Mohon tunggu...
Safrida Lubis
Safrida Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar kehidupan

guru fisika pada sma negeri di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setumpuk Mujahir

3 April 2016   10:40 Diperbarui: 3 April 2016   11:05 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waffa series_1

"Wah. Sepertinya ban belakang kempes nih." Perempuan berjilbab coklat itu turun sambil melihat ban sepeda motor kesayangan suaminya. Betapa tidak, sepeda motor butut itu dibelinya dengan hasil jerih payah sendiri puluhan tahun yang lalu.

"Iya, nih. Pagi begini dimana kita bisa minta tolong untuk memperbaikinya." Sahut Abu Waffa.

Matahari baru sejengkal meninggi. Sepagi ini memang belum ada yang membuka bengkelnya, terlebih lagi dihari minggu seperti ini dan dalam kampung dengan sawah di kanan kirinya.

Walau begitu Ummi Waffa tetap membantu suaminya menurunkan belanjaan yang dibelinya di pasar subuh tadi.

Setelah celinguk sana sini, akhirnya lewat sebuah sepeda motor.

"Hai, Tengku. Itu pemilik bengkel sebelah jalan." Teriak orang kampung disebuah warung kopi.

"Alhamdulillah." Syukur Abu Waffa.

"Tengku. Bantu saya sebentar saja." Pinta Abu Waffa.

"O, iya. Tapi saya mau ke sawah nih. Yah apa boleh buat, rezeki tidak bisa ditolak." Dengan segera, tangan cekatannya membereskan ban yang telah kehilangan angin itu.

"Terima kasih banyak atas bantuannya, Tengku."

Senyum menggores di bibir kedua laki-laki yang disinari matahari pagi itu.

Sepeda motor kembali mulus berjalan di atas aspal kampung yang telah bagus untuk ukuran masyarakat desa.

 

"Abang, berhenti sebentar!" Pinta Ummi Waffa. Perempuan paruh baya itu menepuk pundak suaminya tergesa. Hati kecilnya berbunga saat melihat sosok penghuni air tersebut.

Terlintas perasaan senang yang mengalir dari matanya saat melihat suapan demi suapan jari kecil Waffa mencubit sosok penghuni air yang sangat dikenalnya. Yah, ikan, merupakan salah satu penghuni air kegemaran Waffa selain udang.

Biasanya, walau hanya seekor ikan goreng akan tetapi, dijamin Waffa akan lahap menghabiskan butiran nasi diatas piring yang telah diletakkan Ummi Waffa sambil duduk bersila.

Yah, ikan goreng itu harus ikan mujahir, ikan kesukaannya.

Melihat tumpukan ikan mujahir itu, Ummi Waffa menyunggingkan senyuman, pasti Waffa akan senang nanti, pikir perempuan itu.

Sepeda motor yang mereka kendarai berputar haluan. Menyusuri jalan yang telah dilalui dari arah berlawanan.

Senyum juga menghias di bibir Abu Waffa. "O, ikan untuk anak Agam ya."

"Iya." Jawab perempuan itu sambil tersenyum.

Agam, itulah panggilan mesra Waffa dirumah, yang bermakna anak laki-laki.

Perasaan senang membuncah dihati perempuan itu.Akan tetapi perasaan yang membuncah itu hampir melahap hati dan menjalar ke jantung Ummi Waffa, manakala terbersit tanya akankah perasaan itu juga mampu dirasakan oleh Waffa, buah hatinya kelak?

Saat dimana kejayaan kesehatan, materi, sekumpulan teman dari berbagai kalangan, istri yang menarik dan sekarung rahmat kehidupan menjadi milik Waffa, akankah Ia memiliki waktu untuk berbalik arah sejenak dan berpikir 'Oh, itu kesukaan Ummi' serta berusaha memutar haluan langkah atau kendaraannya demi hal tersebut?

"Ah." Desah Ummi Waffa parau. Segera ditepisnya kebenaran yang boleh terjadi boleh juga tidak itu. Tapi yang pasti, apabila masa itu sampai, untuk puluhan tahun kedepan, yang pasti sosok Ummi Waffa dan Abu Waffa akan menuai usia yang senja juga.

Sepeda motor kembali menikung di jalan hitam. Perempuan berjilbab itu kembali mengeratkan genggaman tangannya pada pinggang sang suami.

Angin segar pagi di kampung menerpa sekujur kulit yang tidak tertutupi kain. Damai terasa.

## 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun