Mohon tunggu...
Erwin Ricardo Silalahi
Erwin Ricardo Silalahi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga Negara Indonesia

-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bung Karno, Golkar, dan Pergulatan Demokrasi

24 Maret 2016   14:11 Diperbarui: 24 Maret 2016   14:26 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

 Bung Karno, Golkar, dan Pergulatan Demokrasi 

Oleh: Erwin Ricardo Silalahi 

(Ketua Harian Depinas SOKSI)

Fenomena keruntuhan citra partai politik pernah terjadi pada era Demokrasi Parlementer pasca Pemilu 1955. Ironisnya,  pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis itu justru  melahirkan kondisi politik yang runyam. Riwayat kabinet pada era parlementer di rentang waktu 1955 hingga 1959 rata-rata ‘berumur pendek’. Kabinet bergonta-ganti hanya dalam usia hitungan bulan. Rekaman atas babak-babak sejarah  politik tersebut memastikan satu hal bahwa apabila parpol tidak mampu berbenah diri dan meningkatkan kualitasnya, maka hal itu bakal memicu kegaduhan politik.  

Pada era ‘rezim demokrasi parlementer’ antara rentang waktu 1955 sampai 1959, instabilitas politik selalu mewarnai jalannya pemerintahan. Pembangunan semesta berencana yang digagas mendiang Presiden Sukarno pun berjalan tersendat-sendat. Alhasil, mendiang Bung Karno menempuh langkah revolusioner dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membawa Indonesia kembali ke UUD 1945 menggantikan UUD Sementara 1950.  

Sebelum mengeluarkan dekrit, Bung Karno menghentak jagat politik nasional melalui pernyataan menyengat yakni “Mari kita kubur partai-partai!”. Keruntuhan citra parpol pada masa itu yang mematangkan kelahiran “golongan fungsionil”, yang di kemudian hari menjadi Golongan Karya (Golkar) seperti kita kenal sekarang.  Akibat “politik desukarnoisasi”, maka tidak banyak pihak yang mengetahui bahwa terminologi “karya” dari nama Golongan Karya itu, diusulkan langsung oleh Bung Karno,  karena Bung Karno tidak suka aroma kebarat-baratan yang melekat pada istilah “fungsionil”. 

Bung Karno sejatinya berperan sentral dalam kelahiran Golkar yang secara resmi dideklarasikan pendiriannya sebagai Sekber Golkar pada 20 Oktober 1964. Bung Karno merupakan tokoh kunci kelahiran Golkar. Melalui Jenderal Ahmad Yani (Menteri Panglima Angkatan Darat/Menpangad), Bung Karno memerintahkan agar beberapa perwira tinggi militer dikaryakan untuk memimpin tiga organisasi pendiri Sekber Golkar, yakni Kolonel Suhardiman untuk memimpin SOKSI, Brigjen Sugandhi untuk memimpin MKGR, dan Kolonel Mas Isman untuk memimpin Kosgoro. 

Belajar pada sejarah, sudah semestinya parpol pada masa reformasi sadar untuk melakukan otokritik! Kondisi partisan parpol terhadap hegemoni kekuatan neo-liberalisme harus dilawan dengan semangat kebangsaan. Media massa pun kini sudah mengambil posisi partisan dengan berafiliasi pada parpol-parpol tertentu. Media massa jenis ini tidak akan mencerdaskan bangsa  karena informasi yang disiarkan terang-terangan hanya berpihak pada kepentingan kaum kapitalis. 

Situasi sekarang ini, dimana media massa ‘berkomplot’ dengan parpol, mirip dengan situasi di era rezim parlementer dahulu, dimana setiap parpol memiliki media partisan sendiri sebagai corong propaganda partai. Sebut saja Harian Suluh Indonesia yang menjadi corong PNI, Koran Abadi dan Majalah Hikmah sebagai corong Partai Masyumi,  koran Duta Masyarakat yang menjadi corong NU, Harian  Rakjat dan majalah ‘Bintang Merah’ yang menjadi corong PKI. Adapula Harian Pedoman yang condong ke PSI, serta Sinar Bhakti sebagai corong Partai Katolik. 

Sekaranglah saatnya parpol, khususnya Partai Golkar,  melakukan otokritik secara mendalam. Parpol harus segera  membenahi diri dengan menata sistem kaderisasi yang merupakan medium seleksi kepemimpinan pada semua tingkatan. Parpol harus lebih tegas menunjukkan martabatnya sebagai pilar demokrasi, dan tidak tenggelam dalam kubangan pragmatisme ekonomi. Parpol seharusnya menjadi sarana pelayanan bagi rakyat untuk meraih kesejahteraan umum (bonnum comunne), dan bukan sekedar menjadi alat tukar-menukar kepentingan ekonomi belaka. Bahaya besar yang harus dihadapi parpol saat ini adalah penetrasi paham liberalisme ekonomi berbasis kepentingan multy-national coorporation. Liberalisme ekonomi inilah, yang oleh mendiang Bung Karno disebut sebagai penjajahan dalam bentuk baru (neo-kolonialisme/neo-imperialisme).

Kondisi parpol saat ini sungguh mengkuatirkan akibat tingginya krisis kepercayaan publik. Dengan kata lain, tingkat kepercayaan publik terhadap parpol saat ini ibarat terjun bebas ke titik nol. Beberapa hasil survei publik menunjukkan bahwa terdapat dua lembaga yang paling tidak dipercaya publik, yakni DPR dan Parpol. Tidak usah heran, mengingat relasi parlemen dan parpol ibarat dua sisi dari sekepeing mata uang. Lantaran parpol mengkatrol kader-kader karbitan yang tidak kapabel dan tidak kompeten untuk masuk ke lembaga parlemen,  maka kualitas parlemen pun merosot drastis.  

Tidak ada pilihan lain, parpol harus berbenah diri! Parpol jangan membiarkan bertumbuhnya praktek politik kotor seperti keharusan menyerahkan ‘mahar politik’ untuk momentum seleksi kepemimpinan politik misalnya pada pilkada, pemilu legislatif, dan pilpres. Praktek mahar politik akan membawa akibat buruk pada kualitas dan citra parpol sendiri. Mahar politik hanya akan membebani kader-kader yang sedang memangku suatu jabatan, yang pada akhirnya menyalahgunakan jabatannya untuk membayar mahar politik yang telah terlanjur dikeluarkan.

Merespons situasi dan kondisi politik terkini yang semakin mengancam citra dan eksistensi parpol, maka tidak pilihan lain bagi Partai Golkar untuk sesegera mungkin menata kembali sistem kaderisasinya! Dengan begitu, Golkar akan kembali melahirkan kader-kader bangsa yang berkualitas, berintegritas, dan berkarakter paripurna, yakni melalui penjenjangan kaderisasi yang benar dan konsisten! Golkar harus menghindarkan dirinya dari praktek politik kotor dan aksi tipu-tipu, yang hanya menghasilkan ‘pemimpin karbitan’, seperti pada kasus terkini yakni tertanggapnya Bupati Ogan Ilir oleh BNN akibat mengonsumsi narkoba! 

Di masa lalu, Golkar pernah memiliki sistem kaderisasi berkualitas termasuk dalam hal seleksi kepemimpinan politik secara ketat. Selain itu, Golkar pun pernah dengan sangat baik memelihara suasana kebatinan praktek demokrasi Pancasila yang berbasis musyawarah-mufakat. Pada masa itu, potensi-potensi kader dari lintas-jalur diteliti dengan seksama rekam jejaknya, diseleksi secara ketat demi memperoleh pilihan terbaik untuk ditampilkan sebagai calon kepala daerah, atau pada pos-pos politik lainnya. Di tengah karut-marut politik nasional sekarang ini, sudah semestinya Golkar mampu menemukan momentum untuk membuat titik balik sebagai partai kader  yang paling siap menghadapi berbagai tantangan kebangsaan dan pergulatan demokrasi.  

Kembali ke UUD 1945

Merespons praktek politik di negeri ini yang semakin menjauh dari cita-cita Para Pendiri Bangsa (The Founding Fathers), Partai Golkar harus mengambil posisi proaktif sebagai partai yang melakukan transformasi politik sesuai jiwa konstitus UUD 1945, yang bernuansa musyawarah-mufakat. Bila dicermati secara seksama, saat ini proses demokrasi telah dan sedang dibajak oleh kepentingan neo-liberalisme dan kapitalisme global. 

Mencermati situasi dan kondisi politk-ekonomi hari-hari ini, Golkar harus menjadi kekuatan di garda terdepan untuk mengembalikan kedaulatan bangsa Indonesia dalam konteks praksis konstitusi negara. Golkar mesti membangun sinergi dengan  partai-partai nasionalis dan partai-partai berbasis keagamaan, untuk melawan penetrasi dan hegemoni multynational corporation yang merupakan perpanjangan tangan neo-liberalisme dan kapitalisme global. 

Saat ini, kedaulatan wilayah NKRI sedang tercengkeram dalam hegemoni kepentingan neo-liberalisme/kapitalisme global, yang cenderung sudah menguasai kedaulatan wilayah udara, tanah, dan air. Padahal, UUD 1945 mengamanatkan bahwa semua sumberdaya alam Indonesia itu dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kita patut sesalkan karena begitu banyak pasal UUD 1945 diamandemen, dan inilah yang justru menjadi ‘pintu gerbang’ bagi penetrasi kepentingan neo-liberalisme/kapitalisme global melalui multy-national coorporation. 

