WA
Cerpen : Saeran Samsidi
WA? Ya, singkatan nama. Kini lagi ngetren singkatan nama, khususnya nama para pemimpin negeri atau para pejabat atau para pesohor. Jokowi misalnya, singkatan nama yang paling top. Yah, jelaslah pemimpin negeri, presiden. Ada pula  PS kompentitornya. Sebelum Jokowi ada SBY. Ada juga yang  maunya dipangil BTP.  Kemudian ada ADP pengganti BTP yang keluar masuk. Pokoknya ramai, dah.Â
Lha, WA? Oooh ... Waluyo Aji, tokoh muda yang lagi ngorbit. Kini tengah menjabat sebagai pimpinan. Jabatan yang banyak diemohi oleh orang-orang, tapi kalau sudah menjabat kepenginnya menjabat terus. Entah apa, kelihatannya jadi bangga dan terhormat.
"Sugeng enjang Pak RT ..." salah seorang ibu yang hendak pergi ke pasar menyapa. Yang disapa nyrunthul terus tetap berjalan. Setelah melewati ibu yang menyapa buru-buru menoleh, "Eh ... nggih ... nggih sugeng enjang!" lalu terus berjalan.
Suatu ketika ada orang berboncengan motor berhenti di gang. Seorang gadis remaja lewat dan dihentikan oleh si pengendara motor. Motor masih hidup yang membonceng seorang ibu-ibu masih ngampel lalu bertanya, "Mbak .. Mbak ... rumahnya Pak RT mana, ya?"
"Oooo Pak RT? Terus saja jalan lalu belok kiri, ada brug, lurus. Rumahnya bercat hijau di perempatan madhep ngidul ada garasi mobil" gadis itu ramah menjelaskan letak rumah Pak RT.
Pengendara motor itu lalu ngegas motor, manthuk terus menuju arah yang dijelaskan. Jadi ketua RT memang seperti orang penting. Selalu disapa orang kalau bertemu dan dicari yang membutuhkan. Ada yang ngurus surat keterangan, menanyakan sesuatu persoalan, ataupun diundang kenduren. Pak RT adalah orang penting di suatu wilayah pemerintahan yang terkecil di negeri ini.
Suatu pagi, Ida tersenyum sendiri ketika ia membuka wa di hp-nya.  Begitu bangun  tidur pagi hari, langsung gragapan mencari HP. Uthak-uthik meneruskan wa-an semalam. Pagi itu rasanya malas sekali sebab ia tinggal sendiri di rumah. Sudah beberapa hari suaminya, sopir boks  ngantar barang  yang memerlukan beberapa hari ke luar kota.
"Da, kesepian, ya? Jan melasi temen,ya" isi wa dibacanya pagi itu. Ia malas masak. Siapa yang mau makan? Anak belum punya, walau sudah lima tahun menjadi istrinya Kang Karno. Lalu ia memencet-mencet hp untuk membalas,"Iya. Kenang apa? Arep mbatiri apa?" HP Â dimatikan, ia akan pergi ke warung Mbak Bad untuk beli rames dan gorengan buat sarapan.
Mbak Ida begitu ia dipanggil orang-orang di sekitarnya. Namanya Zubaidah, anak bontot Uwa Lihun, Rama biyunge sudah meninggal dan saudara-saudaranya merantau semua meninggalkan kampung halaman. Ida memang lenjeh sejak kecil suka jowal-jawil, maklum anak bungsu tinggal sendiri merawat ayahnya sampai berpulang.