang memangku suatu jabatan, yang pada akhirnya menyalahgunakan jabatannya untuk membayar mahar politik yang telah terlanjur dikeluarkan.
Merespons situasi dan kondisi politik terkini yang semakin mengancam citra dan eksistensi parpol, maka tidak pilihan lain bagi Partai Golkar untuk sesegera mungkin menata kembali sistem kaderisasinya! Dengan begitu, Golkar akan kembali melahirkan kader-kader bangsa yang berkualitas, berintegritas, dan berkarakter paripurna, yakni melalui penjenjangan kaderisasi yang benar dan konsisten! Golkar harus menghindarkan dirinya dari praktek politik kotor dan aksi tipu-tipu, yang hanya menghasilkan ‘pemimpin karbitan’, seperti pada kasus terkini yakni tertanggapnya Bupati Ogan Ilir oleh BNN akibat mengonsumsi narkoba!
Di masa lalu, Golkar pernah memiliki sistem kaderisasi berkualitas termasuk dalam hal seleksi kepemimpinan politik secara ketat. Selain itu, Golkar pun pernah dengan sangat baik memelihara suasana kebatinan praktek demokrasi Pancasila yang berbasis musyawarah-mufakat. Pada masa itu, potensi-potensi kader dari lintas-jalur diteliti dengan seksama rekam jejaknya, diseleksi secara ketat demi memperoleh pilihan terbaik untuk ditampilkan sebagai calon kepala daerah, atau pada pos-pos politik lainnya. Di tengah karut-marut politik nasional sekarang ini, sudah semestinya Golkar mampu menemukan momentum untuk membuat titik balik sebagai partai kader yang paling siap menghadapi berbagai tantangan kebangsaan dan pergulatan demokrasi.
Kembali ke UUD 1945
Merespons praktek politik di negeri ini yang semakin menjauh dari cita-cita Para Pendiri Bangsa (The Founding Fathers), Partai Golkar harus mengambil posisi proaktif sebagai partai yang melakukan transformasi politik sesuai jiwa konstitus UUD 1945, yang bernuansa musyawarah-mufakat. Bila dicermati secara seksama, saat ini proses demokrasi telah dan sedang dibajak oleh kepentingan neo-liberalisme dan kapitalisme global.
Mencermati situasi dan kondisi politk-ekonomi hari-hari ini, Golkar harus menjadi kekuatan di garda terdepan untuk mengembalikan kedaulatan bangsa Indonesia dalam konteks praksis konstitusi negara. Golkar mesti membangun sinergi dengan partai-partai nasionalis dan partai-partai berbasis keagamaan, untuk melawan penetrasi dan hegemoni multynational corporation yang merupakan perpanjangan tangan neo-liberalisme dan kapitalisme global.
Saat ini, kedaulatan wilayah NKRI sedang tercengkeram dalam hegemoni kepentingan neo-liberalisme/kapitalisme global, yang cenderung sudah menguasai kedaulatan wilayah udara, tanah, dan air. Padahal, UUD 1945 mengamanatkan bahwa semua sumberdaya alam Indonesia itu dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kita patut sesalkan karena begitu banyak pasal UUD 1945 diamandemen, dan inilah yang justru menjadi ‘pintu gerbang’ bagi penetrasi kepentingan neo-liberalisme/kapitalisme global melalui multy-national coorporation.
Salah satu contoh kasus terkini adalah kontroversi penggunaan aplikasi online yang telah memicu kerusuhan horisontal diantara para sopir taxi dan angkutan umum. Ini menjadi bukti bahwa bangsa ini mulai kehilangan kedaulatan ekonomi karena semuanya diserahkan kepada logika kekuatan pasar! Sebagai bangsa besar yang berdaulat, kita harus dengan sekuat tenaga dan bergandengan tangan untuk menjaga kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya kita sendiri. Kini saatnya kepemimpinan nasional kita, di bawah dirigen utama Presiden Jokowi mesti melakukan penggalangan kekuatan nasional untuk menghadapi hegemoni kekuatan asing. Meminjam idiom yang sering diteriakkan oleh Bung Karno yakni “samenbundeling van alle revolusionaire krachten!”
Regulasi ekonomi nasional kita tampaknya mulai menjauh, dan bahkan bertentangan dengan cita-cita dasar Para Pendiri Bangsa. Adapun penetrasi dan hegemoni kekuatan neo-liberalisme/kapitalisme global itu bermula di awal era reformasi. Nafsu dan euforia para wakil rakyat yang duduk di Panitia Ad-Hoc (PAH) MPR pada saat itu, telah membuat UUD 1945 diamandemen secara kebablasan. Para Anggota PAH-MPR waktu itu dapat dianggap telah kehilangan visi dan watak kenegarawanan. Amandemen UUD 1945 sebenarnya hanya cukup menyentuh soal pembatasan jabatan presiden dan mekanisme pemilu, sehingga tidak merusak roh kebangsaan dari UUD 1945.
Terkait status pasal-pasal hasil amandemen, seharusnya pasal-pasal itu diposisikan sebagai sebatas “lampiran” dari teks asli UUD 1945, dan bukan diletakkan sama-sejajar dengan pasal-pasal yang sudah disusun oleh Para Pendiri Bangsa. Kalau dibuat perbandingan sederhana dengan tatanan organisasi kemasyarakatan, maka pasal hasil amandemen itu posisinya ibarat Anggaran Rumah Tangga, yang merupakan keterangan tambahan dan bersifat teknis dari posisi Anggaran Dasar.