Salah satu contoh kasus terkini adalah kontroversi penggunaan aplikasi online yang telah memicu kerusuhan horisontal diantara para sopir taxi dan angkutan umum. Ini menjadi bukti bahwa bangsa ini mulai kehilangan kedaulatan ekonomi karena semuanya diserahkan kepada logika kekuatan pasar! Sebagai bangsa besar yang berdaulat, kita harus dengan sekuat tenaga dan bergandengan tangan untuk menjaga kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya kita sendiri. Kini saatnya kepemimpinan nasional kita, di bawah dirigen utama Presiden Jokowi mesti melakukan penggalangan kekuatan nasional untuk menghadapi hegemoni kekuatan asing. Meminjam idiom yang sering diteriakkan oleh Bung Karno yakni “samenbundeling van alle revolusionaire krachten!”

Regulasi ekonomi nasional kita tampaknya mulai menjauh, dan bahkan bertentangan dengan cita-cita dasar Para Pendiri Bangsa.  Adapun penetrasi dan hegemoni kekuatan neo-liberalisme/kapitalisme global itu bermula di awal era reformasi. Nafsu dan euforia para wakil rakyat yang duduk di Panitia Ad-Hoc (PAH) MPR pada saat itu, telah membuat UUD 1945 diamandemen secara kebablasan. Para Anggota PAH-MPR waktu itu dapat dianggap telah kehilangan visi dan watak kenegarawanan. Amandemen UUD 1945 sebenarnya hanya cukup menyentuh soal pembatasan jabatan presiden dan mekanisme pemilu, sehingga tidak merusak roh kebangsaan dari UUD 1945.  

Terkait status pasal-pasal hasil amandemen, seharusnya pasal-pasal itu diposisikan sebagai sebatas “lampiran” dari teks asli UUD 1945, dan bukan diletakkan sama-sejajar dengan pasal-pasal yang sudah disusun oleh Para Pendiri Bangsa. Kalau dibuat perbandingan sederhana dengan tatanan organisasi kemasyarakatan, maka pasal hasil amandemen itu posisinya ibarat Anggaran Rumah Tangga, yang merupakan keterangan tambahan dan  bersifat teknis dari posisi Anggaran Dasar. 

Dalam konteks kekinian, sudah waktunya bagi Golkar untuk melakukan tindakan penyelamatan konstitusi, sebelum ancaman disintegrasi nasional benar-benar terjadi.  Apabila negara ini mengalami kondisi yang semakin runyam dari praktek ketatanegaraan, maka Golkar harus berani membangun aliansi strategis dengan partai-partai berbasis ideologi kebangsaan diantaranya dengan PDI-Perjuangan, untuk kemudian bersama-sama mengawal jalannya konstitusi negara  secara murni dan konsekuen. Partai Golkar harus membuka jalan untuk kembali kepada UUD 1945, dengan hanya melakukan “amandemen terbatas” yakni pada pasal menyangkut yang masa jabatan presiden, mekanisme pemilihan presiden dan sistem pemilu!

Kendati sisa-sisa persoalan internal masih membelenggu Golkar pasca turunnya kasasi Mahkamah Agung, namun masalah internal itu tidak harus membuat Golkar kehilangan sensitivitas atas kehidupan ketatanegaraan kita.  Sungguh patut disesalkan mengapa MA harus mengeluarkan kasasi, pada saat Golkar justru sedang melakoni proses rekonsiliasi internal. Banyak kalangan memandang kasasi MA dengan sikap nyinyir, karena MA dianggap telah terjebak dalam politisasi hukum atas konflik Golkar. Padahal, di atas hirarki keputusan lembaga peradilan, terdapat “etika dan moral hukum” yang kedudukan filosofisnya lebih tinggi dari keputusan hukum formil.

Terlepas dari pro-kontra kasasi MA, umumnya kader-kader Golkar meyakini bahwa dua tokoh utama Golkar saat ini, Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono (AL) tidak akan mempertaruhkan kredibilitasnya dengan membiarkan Golkar  terpuruk lagi. ARB dan  AL, diyakini tetap mengawal rencana pelaksanaan Munaslub Golkar.  ARB dan AL diyakini mampu mengawal Golkar demi merebut kembali kebangkitan dan kejayaan Golkar.  Tidaklah berlebihan dikatakan bahwa hitam-putihnya Golkar di masa depan, yang akan ikut mempengaruhi hitam-putihnya sejarah politik bangsa ini, turut ditentukan pula oleh sikap kenegarawanan dari ARB dan AL. ***  

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun