Dalam dunia politik, strategi memainkan peran penting dalam memengaruhi persepsi publik dan membangun dukungan. Salah satu taktik yang sering digunakan adalah playing victim, yaitu strategi di mana politisi secara sengaja memosisikan diri sebagai korban situasi tertentu. Strategi ini tidak hanya mencerminkan upaya untuk meraih simpati publik, tetapi juga memiliki konsekuensi terhadap pola komunikasi politik dan dinamika sosial.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu negara atau wilayah tertentu, tetapi juga dapat ditemukan di berbagai belahan dunia. Namun, mengapa politisi sering menggunakan strategi ini, dan bagaimana efeknya terhadap masyarakat dan sistem politik? Artikel ini akan membahas alasan-alasan di balik perilaku ini, contoh-contohnya, serta dampaknya dalam konteks sosial dan politik.
Apa Itu Playing Victim?
Menurut Schlenker (1980), playing victim adalah perilaku yang bertujuan untuk menciptakan persepsi bahwa seseorang telah dirugikan oleh pihak lain. Dalam konteks politik, strategi ini sering digunakan untuk memperoleh keuntungan emosional, seperti simpati, dukungan, atau pembenaran atas tindakan tertentu.
Dari perspektif komunikasi politik, playing victim dapat didefinisikan sebagai "penggunaan narasi emosional untuk memosisikan diri sebagai pihak yang teraniaya dengan tujuan membentuk persepsi publik" (Jamieson & Cappella, 1997).
Menurut teori atribusi (Heider, 1958), individu cenderung mencari penyebab dari perilaku dan kejadian yang mereka alami. Dalam konteks politisi, playing victim digunakan untuk mengalihkan perhatian dari tanggung jawab pribadi dengan menempatkan penyebab masalah pada pihak lain. Hal ini bertujuan untuk mengurangi persepsi negatif publik terhadap diri mereka.
Dalam kajian politik, teori framing (Entman, 1993) menjelaskan bahwa cara sebuah isu disampaikan kepada publik dapat memengaruhi bagaimana isu tersebut dipahami. Playing victim adalah salah satu bentuk framing di mana politisi berusaha mengarahkan opini publik dengan membingkai diri mereka sebagai pihak yang dirugikan oleh keadaan atau lawan politik.
Strategi ini sering disertai dengan retorika emosional yang dirancang untuk membangun rasa solidaritas dengan kelompok pendukung, sekaligus menciptakan kesan bahwa pihak lawan adalah sumber dari ketidakadilan atau masalah.
Mengapa Politisi Menggunakan Strategi Playing Victim?
1. Membangun Simpati Publik
Salah satu alasan utama politisi menggunakan strategi ini adalah untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Dengan memosisikan diri sebagai korban, mereka berharap publik akan merasa kasihan dan mendukung mereka. Simpati publik sering kali diterjemahkan menjadi dukungan politik, yang sangat berharga, terutama selama masa kampanye atau saat menghadapi kritik keras.
Menurut Manheim (2011), simpati publik adalah modal politik yang dapat meningkatkan elektabilitas dan membangun loyalitas pemilih. Ketika politisi menggambarkan diri mereka sebagai korban, mereka berusaha menciptakan hubungan emosional dengan masyarakat.
Sebagai contoh, dalam kampanye pemilu, narasi korban dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa politisi "berjuang melawan sistem" demi kepentingan rakyat. Hal ini sering kali berhasil membangun citra sebagai pemimpin yang berempati dan peduli.
2. Mengalihkan Perhatian dari Isu Utama
Ketika politisi menghadapi skandal atau kritik tajam, playing victim sering kali digunakan sebagai alat distraksi. Dengan menciptakan narasi bahwa mereka sedang diserang secara tidak adil, perhatian publik dapat dialihkan dari isu utama yang sedang mereka hadapi.
Contoh nyata dari fenomena ini adalah ketika seorang pemimpin yang sedang terlibat dalam skandal korupsi memosisikan dirinya sebagai korban konspirasi politik. Narasi ini sering digunakan untuk mengurangi tekanan publik dan memperlemah pengaruh kritik.
3. Memperkuat Basis Pendukung
Menurut Norris (2002), salah satu elemen penting dalam strategi politik adalah menjaga loyalitas basis pendukung. Dengan memainkan peran korban, politisi dapat memperkuat rasa solidaritas di antara pendukung mereka. Pendukung sering kali merasa bahwa serangan terhadap politisi favorit mereka adalah serangan terhadap identitas atau kelompok mereka.
