Konsep representasi ideologi dalam dunia politik mungkin hanya cocok di zaman transisi maupun di zaman sebelumnya.
Zaman transisi yang dimaksudkan adalah masa di mana Indonesia secara politik berada di dalam peralihan sistem kekuasaan otoriter Orde Baru ke zaman reformasi.
Setidak-tidaknya kita masih bisa merasakan nuansa representasi ideologi masih melekat pada kelompok-kelompok yang berhadap-hadapan.
Dari penjelasan Kuntowijoyo misalnya dalam esai 'Muslim Tanpa Masjid', politik representatif itu masih bernuansa, meskipun mulai kabur.
Bj. Habibie saat itu dipandang sebagai representasi kekuatan (ideologi) politik umat Islam, salah satu indikatornya adalah bahwa Habibie adalah ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Terpilihnya Habibie menjadi Presiden pengganti Soeharto ditolak mentah-mentah oleh mahasiswa, sebab Habibie masih dianggap anak kandung Orba, dan ini merupakan tanda kegagalan reformasi.
Penolakan mahasiswa terhadap Habibie mendapat reaksi keras dari kelompok Islam, mereka mempertanyakan keislaman mahasiswa-mahasiswa itu, menolak representasi umat Islam (Habibie) berarti bukan bagian dari umat Islam.
Bayangkan, padahal menurut Kuntowijoyo, mahasiswa-mahasiswa itu juga Islam, buktinya mereka sujud syukur ketika Presiden Soeharto mundur.
Tetapi mereka, menurut Kuntowijoyo, adalah 'Muslim Tanpa Masjid', bagian dari umat islam yang tidak terafiliasi dengan masjid atau ormas Islam tertentu.
Gambaran mengenai politik representatif juga dapat diperoleh dari hasil wawancara bersama Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang dibukukan dalam 'Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Era Transisi'.
Seting latar buku ini sama dengan zaman yang diceritakan oleh Kuntowijoyo, yaitu era transisi politik Indonesia dari Orba ke Reformasi, ditandai dengan kejatuhan Soeharto.
Hanya saja sudut penceritaan ini diambil dari kisah Cak Nur sendiri, sebagai salah satu pelaku sejarah dalam proses transisi itu, dan sepertinya bagian ini tidak banyak yang tahu.
Cak Nur mencium aroma konfrontasi representasi tersebut lebih dari sekadar Islam vs Islam vs Sosialis vs Nasionalis, lebih jauh Cak Nur menyebut salah satunya adalah representasi militer.
Di sini sesungguhnya telah terjadi pergeseran, dari perjuangan pikiran ke perjuangan kelompok, representasi ideologi menjadi representasi kelompok.
Salah satu bentuknya, Habibie sebagai Presiden pengganti Soeharto, yang ditugaskan mempersiapkan Pemiliu yang sesungguhnya efektif bila membuat persiapan selama 2 tahun, terpaksa diberi waktu hanya 6 bulan.
Menurut Cak Nur, waktu 6 bulan itu terpaksa disetujui demi meredam konflik antara representasi militer dengan para pendukung Habibie, dan mungkin juga kelompok-kelompok lainnya.
Di luar itu semua, pada sisi yang lain ada Megawati Soekarnoputri dengan PDIP nya yang dianggap merupakan representasi ideologi sosialis-nasionalis, yang berbeda dari representasi (kelompok) Islam dan representasi militer.
Bisa jadi Cak Nur keliru kala menyebut "Megawati memang anak bapaknya (Soekarno)", dalam arti yang sebenarnya, anak biologis.
Budiman Sudjatmiko yang menjadi saksi dalam 'Anak-Anak Revolusi', autobiografi semi novel (alih-alih novel semi autobiografi) yang ditulisnya, bahwa Megawati bukan sekadar anak bapaknya.
Di sana Megawati Soekarnoputri memenangkan PDI dengan cara melahirkan PDIP saat dipecah Orba.
Kemenangan Megawati bukan terletak pada mengubah versi PDI menjadi PDIP, tetapi kepada keberhasilan meyakinkan publik bahwa Soekarnoputri ini adalah sesejatinya Marhaenisme, sosialisme khas Indonesia, kultur PDIP yang as(a)li.
Tetapi sementara orang akan membenarkan Cak Nur, yang mengatakan bahwa Megawati itu anak bapaknya, saat pengamat politik kontroversial era kini, Rocky Gerung, mempertanyakan ideologi PDIP yang merangkul Sandiaga Uno.
Rocky Gerung sangsi, Sandiaga Uno yang disebutnya 'Kapitalis' dirangkul oleh PDIP yang sosialis, saat sebelum memajukan Ganjar-Mahfud jadi Capres dan Cawapres.
Namun harus disadari bahwa waktu telah bergeser, ini bukan lagi zamannya representasi ideologi. Zaman di mana blok geng politik dari ideologi tertentu tidak akan bisa menyatu dengan lawan ideologisnya.
Jelas saja bahwa PDIP yang sosialis tidak akan bisa menyatu dengan komplotan Anies Baswedan yang Islamis, itupun sesungguhnya hanya tampak ideologis dari sisi permukaan.
Nyatanya seteru itu bukan terutama karena beda ideologi, melainkan karena beda kepentingan semata, maka konflik pun menjadi sangat teknis.
Anies menjadi musuh istana, atau menjadi musuh PDIP sekalian (sebab kini istana dan PDIP lagi pisah ranjang), semata karena beda sikap soal kebijakan nasional.
Dalam hal ini Anies bukan menjadi representasi Islam, yang bisa dibayangkan sewarna dengan Pan-Islamisme, Anies lebih tampak seperti Pos-Islamisme (jadi, santri Pos-Islamisme ala Hidayat Nurwahid untuk Sandiaga Uno itu kurang tepat).
Citra Anies seputar itu saja, yaitu tampil meyakinkan seolah dia adalah representasi kelompok islam (bukan representasi ideologi Islam), atau yang lebih populer dikenal dengan politik identitas.
Bisa ditebak, jika seandainya Anies tidak berbeda sikap soal kebijakan nasional, pasti ia tidak akan berseteru baik dengan istana maupun dengan PDIP.
Di sisi lain, Ganjar Pranowo juga bukan representasi ideologi Sosialis-Marhaenis. Ganjar Pranowo tidak lain adalah tokoh populis, yang pikiran-pikirannya juga sangat teknis.
Ganjar tidak mampu berbicara secara konseptual tentang sikap keberpihakan kepada rakyat kecil, kala berhadapan dengan korporasi dan kekuasaan.
Soal Wadas misalnya, Ganjar menyelasaikan masalah dengan cara membujuki masyarakat, dengan suatu kehalusan dan tata krama: bermalam di rumah warga, disertai ganti rugi.
Bukannya dia menjadi panglima dalam mengusut kriminalisasi terhadap rakyat yang menuntut hak, kala berhadapan dengan aparat.Â
Ganjar tidak memiliki komitmen ideologis terhadap rakyat yang mempertahankan tanahnya. Dalam hal ini rakyatlah yang salah, harus diupayakan bagaimana caranya supaya mereka mau serahkan tanahnya, tidak ada diskusi.
Serta Prabowo-Gibran, komitmen ideologis apa yang diharapkan dari Capres dan Cawapres bekingan kekuasaan ini?Â
Prabowo-Gibran tidak akan bisa beri penjelasan secara tuntas atas kesimpulan rakyat bahwa mereka berdua merupakan hasil dari malpraktik kekuasaan melalui Ketua MK.
Begitupun dengan Cawapres Muhaimin serta Mahfud MD, keduanya bukan merupakan representasi ideologi tertentu, melainkan hadir sebagai tokoh yang akan bersikap teknis.
Walhasil tindakan Capres dan Cawapres kita hari ini tidak mewakili ideologi tertentu. Islamisme, Sosialisme-Marhaenisme, Nasionalis, melebur ke dalam 3 paslon secara kolektif dan bergantian.
Selanjutnya, mereka akan tampil sebagai tokoh yang berpikir dan bekerja secara teknis.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H