Oooh ....ternyata sudah lingsir wengi. Malam itu jan mbulet nguwer-nguwer mubeng memusingkan. Lambat sekali jalannya. Di luar rumah sepi, lampu pojok rumah tampak temaram dilihat dari celah korden jendela kamarku. Kamar yang baru dua tahun kutempati bersama suamiku. Angin bulan Desember malam itu bertiup pelahan, bagiku terasa mencekam.
Belum juga bisa tidur. Dua tahun berumah tangga belum juga dikaruniai momongan. Hal ini menambah runyam keadaan. Keluarga suamiku sering menyindir, khususnya ibu mertua yang segera ingin punya cucu dari anak lelaki bontotnya seperti halnya kakak dan mbayu suamiku yang sudah menghadiahkan cucu-cucu  untuk orang tuanya.
Waaah ... belum juga bisa tidur. Klasad-klesed, mlumah mengkureb tidur sendirian. Sudah lima hari aku tidur sendiri tanpa suami yang sedang ikut adum untuk promosi jabatan. Hujan rintik gerimis di luar menambah belantara ingatan masa lalu ketika aku memutuskan untuk jadi mualaf nikah dengan lelaki yang kucintai.
"Sudah dipikir masak-masak?" ibuku  bertanya untuk kesekian kalinya padaku saat aku akan ambil putusan untuk membangun mahligai rumah tangga dengan Mas Mustollih. Aku diam saja tak menjawab hanya tertunduk diam di hadapan ibu dan bapak di ruang keluarga.
"Yaaah .. tentunya sudah masak untuk ambil keputusan, Bu." ayah yang menjelaskan akan keputusanku yang sudah berulang kali masalah itu dibicarakan keluarga. "Lagi pula, Gracia kan sudah dewasa. Sudah lulus kuliah dan kerja. Kalau berumah tangga sudah masanya" bapak melanjutkan bicaranya sambil  ambil cangkir kopi  di meja lalu diseruputnya.
"Yah itu si benar, Pak" ibu lalu memandangi diriku lalu melirik bapak, "Tapi ....." ibu tampak cemas, kuatir.
"Tapi apa, Bu?" tanya Bapak.
"Mereka kan beda ...."
"Ya. Lalu ...?"
"Gracia harus ...."
"Mengikuti suami sesuai dengan undang-undang perkawinan?"
"Ya ..."
Itulah saat terakhir aku berembug dengan orang tuaku. Bapakku kerja di kantor keuskupan  dan  ibuku  guru SD di sekolah negeri. Keluargaku, keluarga Katolik. Anak-anak bapak dan ibu sekolah di perguruan Katolik dari TK sampai SMA. Mbakyu dan kakak-kakakku berumah tangga melalui pernikahan di gereja. Mereka bertemu jodoh di aktivitas organisasi gereja dari PPA sampai ke PMKRI. Jadi ketika mereka menuntaskan pacaran mereka ke pernikahan, tak ada halangan apa pun.
Ayah tak pernah melarang aku berpacaran dengan Mas Mustollih apalagi ibu. Ibulah yang memperkenalkanku dengan Mas Mustollih. Saat itu ada perayaan di SD tempat ibu mengajar dan ibu kebagian seksi kosumsi. Ibuku memang jago memasak sebab sering mbantu Bu Dhe Vero yang punya usaha catering. Jadi ibu juga sering mborong kosumsi di acara-acara sekolah, teman-teman ibu, tetangga bila punya hajatan.
Aku sering bantu ibu ketika jam kuliahku kosong. Saat itu, Mas Mustollih adalah mahasiswa paskasarjana yang sedang meneliti di SD itu. Mas Mustollih keponakan Bu Ummiatun kepala sekolah SD itu.
"Grace, ini lho Mas Mustolli keponakan Bu Ummi yang sedang meneliti di sekolah ini" ibu memperkenalkanku pada Mas Mustollih.
"Mustollih ..." ia memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan mengajak salaman padaku. Agak kelincutan aku menyambut uluran tangannya. Ternyata ia mahasiswa S2 perguruan tinggi Islam di kotaku. Tampak tak canggung dan risi bersalaman denganku yang seorang perempuan bukan muhkrimnya.
Sejak itu aku beberapa kali bertemu dengannya. Saat aku menjemput ibu pulang dari mengajar dan bertemu Mas Mustollih karena ia mengajar di SD itu sebagai bagian dari PKL-nya. Lalu kami makin akrab dan berpacaran jadinya. Orang tuaku tak melarang walau aku dan dia beda agama. Demikian pula Mas Mustollih tak mempermasalahkan keyakinanku.
Akhirnya aku harus membaca shahadhat saat ijab kobul di hadapan penghulu saat nikah di kantor agama di kecamatan. Aku jadi mualaf karena kalau nikah harus satu agama. Aku tak risau melepas keyakinanku sebab aku percaya pada Mas Mustollih orang yang punya wawasan luas, mampu menghadapi dan menerima perbedaan. Entahlah dengan keluarganya, orang tuanya, aku enggan untuk memikirkannya. Pacaranku memang singkat karena begitu aku selesai kuliah  aku bisa bekerja demikian pula Mas Mustollih maka segera kami berumahtangga.
Aku tinggal di rumah mertua sebelum punya rumah sendiri. Juga agar aku dapat menyesuaikan diri dan belajar hidup dengan suamiku dan keluarganya sebagai keluarga muslim. Awalnya memang kagog dan berat. Tapi, Mas Mustollih, suamiku menuntun dan mengajariku dengan sabar telaten semua ritual, ibadah, sholat, puasa dll.
"Maaf ya, Mba Grace. Kapan mulai  menggunakan busana muslimah? " suatu pagi ibu mertua menanyakan padaku saat setelah aku mandi pagi hendak kerja.
"Eeee ... maaf, Bu?" Aku terbata-bata.
"Busana muslimat salah satunya adalah memakai jilbab untuk menutup aurat. Itu lho, kaya ibu dan mbayumu itu" kata ibu mertua menjelaskan. Aku terdiam, hanya menjawab lirih, "Nggih ... Bu"
Sejak itu aku pun mulai mengenakan busana muslimat. Pakai hijab lengkap dengan baju longgar ombrong-ombrong kalau pergi kerja dan bepergian. Tapi, aku belum bisa pakai busana muslimat dalam hidup keseharian di rumah mertuaku. Paling-paling mengenakan jilbab untuk menutup rambut. Demikian pula saat aku berkunjung ke rumah ibu bapakku aku lepas busana itu. Kecuali bila berkunjung dengan suamiku. Ayah ibu dan keluargaku bisa memakluminya.
Suatu hari ketika aku ikut membantu ibu masak karena catering ibuku mendapat borongan kosumsi panitia perayaaan Hari Ibu oleh WK (Wanita Katolik) di Auditorium Gereja Katolik dan aku juga harus mengawasi  ladhen, glidhik atau pramusaji dan aku didhapuk  pranata acara aku jadi bingung, ketar-ketir dan gelisah. Itulah yang menyebabkanku tak bisa tidur malam ini.
Suamiku belum pulang dari adum promosi jabatan barunya, jadi aku tak bisa berembug dan minta pendapat serta ijinnya. Apakah aku perlu ijin pada ibu bapak mertua? Ataukah aku tolak permintaan ibuku? Bingung, klesad-klesed, mlumah mengkureb tidurku semalam ini, tidur sendirian. Berkecamuk berbagai kebimbangan, kegamangan. Yaaah ... bagaimana ini?
Tiba-tiba terlintas di tengah kegamanganku malam ini pada pitutur eyang putri almarhumah saat aku SD, "Ndhuk, aja sumelang. Simbah telah siapkan semua itu untukmu, ndhuk" Eyang putri mendekatiku ketika aku bingung mau merayakan Hari Kartini di sekolahku,"Besok rambutmu yang panjang ini tak kramas pakai bakaran merang" Eyang Putri mengelus-elus rambutku lalu memeluk menenangkanku.
Esok itu hari Minggu, aku dikramas eyang putri. Sebelumnya rambut diurai disisir pakai serit untuk menghilangkan kutu dan ketombe. Dirembyak setelah keramas banyu merang bakar lalu diminyaki cem-ceman. Katanya biar rambutku tumbuh subur dan agar tetap  dirembyak karena indah dan rambut adalah mahkota wanita, "Suk, nek riyaya kartinian, Mbah  sudah siapkan kondhe untuk gelungan" sambil mengeringkan rambutku setelah dikramas Eyang Putri melanjutkan pituturnya,"Mbah juga sudah siapkan kebaya lurik, jarit batik Sida Mukti dan selop simpenan mbah, Ndhuk. Itu semua adalah sandhangan para perempuan kita warisan leluhurmu, ndhuk"
Terdengar jago kluruk membuyarkan kenangan simbah Eyang Putri saat aku SD. Apakah ubo rampe busana wanita Jawa itu masih ada? Ibu yang menyimpan dan merawatnya. Kini setelah aku jadi muslimah mualaf dan tinggal di rumah mertua aku tak pernah melihatnya lagi. Kegamanganku, kegundahanku untuk menjadi pranata acara pada perayaan  Hari Ibu yang diselenggarakan  WK atas permintaan ibu dan aku harus memakai busana wanita Jawa masih meruwetkanku. Oooh ... haruskah aku melepas hijab, melepas baju gamisku dan mengurai rambut untuk digelung, dikondhe dan memakai kebaya, berjarit,  tidak menjadi masalah bagi ibu bapak mertuaku, bagi keluarga suamiku?
Bedhug langgar RT di belakang rumah berbunyi dan azan subuh pun berkumandang. Ibu bapak mertua sudah siap ke luar rumah menuju langgar untuk sholat subuh berjamaah. Aku pun bangun menuju kamar mandi untuk cuci muka dan wudhu. Biasanya dengan suami dan bapak ibu mertua berangkat bersama sholat subuh di langgar belakang rumah. Kini suamiku belum pulang rumah, aku akan sholat subuh sendirian di kamar tidurku.
"Astafirullah alladin la illaillalah .... ya Gusti Allah ingkang Maha Pengasih .... berilah hambamu ini kekuatan dan keberanian  untuk menghilangkan kegamangan melepas baju gamis dan mengenakan busana wanita  tradisional Jawa untuk merayakan Hari Ibu besok ini. Maturmbahnuwuun Gusti. Amiiin ... ya roball ... allamiiin .... "
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H