Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Refleksi May Day 2023: Ramai-Ramai Menindas Kaum Buruh

1 Mei 2023   07:40 Diperbarui: 1 Mei 2023   11:02 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: news.detik.com

Tidak sampai seminggu menjelang hari raya Idul Fitri, tepatnya pada 16 april 2023, seorang kurir di salah satu perusahaan swasta dikabarkan oleh Tribunnews.com mengeluh perihal paket yang menjelang lebaran makin membludak saja. Ia mengaku sudah capek, dan meminta masyarakat untuk berhenti dulu melakukan pesan barang secara online.

Gara-gara paket menumpuk dan tidak tahu kapan surutnya, kurir tersebut mengaku terpaksa harus bekerja keras menghabiskan mengantar paket. Mana hari sudah dekat lebaran.

Seharusnya di waktu-waktu itu ia mendapat kepastian, atau setidaknya gambaran bakal istirahat dan menikmati liburan lebaran bersama keluarga, mengalihkan sejenak pikiran dari hiruk pikuknya pekerjaan di lapangan selama setahun.

Namun jauh kenyataan dari harapan, derita sang kurir didukung oleh permisifnya negara, melalui Surat Edaran Menaker nomor 3 tahun 2022, terhadap perusahaan yang tidak memberi cuti bersama bagi karyawan, dengan dalih cuti bersama di sektor swasta bersifat fakultatif, atau pilihan; tergantung kesepakatan antara (serikat) pekerja dengan pengusaha.

Juga melalui UU nomor 13 tahun 2003 pasal 85 ayat 2 yang berbunyi:

"Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus- menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha."

Sedang kata "kesepakatan" yang ada di dalam surat edaran mentri maupun di dalam undang-undang, pengertiannya paling banter adalah kesepakatan tertulis antara pekerja dan pemberi kerja; antara perusahaan dan buruh yang tertuang dalam kontrak perjanjian kerja. Padahal poin-poin kesepakatan itu berasal dari perusahaan, dan buruh hanya harus sepakat jika ingin tetap bekerja.

Bukan kali ini saja, sekira setahun yang lalu dan beberapa tahun belakangan, keluhan serupa kerap terdengar, juga dari yang berprofesi sebagai kurir. Antara lain ada yang mengatakan, "Stop pesan online, kami juga mau lebaran," serta kalimat semisalnya yang sering dijumpai baik di media sosial maupun di pemberitaan.

Malangnya, kurir yang juga dapat disebut sebagai karyawan, atau dapat pula disebut buruh itu, malah mendapat komentar yang kebanyakan bernada kecaman ketimbang dukungan.

Sebagian mungkin menyangka kurir tersebut, karena merupakan karyawan di perusahaan itu, adalah bagian dari penentu kebijakan perusahaan. Oleh karenanya sebagian menanggapi keluhan kurir itu dengan kalimat semisal "sudah risiko ...," atau "siapa suruh ...," serta bahasa-bahasa ketidakpedulian lainnya.

Padahal mereka adalah buruh yang terikat oleh peraturan perusahaan. Mereka bisa saja dikenakan SP atau bahkan diPHK jika tidak melaksanakan aturan yang sudah ditetapkan.

Jadi, dari satu kasus kurir yang mengeluh ini saja, tampak bahwa penindasan terhadap kaum buruh itu datang dari mana saja:

Pertama, dari pihak perusahaan. Penindasan itu dimulai dari penyusunan kontrak kerja yang intisarinya diambil dari celah-celah regulasi pemerintah, yang longgar terhadap perilaku nakal perusahaan.

Celah-celah itu baik dalam surat edaran mentri maupun undang-undang yang mengatur tentang ketenagakerjaan, dibaca sedemikian rupa sehingga perusahaan dapat leluasa mengejar produktivitas dengan cara memeras tenaga buruh.

Kedua, dari pihak pemerintah, yang kurang berkomitmen untuk memperbaiki nasib buruh. Parahnya, jika pemerintah memandang buruh sebagai penjual jasa yang semata memerlukan upah, lalu perasaan dan hak-haknya diabaikan begitu saja.

