"Ya ..."
Itulah saat terakhir aku berembug dengan orang tuaku. Bapakku kerja di kantor keuskupan  dan  ibuku  guru SD di sekolah negeri. Keluargaku, keluarga Katolik. Anak-anak bapak dan ibu sekolah di perguruan Katolik dari TK sampai SMA. Mbakyu dan kakak-kakakku berumah tangga melalui pernikahan di gereja. Mereka bertemu jodoh di aktivitas organisasi gereja dari PPA sampai ke PMKRI. Jadi ketika mereka menuntaskan pacaran mereka ke pernikahan, tak ada halangan apa pun.
Ayah tak pernah melarang aku berpacaran dengan Mas Mustollih apalagi ibu. Ibulah yang memperkenalkanku dengan Mas Mustollih. Saat itu ada perayaan di SD tempat ibu mengajar dan ibu kebagian seksi kosumsi. Ibuku memang jago memasak sebab sering mbantu Bu Dhe Vero yang punya usaha catering. Jadi ibu juga sering mborong kosumsi di acara-acara sekolah, teman-teman ibu, tetangga bila punya hajatan.
Aku sering bantu ibu ketika jam kuliahku kosong. Saat itu, Mas Mustollih adalah mahasiswa paskasarjana yang sedang meneliti di SD itu. Mas Mustollih keponakan Bu Ummiatun kepala sekolah SD itu.
"Grace, ini lho Mas Mustolli keponakan Bu Ummi yang sedang meneliti di sekolah ini" ibu memperkenalkanku pada Mas Mustollih.
"Mustollih ..." ia memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan mengajak salaman padaku. Agak kelincutan aku menyambut uluran tangannya. Ternyata ia mahasiswa S2 perguruan tinggi Islam di kotaku. Tampak tak canggung dan risi bersalaman denganku yang seorang perempuan bukan muhkrimnya.
Sejak itu aku beberapa kali bertemu dengannya. Saat aku menjemput ibu pulang dari mengajar dan bertemu Mas Mustollih karena ia mengajar di SD itu sebagai bagian dari PKL-nya. Lalu kami makin akrab dan berpacaran jadinya. Orang tuaku tak melarang walau aku dan dia beda agama. Demikian pula Mas Mustollih tak mempermasalahkan keyakinanku.
Akhirnya aku harus membaca shahadhat saat ijab kobul di hadapan penghulu saat nikah di kantor agama di kecamatan. Aku jadi mualaf karena kalau nikah harus satu agama. Aku tak risau melepas keyakinanku sebab aku percaya pada Mas Mustollih orang yang punya wawasan luas, mampu menghadapi dan menerima perbedaan. Entahlah dengan keluarganya, orang tuanya, aku enggan untuk memikirkannya. Pacaranku memang singkat karena begitu aku selesai kuliah  aku bisa bekerja demikian pula Mas Mustollih maka segera kami berumahtangga.
Aku tinggal di rumah mertua sebelum punya rumah sendiri. Juga agar aku dapat menyesuaikan diri dan belajar hidup dengan suamiku dan keluarganya sebagai keluarga muslim. Awalnya memang kagog dan berat. Tapi, Mas Mustollih, suamiku menuntun dan mengajariku dengan sabar telaten semua ritual, ibadah, sholat, puasa dll.
"Maaf ya, Mba Grace. Kapan mulai  menggunakan busana muslimah? " suatu pagi ibu mertua menanyakan padaku saat setelah aku mandi pagi hendak kerja.
"Eeee ... maaf, Bu?" Aku terbata-bata.