Seting latar buku ini sama dengan zaman yang diceritakan oleh Kuntowijoyo, yaitu era transisi politik Indonesia dari Orba ke Reformasi, ditandai dengan kejatuhan Soeharto.
Hanya saja sudut penceritaan ini diambil dari kisah Cak Nur sendiri, sebagai salah satu pelaku sejarah dalam proses transisi itu, dan sepertinya bagian ini tidak banyak yang tahu.
Cak Nur mencium aroma konfrontasi representasi tersebut lebih dari sekadar Islam vs Islam vs Sosialis vs Nasionalis, lebih jauh Cak Nur menyebut salah satunya adalah representasi militer.
Di sini sesungguhnya telah terjadi pergeseran, dari perjuangan pikiran ke perjuangan kelompok, representasi ideologi menjadi representasi kelompok.
Salah satu bentuknya, Habibie sebagai Presiden pengganti Soeharto, yang ditugaskan mempersiapkan Pemiliu yang sesungguhnya efektif bila membuat persiapan selama 2 tahun, terpaksa diberi waktu hanya 6 bulan.
Menurut Cak Nur, waktu 6 bulan itu terpaksa disetujui demi meredam konflik antara representasi militer dengan para pendukung Habibie, dan mungkin juga kelompok-kelompok lainnya.
Di luar itu semua, pada sisi yang lain ada Megawati Soekarnoputri dengan PDIP nya yang dianggap merupakan representasi ideologi sosialis-nasionalis, yang berbeda dari representasi (kelompok) Islam dan representasi militer.
Bisa jadi Cak Nur keliru kala menyebut "Megawati memang anak bapaknya (Soekarno)", dalam arti yang sebenarnya, anak biologis.
Budiman Sudjatmiko yang menjadi saksi dalam 'Anak-Anak Revolusi', autobiografi semi novel (alih-alih novel semi autobiografi) yang ditulisnya, bahwa Megawati bukan sekadar anak bapaknya.
Di sana Megawati Soekarnoputri memenangkan PDI dengan cara melahirkan PDIP saat dipecah Orba.
Kemenangan Megawati bukan terletak pada mengubah versi PDI menjadi PDIP, tetapi kepada keberhasilan meyakinkan publik bahwa Soekarnoputri ini adalah sesejatinya Marhaenisme, sosialisme khas Indonesia, kultur PDIP yang as(a)li.