Tak ingin ia hanya berhenti di SMA, kedua kakaknya kini sedang kuliah, satu di Padang dan satu lagi di Sulawaesi. Ia harus menunggu hingga kakaknya tamat kuliah, mungkin tahun depan.Â
Ayahnya? Apa saja akan dilakukan untuk anaknya bisa bersekolah, menjual seluruh ternak babi yang mereka miliki. Begitulah warga Salappa' ketika anak ingin bersekolah, orang tua akan mendukung, tak peduli bagaimanapun, meski harus menjual seluruh ternak yang dimiliki.Â
Mereka memang tinggal di hulu sungai, mereka harus menunggu arus sungai cukup untuk bisa ke Muara, namun mereka tak mau juga jika Sungai menjadi berlebih, banjir akan siap menghantam desa mereka.Â
Anak - anak yang cerdas dan hangat, cerita - cerita tentang Mentawai yang tersebar di segala mesin pencari, yang dibilang canggih itu, tak ada satupun yang mampu menyampaikan betapa hangatnya mereka.Â
Kisah tentang Mentawai yang memakan daging manusia atau saling bunuh hanya menjadi satu masa lalu. Hanya melihat orang - orang yang tanpa peduli asal usul tamunya, menyambut dengan hangat.Â
Merajut Salappa' yang ada dalam impian mereka; terdapat tanggul yang menghalau banjir, memiliki SMA di dusun hingga tak perlu meninggalkan rumah, bermain di lapangan bola dan mimpi - mimpi lain yang kami yakini suatu saat akan terwujud, berkat tekad dan keyakinan anak - anak Salappa'.
Tiga hari sudah sangat cukup untuk mencipta kasih dengan Salappa' namun cerita ini tak akan cukup untuk menceritakan kembali bagaimana kasih sayang itu terwujud. Dari tangan - tangan kecil yang menggandeng ketika berjalan ke sekolah, tentang peluk hangat seluruh warga, mereka yang mengiringi kembalinya kami ke kota dengan air mata, bahkan beberapa lelaki Salappa', dengan rahang pipi yang tegas, tubuh yang tegap, tak sanggup melihat sebuah perpisahan, memilih untuk memalingkan muka dan tak bertatap pada wajah tak ingin berpisah.