Bung Karno, Golkar, dan Pergulatan Demokrasi
Oleh: Erwin Ricardo Silalahi
(Ketua Harian Depinas SOKSI)
Fenomena keruntuhan citra partai politik pernah terjadi pada era Demokrasi Parlementer pasca Pemilu 1955. Ironisnya, pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis itu justru melahirkan kondisi politik yang runyam. Riwayat kabinet pada era parlementer di rentang waktu 1955 hingga 1959 rata-rata ‘berumur pendek’. Kabinet bergonta-ganti hanya dalam usia hitungan bulan. Rekaman atas babak-babak sejarah politik tersebut memastikan satu hal bahwa apabila parpol tidak mampu berbenah diri dan meningkatkan kualitasnya, maka hal itu bakal memicu kegaduhan politik.
Pada era ‘rezim demokrasi parlementer’ antara rentang waktu 1955 sampai 1959, instabilitas politik selalu mewarnai jalannya pemerintahan. Pembangunan semesta berencana yang digagas mendiang Presiden Sukarno pun berjalan tersendat-sendat. Alhasil, mendiang Bung Karno menempuh langkah revolusioner dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membawa Indonesia kembali ke UUD 1945 menggantikan UUD Sementara 1950.
Sebelum mengeluarkan dekrit, Bung Karno menghentak jagat politik nasional melalui pernyataan menyengat yakni “Mari kita kubur partai-partai!”. Keruntuhan citra parpol pada masa itu yang mematangkan kelahiran “golongan fungsionil”, yang di kemudian hari menjadi Golongan Karya (Golkar) seperti kita kenal sekarang. Akibat “politik desukarnoisasi”, maka tidak banyak pihak yang mengetahui bahwa terminologi “karya” dari nama Golongan Karya itu, diusulkan langsung oleh Bung Karno, karena Bung Karno tidak suka aroma kebarat-baratan yang melekat pada istilah “fungsionil”.
Bung Karno sejatinya berperan sentral dalam kelahiran Golkar yang secara resmi dideklarasikan pendiriannya sebagai Sekber Golkar pada 20 Oktober 1964. Bung Karno merupakan tokoh kunci kelahiran Golkar. Melalui Jenderal Ahmad Yani (Menteri Panglima Angkatan Darat/Menpangad), Bung Karno memerintahkan agar beberapa perwira tinggi militer dikaryakan untuk memimpin tiga organisasi pendiri Sekber Golkar, yakni Kolonel Suhardiman untuk memimpin SOKSI, Brigjen Sugandhi untuk memimpin MKGR, dan Kolonel Mas Isman untuk memimpin Kosgoro.
Belajar pada sejarah, sudah semestinya parpol pada masa reformasi sadar untuk melakukan otokritik! Kondisi partisan parpol terhadap hegemoni kekuatan neo-liberalisme harus dilawan dengan semangat kebangsaan. Media massa pun kini sudah mengambil posisi partisan dengan berafiliasi pada parpol-parpol tertentu. Media massa jenis ini tidak akan mencerdaskan bangsa karena informasi yang disiarkan terang-terangan hanya berpihak pada kepentingan kaum kapitalis.
Situasi sekarang ini, dimana media massa ‘berkomplot’ dengan parpol, mirip dengan situasi di era rezim parlementer dahulu, dimana setiap parpol memiliki media partisan sendiri sebagai corong propaganda partai. Sebut saja Harian Suluh Indonesia yang menjadi corong PNI, Koran Abadi dan Majalah Hikmah sebagai corong Partai Masyumi, koran Duta Masyarakat yang menjadi corong NU, Harian Rakjat dan majalah ‘Bintang Merah’ yang menjadi corong PKI. Adapula Harian Pedoman yang condong ke PSI, serta Sinar Bhakti sebagai corong Partai Katolik.
Sekaranglah saatnya parpol, khususnya Partai Golkar, melakukan otokritik secara mendalam. Parpol harus segera membenahi diri dengan menata sistem kaderisasi yang merupakan medium seleksi kepemimpinan pada semua tingkatan. Parpol harus lebih tegas menunjukkan martabatnya sebagai pilar demokrasi, dan tidak tenggelam dalam kubangan pragmatisme ekonomi. Parpol seharusnya menjadi sarana pelayanan bagi rakyat untuk meraih kesejahteraan umum (bonnum comunne), dan bukan sekedar menjadi alat tukar-menukar kepentingan ekonomi belaka. Bahaya besar yang harus dihadapi parpol saat ini adalah penetrasi paham liberalisme ekonomi berbasis kepentingan multy-national coorporation. Liberalisme ekonomi inilah, yang oleh mendiang Bung Karno disebut sebagai penjajahan dalam bentuk baru (neo-kolonialisme/neo-imperialisme).