4. Menyerang Lawan Politik Secara Tidak Langsung
Playing victim juga dapat digunakan sebagai cara untuk menyerang lawan politik secara halus. Ketika politisi memosisikan diri sebagai korban, mereka secara implisit menggambarkan lawan mereka sebagai pihak yang kejam, tidak adil, atau manipulatif. Strategi ini memungkinkan politisi untuk menyerang tanpa terlihat agresif.
5. Memanfaatkan Media Sosial
Di era digital, media sosial menjadi alat yang sangat efektif untuk menyebarkan narasi playing victim. Unggahan yang emosional, seperti video atau pernyataan yang menunjukkan bahwa politisi sedang "ditindas," dapat dengan cepat menjadi viral. Hal ini mempercepat penyebaran pesan mereka kepada khalayak luas dan meningkatkan dampak emosional narasi tersebut.
Dampak Strategi Playing Victim terhadap Politik dan Masyarakat
1. Polarisasi Sosial
Playing victim dapat memperburuk polarisasi sosial dengan menciptakan pembagian tajam antara "kami" dan "mereka." Pendukung politisi cenderung melihat pihak lain sebagai musuh, sementara pihak yang berlawanan mungkin merasa frustrasi dengan manipulasi tersebut.
Thompson (2000) berpendapat bahwa meskipun playing victim dapat menjadi alat politik yang efektif, strategi ini memiliki risiko etis. Penggunaan narasi korban secara berlebihan dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi politik dan menciptakan polarisasi yang berbahaya dalam masyarakat.
2. Penurunan Kepercayaan Publik
Jamieson dan Cappella (1997) menyatakan bahwa playing victim adalah bentuk komunikasi politik yang dirancang untuk membangun narasi emosional. Strategi ini sering digunakan untuk menarik perhatian media dan menciptakan wacana publik yang menguntungkan politisi.
Namun meskipun demikian, Menurut survey dari Pew Research Center (2020), strategi manipulatif seperti playing victim dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap politisi dan institusi politik. Masyarakat mungkin merasa bahwa politisi lebih fokus pada drama dan narasi emosional daripada menyelesaikan masalah nyata.
3. Distraksi dari Isu Utama
Menurut Baumeister et al. (1996), playing victim adalah salah satu bentuk self-presentation strategy di mana individu berusaha menciptakan citra positif dengan cara menyoroti penderitaan mereka. Dalam politik, strategi ini digunakan untuk menyeimbangkan citra negatif yang muncul akibat kritik atau skandal.
Ketika playing victim digunakan sebagai alat untuk mengalihkan perhatian, fokus masyarakat sering kali teralihkan dari isu-isu penting. Hal ini dapat memperlambat proses pengambilan keputusan dan menghambat penyelesaian masalah yang sebenarnya membutuhkan perhatian.
4. Peran Media dalam Memperkuat Narasi
Media, terutama media sosial, sering kali menjadi katalis dalam memperkuat narasi playing victim. Menurut McCombs dan Shaw (1972), agenda-setting theory menjelaskan bahwa media memiliki kekuatan untuk membentuk apa yang dianggap penting oleh publik. Ketika media memberikan perhatian besar pada narasi korban, hal ini dapat memperkuat dampak strategi tersebut.
Bagaimana Masyarakat Dapat Merespons?
Meningkatkan literasi politik merupakan langkah penting untuk memahami strategi manipulatif seperti playing victim. Dengan pengetahuan yang lebih baik, masyarakat dapat menganalisis narasi politik secara kritis dan membuat keputusan yang lebih rasional. Selain itu, masyarakat juga perlu menuntut akuntabilitas dari para politisi, terutama ketika strategi tersebut digunakan untuk menghindari tanggung jawab. Transparansi dan keterbukaan menjadi elemen penting dalam membangun kepercayaan publik dan memastikan politisi bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Selain itu, masyarakat harus mengandalkan fakta dan data sebagai dasar dalam menilai situasi politik untuk melawan narasi yang bersifat emosional. Media independen dan sumber informasi yang kredibel memainkan peran penting dalam memberikan perspektif objektif. Di sisi lain, masyarakat juga dapat mendorong dialog yang terbuka dan konstruktif untuk menghindari polarisasi dan lebih fokus pada mencari solusi bersama dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Kesimpulan
Fenomena playing victim adalah strategi yang sering digunakan oleh politisi untuk membangun simpati, mengalihkan perhatian, dan menyerang lawan politik. Meskipun strategi ini efektif dalam jangka pendek, dampaknya terhadap masyarakat dan sistem politik dapat bersifat merugikan.
Dengan meningkatkan literasi politik, menuntut akuntabilitas, dan mengedepankan dialog konstruktif, masyarakat dapat mengurangi dampak negatif dari strategi ini. Pada akhirnya, politik yang sehat membutuhkan fokus pada solusi dan kepentingan bersama, bukan pada manipulasi emosional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H