Misalnya sikap pemerintah yang ingin memberikan kenyamanan dan keleluasaan bagi investor, perusahaan, atau pemberi kerja, agar mereka semakin betah berinvestasi, pada gilirannya diharapkan memberi banyak pemasukan terhadap kas negara melalui pajak, maupun daya beli masyarakat yang meningkat berkat kehadiran perusahaan yang membawa iklim transaksi.

Namun sikap itu sendiri disertai dengan lupa, bahwa perusahaan harus diikat betul dengan regulasi yang tepat, agar tidak semena-mena memeras tenaga buruh. Jika memang perusahaan menuntut karyawan bekerja walaupun di hari libur, pemerintah mesti membuat regulasi ketat mengenai sistem shift.

Misalnya, karyawan muslim wajib diliburkan mengikuti hari-hari cuti bersama lebaran, dan perusahaan bisa mencari karyawan pengganti sementara dengan sistem shift dari karyawan yang beragama lain. Pun demikian karyawan Nasrani wajib diliburkan di hari Natal, dan dicarikan penggantinya sementara dari karyawan beragama lain dengan sistem shift; dan lain sebagainya.

Ketiga, penindasan datangnya dari masyarakat sendiri. Masyarakat yang tidak pernah menjadi buruh tidak akan tahu bagaimana perasaan kaum buruh. Apalagi bagi masyarakat elit, yang hidupnya serba berkecukupan, dan tidak perlu bekerja memeras tubuh seperti kaum buruh.

Berkaca kepada kasus kurir tadi, masyarakat model begini hanya tahu bahwa mereka harus diberi kenyamanan. Mereka adalah customer, yang mesti dilayani sebaik-baiknya oleh perusahaan. Tanpa tahu jika perusahaan memanjakan konsumen itu berarti lebih memacu dan memeras tenaga dan waktu kaum buruh dalam memenuhi target.

Di balik pelayanan 24 jam dan cepat dan tepat waktu, yang diapresiasi sebagai layanan ekspres itu, tersimpan buruh-buruh yang bekerja di bawah tekanan. Bekerja berdasarkan target yang makin hari makin meningkat, sedang upah tidak mengalami kenaikan yang signifikan.

Masyarakat elit penikmat harta warisan, penikmat gaji orang tua, atau menjadi pegawai negeri karena bantuan kolega, tidak akan tahu perihal keseharian kaum buruh yang bekerja bagai kuda. Mereka hanya tahu, layanan harus tepat waktu, kurir harus cepat mengantarkan pesanannya, dan mereka akan marah bahkan memaki jika tidak sesuai.

Bersyukur kaum buruh mendapat penghargaan dari pemerintah sewatu tahun 2013, 1 mei ditetapkan sebagai tanggal merah hari buruh sedunia, oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hari itu bisa dimanfaatkan sebagai hari libur, merenggangkan otot-otot yang kaku akibat bekerja selama 8 jam sehari.

1 mei sebagai May Day internasional juga bisa dimanfaatkan oleh kaum buruh sebagai momen untuk menyuarakan aspirasinya. Menuntut kelayakan upah, pemenuhan hak-hak oleh pihak perusahaan dan pemerintah.

Namun, bagi si kurir, apalah artinya hari buruh ketimbang hari raya lebaran sebagai momen berkumpul bersama keluarga setahun sekali? Apalagi jika mesti mudik ke kampung halaman, tentu si kurir lebih membutuhkan cuti bersama yang ditetapkan pemerintah itu.

Namun sayang, si kurir tidak dapat meminta cuti bersama itu (meski konsekuensinya termasuk dalam potongan cuti tahunan), sebab perusahaan dapat mempekerjakan buruh di hari libur, melalui celah surat edaran mentri tenaga kerja, serta undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang sudah disebutkan.

Maka dengan adanya hari May Day, atau hari buruh internasional 1 mei ini, mestinya menjadi pengingat bagi kita agar lebih memperhatikan nasib buruh. Mereka juga manusia merdeka dengan hak-haknya, bukan budak yang seenaknya diperlakukan oleh mereka yang tak punya pengetahuan dan perasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun