Dari bermacam hal yang sudah dituliskan di atas, sebetulnya yang menjadi permasalahan masyarakat Indonesia bukanlah tidak memiliki tata krama. Kita tahu leluhur telah mengajarkan hal-hal bajik.Â
Masyarakat Indonesia hanya tidak memahami apa itu literasi digital sehingga dala, berselancar di media sosial selama ini membuat suasana media sosial busung norma. Kita yang memiliki akses media sosial hanya bermain seperti kebanyakan orang lainnya.
Kita tentu mengetahui cara mengelola alat-alat komunikasi (baca media sosial), mulai dari melihat, menikmati, dan membagikan berbagai informasi. Bahkan kita mampu merespon balik setiap yang tersaji di media sosial. Tetapi semua yang kita lakukan di luar pola literasi digital.
Literasi digital, menurut Literasi Digital (Gerakan Literasi Nasional), merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dalam literasi digital, seorang pengguna dituntut untuk menyeimbangkan sosial emosi yang dimiliki dalam tiap menanggapi konten yang disaksikan.
Namun di lapangan, masyarakat Indonesia cenderung mengedepankan sosial emosi sehingga memunculkan argumen yang berujung kepada hoaks, ujaran kebencian, dan tindak kejahatan digital lainnya. Dalam langkah inilah polisi virtual hadir. Melihat kekosongan tersebut.
Kendati kehadiran polisi virtual tidak serta-merta menyelamatkan masyarakat Indonesia dari buruknya bermedia sosial. Langkah-langkah polisi virtual sebetulnya kurang tepat jika hanya melihat dan menelusuri dan memproses konten-konten yang melanggar UU ITE. Kesan yang timbul di masyarakat bisa saja semacam ketakutan berargumen bahkan meninggalkan beberapa media sosial yang secara resmi diawasi polisi virtual.
Maka, selain menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo RI), Kepolisian Republik Indonesia, dalam hal ini khususnya polisi virtual tidak salah menggaet para pegiat literasi yang bergerak dalam bidang digital.Â
Bahkan negara juga bisa menggaet Taman Baca Masyarakat, pegiat perpustakaan daerah, pemuda literasi Indonesia, para duta baca, duta bahasa, dsb. Sehingga di luar penemuan kasus-kasus, polisi virtual bisa mengajak masyarakat untuk melihat apa dan bagaimana baiknya bermedia sosial. Batas-batas yang harus dipatuhi.
Memang sebetulnya melalui UU ITE, kita bisa melihat batasan-batasan tersebut. Namun sebagaimana yang kita ketahui, di samping UU ITE yang cenderung bermasalah, bahasa undang-undang begitu rumit.
Akses mendapatkan UU ITE memang mudah, tetapi semuanya menjadi sia-sia bila kecakapan masyarakat awam terhadap menganalisis bahasa minim.