Butuh waktu sekitar empat jam untuk bisa bertemu dengan Muara, atau jika alam sedang berpihak, tiga jam sudah cukup. Mereka menyebutnya Muara, sebuah pusat kehidupan bagi warga Salappa'. Muara adalah pintu awal sebelum mencapai desa ini. Di Siberut Selatan, tepatnya Desa Muntei terdapat Delapan Dusun yang tersebar di sepanjang Hulu Sungai, ya salah satunya adalah Dusun Salappa'.Â
Antar Dusun bisa ditempuh dengan menyusuri Sungai menggunakan Pong Pong (semacam kapal kecil) atau dengan Jalan kaki menyusuri hutan dan perbukitan. Untuk orang yang sudah bergantung hidupnya pada kemudahan transportasi, Pong Pong adalah satu - satunya pilihan menuju ke Salappa' mau tak mau, suka tak suka. Satu Pong Pong diisi dengan lima hingga enam orang, mempertimbangkan ukuran badan para penumpang agar Pong Pong bisa stabil.Â
Perjalanan kala itu terasa lama, ada beban yang di bawa, ada tanggung jawab yang harus diwujudkan, air sungai yang kala itu surut, Pong Pong yang sempat macet, mungkin Salappa' sedang menguji keyakinan kami, mungkin Salappa' sedang memastikan bahwa kami, manusia - manusia yang hanya bermodal cerita tentang Mentawai, akan menjadi bagian dari Salappa'.
Empat jam, atau bahkan lebih, dengan pong pong yang sempat tersendat, empat jam itu, mengenal Mentawai dari sudut yang lain. Pertama kali mendengar Mentawai tentunya Tatto tertua di dunia atau Sikerei yang tersohor, dengan mengenakan pakaian adat Mentawai dan Tatto di seluruh badan.Â
Pada kenyataannya, Sikerei di Salappa' sudah tak lagi mengenakan pakaian adat, mereka seperti masyarakat biasa, warga masih datang ke Sikerei ketika mereka sakit. Bukan seluruh kesakitan yang disembuhkan oleh Sikerei, Sikerei mengobati apabila ada warga yang sedang dipinjam ruh nya oleh para leluhur.Â
"Di Sungai ini banyak buaya kah?"
"Ohh sudah tidak ada buaya, tapi kalau roh buaya masih banyak tentunya."
Konon, dahulu kala di sungai itu memang banyak buaya, namun suatu hari buaya tersebut menghilang. Menurut kepercayaan Suku Mentawai, Roh Buaya masih ada dan akan tetap ada. Sama halnya dengan ruh leluhur.Â
Seorang anak lelaki yang menemani ayahnya untuk mengemudi pong pong
"Kakak tidak capek? Saya aja capek"
Tak ingin ia hanya berhenti di SMA, kedua kakaknya kini sedang kuliah, satu di Padang dan satu lagi di Sulawaesi. Ia harus menunggu hingga kakaknya tamat kuliah, mungkin tahun depan.Â
Ayahnya? Apa saja akan dilakukan untuk anaknya bisa bersekolah, menjual seluruh ternak babi yang mereka miliki. Begitulah warga Salappa' ketika anak ingin bersekolah, orang tua akan mendukung, tak peduli bagaimanapun, meski harus menjual seluruh ternak yang dimiliki.Â
Mereka memang tinggal di hulu sungai, mereka harus menunggu arus sungai cukup untuk bisa ke Muara, namun mereka tak mau juga jika Sungai menjadi berlebih, banjir akan siap menghantam desa mereka.Â
Anak - anak yang cerdas dan hangat, cerita - cerita tentang Mentawai yang tersebar di segala mesin pencari, yang dibilang canggih itu, tak ada satupun yang mampu menyampaikan betapa hangatnya mereka.Â
Kisah tentang Mentawai yang memakan daging manusia atau saling bunuh hanya menjadi satu masa lalu. Hanya melihat orang - orang yang tanpa peduli asal usul tamunya, menyambut dengan hangat.Â
Merajut Salappa' yang ada dalam impian mereka; terdapat tanggul yang menghalau banjir, memiliki SMA di dusun hingga tak perlu meninggalkan rumah, bermain di lapangan bola dan mimpi - mimpi lain yang kami yakini suatu saat akan terwujud, berkat tekad dan keyakinan anak - anak Salappa'.
Tiga hari sudah sangat cukup untuk mencipta kasih dengan Salappa' namun cerita ini tak akan cukup untuk menceritakan kembali bagaimana kasih sayang itu terwujud. Dari tangan - tangan kecil yang menggandeng ketika berjalan ke sekolah, tentang peluk hangat seluruh warga, mereka yang mengiringi kembalinya kami ke kota dengan air mata, bahkan beberapa lelaki Salappa', dengan rahang pipi yang tegas, tubuh yang tegap, tak sanggup melihat sebuah perpisahan, memilih untuk memalingkan muka dan tak bertatap pada wajah tak ingin berpisah.
Ladang, Ladang adalah hidup mereka, makanan sehari - hari tergantung pada hasil ladang, hasil ladang yang hari itu menghasilkan, itulah yang menjadi makanan mereka hari itu.Â
"Biaya untuk ke Muara, bensinnya lebih mahal dari pada harga jual hasil Ladang"
Ladang bagi mereka bukanlah sebidang tanah yang ada di pekarangan, Ladang terletak di sisin lain. Saya melihat betapa tertatanya tata letak dusun mereka. Satu wilayah untuk tempat tinggal mereka, satu wilayah lain untuk ladang, dan satu wilayah lain untuk ternak babi. Salappa' bertahan dan terus melanjutkan kehidupan mereka. Dengan asa yang terus mereka pupuk, dengan doa yang terpanjat.Â
Salappa' sebuah dusun yang mungkin tak seterkenal tatto Mentawai, Salappa' yang justru di dalamnya telah hidup cerita dan perjalanan Mentawai. Ketika perlahan masyarakat berharap untuk sebuah kemajuan, untuk setitik harapan. Mereka tak ingin tertinggal. Mereka ingin anak - anak mereka mendapatkan pendidikan, mereka ingin hasil ladang mereka bisa terjual.Â
Harapan - harapan dalam doa terpanjat, ketika para pemuda tak lagi tergugah dengan tatto Mentawai, Sikerei yang jumlahnya tak lagi seperti dulu. Diam - diam saya berharap, Salappa' tetap menjadi Mentawai, tak kehilangan jati diri mereka sebagai seorang Mentawai.
Salappa' selayaknya mimpi yang telah dirajut oleh anak-anak, mimpi yang diukir menjadi nyata. Salappa' yang memiliki sekolah hingga jenjang SMA, Salappa' Â yang memiliki tanggul penahan banjir dan hasil ladang yang bisa dibawa ke Muara untuk dijual.
Pesan yang disampaikan kepada kamiÂ
"Tolong kenalkan Salappa' dan kami ingin mendapatkan hak yang sama, setidaknya akses ke Muara."
Ya, Salappa', Muntei, Siberut Selatan, Mentawai, Sumatra Barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H