Mohon tunggu...
Sagita Nurcahya
Sagita Nurcahya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Akuntansi

Belajar untuk menjadi lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menggugat Polisi Virtual dalam Literasi Digital

28 September 2021   22:15 Diperbarui: 28 September 2021   22:20 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika dibenturkan sebuah pertanyaan ada berapa jenis literasi—pertanyaan yang paling fundamental—masyarakat awam mungkin terbungkam, tak mampu menjawab lantaran tak mengenal apa itu literasi atau juga ada yang mampu menjawab, namun paling tidak hanya menyebutkan: baca dan tulis. Bahkan pengertian literasi secara etimologis saja banyak yang terbata-bata menjelaskan.

Di samping itu, para pegiat literasi tidak lelah-lelahnya membuat acara penyuluhan. Bahkan di waktu pagebluk saat ini, pegiat literasi tidak kehabisan jalan kebaikan untuk berada di tengah-tengah awam dalam menyebarkan apa itu literasi. Google Meet, Zoom, dan media-media virtual lainnya digalakkan semaksimal mungkin. Tetapi langkah-langkah tersebut belum menemukan tingkat capaian yang cukup gemilang. Lantas apakah usaha tersebut sia-sia?

Per tanggal 24 Februari lalu, Kepolisian Republik Indonesia menerbitkan kesatuan untuk menjaga iklim media sosial di Indonesia menjadi lebih harmonis. Singkatnya, Kepolisian Republik Indonesia ingin mengurangi tingkat ujaran kebencian, hoaks, dan tindak kejahatan lainnya yang menggunakan media sosial sebagai alat tindak kejahatan. Adalah polisi virtual nama instansi tersebut.

Polisi virtual, demi meningkatkan kinerja, juga melakukan kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo RI). Tugas pokok polisi virtual memberikan edukasi kepada masyarakat terkait UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Edukasi ini tentunya bersifat menengahi antara pelaku pelanggaran UU ITE dan korban.

Sistematis yang diterapkan polisi virtual pertama-tama melakukan penelusuran unggahan-unggahan, baik itu berbentuk komentar atau konten video, yang terindikasi melanggar UU ITE. 

Unggahan-unggahan tersebut diperiksa dari segi forensik bahasa. Jika unggahan mengandung pelanggaran UU ITE, pengunggah akan dikirimkan pesan peringatan pribadi oleh polisi virtual. Bila pengunggah tidak menghapus unggahan tersebut, polisi virtual kemudian bergerak menangkap terduga.

Di samping menghindari tindakan-tindakan menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan tindak kejahatan lainnya, polisi virtual secara tidak langsung hadir untuk mengembalikan citra masyarakat Indonesia yang beberapa waktu lalu digolongkan amoral dalam bermedia sosial.  

Menurut laporan Civility Index (DCI), badan yang juga bergerak dalam tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya, menunjukkan warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara.

Bisa dikatakan, warganet atau netizen Indonesia paling tidak sopan atau amoral se-Asia Tenggara. Riset yang dikemukakan Microsoft tersebut memiliki kriteria bahwa semakin besar angka yang didapat sebuah negara, maka semakin buruk capaian yang didapat. 

Hasil riset Microsoft menunjukkan tingkat kesopanan netizen Indonesia merosot delapan poin, yang semula di angka 68 menjadi 76. Survei tersebut telah diprakasai hampir tahun kelima, dengan mengambil dan mengamati sekitar 16.000 responden di 32 wilayah, yang diselesaikan selama kurun waktu bulan April hingga Mei 2020.

Literasi Digital

Dari bermacam hal yang sudah dituliskan di atas, sebetulnya yang menjadi permasalahan masyarakat Indonesia bukanlah tidak memiliki tata krama. Kita tahu leluhur telah mengajarkan hal-hal bajik. 

Masyarakat Indonesia hanya tidak memahami apa itu literasi digital sehingga dala, berselancar di media sosial selama ini membuat suasana media sosial busung norma. Kita yang memiliki akses media sosial hanya bermain seperti kebanyakan orang lainnya.

Kita tentu mengetahui cara mengelola alat-alat komunikasi (baca media sosial), mulai dari melihat, menikmati, dan membagikan berbagai informasi. Bahkan kita mampu merespon balik setiap yang tersaji di media sosial. Tetapi semua yang kita lakukan di luar pola literasi digital.

Literasi digital, menurut Literasi Digital (Gerakan Literasi Nasional), merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. 

Dalam literasi digital, seorang pengguna dituntut untuk menyeimbangkan sosial emosi yang dimiliki dalam tiap menanggapi konten yang disaksikan.

Namun di lapangan, masyarakat Indonesia cenderung mengedepankan sosial emosi sehingga memunculkan argumen yang berujung kepada hoaks, ujaran kebencian, dan tindak kejahatan digital lainnya. Dalam langkah inilah polisi virtual hadir. Melihat kekosongan tersebut.

Kendati kehadiran polisi virtual tidak serta-merta menyelamatkan masyarakat Indonesia dari buruknya bermedia sosial. Langkah-langkah polisi virtual sebetulnya kurang tepat jika hanya melihat dan menelusuri dan memproses konten-konten yang melanggar UU ITE. Kesan yang timbul di masyarakat bisa saja semacam ketakutan berargumen bahkan meninggalkan beberapa media sosial yang secara resmi diawasi polisi virtual.

Maka, selain menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo RI), Kepolisian Republik Indonesia, dalam hal ini khususnya polisi virtual tidak salah menggaet para pegiat literasi yang bergerak dalam bidang digital. 

Bahkan negara juga bisa menggaet Taman Baca Masyarakat, pegiat perpustakaan daerah, pemuda literasi Indonesia, para duta baca, duta bahasa, dsb. Sehingga di luar penemuan kasus-kasus, polisi virtual bisa mengajak masyarakat untuk melihat apa dan bagaimana baiknya bermedia sosial. Batas-batas yang harus dipatuhi.

Memang sebetulnya melalui UU ITE, kita bisa melihat batasan-batasan tersebut. Namun sebagaimana yang kita ketahui, di samping UU ITE yang cenderung bermasalah, bahasa undang-undang begitu rumit.

Akses mendapatkan UU ITE memang mudah, tetapi semuanya menjadi sia-sia bila kecakapan masyarakat awam terhadap menganalisis bahasa minim.

Pergelaran-pergelaran diskusi literasi setidaknya bermanfaat untuk mengenalkan kepada awam mengenai literasi digital. Atau menggalakkan kegiatan bengkel literasi digital, anekdot dari bengkel sastra, yang didalamnya akan membedah maksud, tujuan, manfaat, dan batasan dari literasi. 

Maka, seperti kasus mengalisis bahasa yang minim dapat diselesaikan dengan pedagogik duta bahasa. Mengomentari setiap konten di media sosial bisa tercerahkan oleh duta baca, yang menelisik baik-baik pembacaan sebelum berkomentar. 

Dan mungkin saja, ketika kelak polisi virtual menggaet instasi atau perseorangan yang dituliskan di atas, masyarakat awam akan dengan mudah menyebutkan jenis-jenis literasi, tak terbata-bata menjelaskan secara etimologis literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun