Ladang, Ladang adalah hidup mereka, makanan sehari - hari tergantung pada hasil ladang, hasil ladang yang hari itu menghasilkan, itulah yang menjadi makanan mereka hari itu.Â
"Biaya untuk ke Muara, bensinnya lebih mahal dari pada harga jual hasil Ladang"
Ladang bagi mereka bukanlah sebidang tanah yang ada di pekarangan, Ladang terletak di sisin lain. Saya melihat betapa tertatanya tata letak dusun mereka. Satu wilayah untuk tempat tinggal mereka, satu wilayah lain untuk ladang, dan satu wilayah lain untuk ternak babi. Salappa' bertahan dan terus melanjutkan kehidupan mereka. Dengan asa yang terus mereka pupuk, dengan doa yang terpanjat.Â
Salappa' sebuah dusun yang mungkin tak seterkenal tatto Mentawai, Salappa' yang justru di dalamnya telah hidup cerita dan perjalanan Mentawai. Ketika perlahan masyarakat berharap untuk sebuah kemajuan, untuk setitik harapan. Mereka tak ingin tertinggal. Mereka ingin anak - anak mereka mendapatkan pendidikan, mereka ingin hasil ladang mereka bisa terjual.Â
Harapan - harapan dalam doa terpanjat, ketika para pemuda tak lagi tergugah dengan tatto Mentawai, Sikerei yang jumlahnya tak lagi seperti dulu. Diam - diam saya berharap, Salappa' tetap menjadi Mentawai, tak kehilangan jati diri mereka sebagai seorang Mentawai.
Salappa' selayaknya mimpi yang telah dirajut oleh anak-anak, mimpi yang diukir menjadi nyata. Salappa' yang memiliki sekolah hingga jenjang SMA, Salappa' Â yang memiliki tanggul penahan banjir dan hasil ladang yang bisa dibawa ke Muara untuk dijual.
Pesan yang disampaikan kepada kamiÂ
"Tolong kenalkan Salappa' dan kami ingin mendapatkan hak yang sama, setidaknya akses ke Muara."
Ya, Salappa', Muntei, Siberut Selatan, Mentawai, Sumatra Barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H