"Busana muslimat salah satunya adalah memakai jilbab untuk menutup aurat. Itu lho, kaya ibu dan mbayumu itu" kata ibu mertua menjelaskan. Aku terdiam, hanya menjawab lirih, "Nggih ... Bu"
Sejak itu aku pun mulai mengenakan busana muslimat. Pakai hijab lengkap dengan baju longgar ombrong-ombrong kalau pergi kerja dan bepergian. Tapi, aku belum bisa pakai busana muslimat dalam hidup keseharian di rumah mertuaku. Paling-paling mengenakan jilbab untuk menutup rambut. Demikian pula saat aku berkunjung ke rumah ibu bapakku aku lepas busana itu. Kecuali bila berkunjung dengan suamiku. Ayah ibu dan keluargaku bisa memakluminya.
Suatu hari ketika aku ikut membantu ibu masak karena catering ibuku mendapat borongan kosumsi panitia perayaaan Hari Ibu oleh WK (Wanita Katolik) di Auditorium Gereja Katolik dan aku juga harus mengawasi  ladhen, glidhik atau pramusaji dan aku didhapuk  pranata acara aku jadi bingung, ketar-ketir dan gelisah. Itulah yang menyebabkanku tak bisa tidur malam ini.
Suamiku belum pulang dari adum promosi jabatan barunya, jadi aku tak bisa berembug dan minta pendapat serta ijinnya. Apakah aku perlu ijin pada ibu bapak mertua? Ataukah aku tolak permintaan ibuku? Bingung, klesad-klesed, mlumah mengkureb tidurku semalam ini, tidur sendirian. Berkecamuk berbagai kebimbangan, kegamangan. Yaaah ... bagaimana ini?
Tiba-tiba terlintas di tengah kegamanganku malam ini pada pitutur eyang putri almarhumah saat aku SD, "Ndhuk, aja sumelang. Simbah telah siapkan semua itu untukmu, ndhuk" Eyang putri mendekatiku ketika aku bingung mau merayakan Hari Kartini di sekolahku,"Besok rambutmu yang panjang ini tak kramas pakai bakaran merang" Eyang Putri mengelus-elus rambutku lalu memeluk menenangkanku.
Esok itu hari Minggu, aku dikramas eyang putri. Sebelumnya rambut diurai disisir pakai serit untuk menghilangkan kutu dan ketombe. Dirembyak setelah keramas banyu merang bakar lalu diminyaki cem-ceman. Katanya biar rambutku tumbuh subur dan agar tetap  dirembyak karena indah dan rambut adalah mahkota wanita, "Suk, nek riyaya kartinian, Mbah  sudah siapkan kondhe untuk gelungan" sambil mengeringkan rambutku setelah dikramas Eyang Putri melanjutkan pituturnya,"Mbah juga sudah siapkan kebaya lurik, jarit batik Sida Mukti dan selop simpenan mbah, Ndhuk. Itu semua adalah sandhangan para perempuan kita warisan leluhurmu, ndhuk"
Terdengar jago kluruk membuyarkan kenangan simbah Eyang Putri saat aku SD. Apakah ubo rampe busana wanita Jawa itu masih ada? Ibu yang menyimpan dan merawatnya. Kini setelah aku jadi muslimah mualaf dan tinggal di rumah mertua aku tak pernah melihatnya lagi. Kegamanganku, kegundahanku untuk menjadi pranata acara pada perayaan  Hari Ibu yang diselenggarakan  WK atas permintaan ibu dan aku harus memakai busana wanita Jawa masih meruwetkanku. Oooh ... haruskah aku melepas hijab, melepas baju gamisku dan mengurai rambut untuk digelung, dikondhe dan memakai kebaya, berjarit,  tidak menjadi masalah bagi ibu bapak mertuaku, bagi keluarga suamiku?
Bedhug langgar RT di belakang rumah berbunyi dan azan subuh pun berkumandang. Ibu bapak mertua sudah siap ke luar rumah menuju langgar untuk sholat subuh berjamaah. Aku pun bangun menuju kamar mandi untuk cuci muka dan wudhu. Biasanya dengan suami dan bapak ibu mertua berangkat bersama sholat subuh di langgar belakang rumah. Kini suamiku belum pulang rumah, aku akan sholat subuh sendirian di kamar tidurku.
"Astafirullah alladin la illaillalah .... ya Gusti Allah ingkang Maha Pengasih .... berilah hambamu ini kekuatan dan keberanian  untuk menghilangkan kegamangan melepas baju gamis dan mengenakan busana wanita  tradisional Jawa untuk merayakan Hari Ibu besok ini. Maturmbahnuwuun Gusti. Amiiin ... ya roball ... allamiiin .... "
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H