Saya adalah karyawan swasta di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa yang ada di Sulawesi Tengah. Begitulah atasan kami menekankan, katanya, kalian itu karyawan, bukan buruh.
Mungkin karena kata buruh itu kesannya merendahkan. Di sini, karyawan harus memahami, bahwa perusahaan ingin memberikan image pemberian pekerjaan secara layak, tidak merendahkan.
Padahal menurut undang-undang ketenagakerjaan pasal 1 ayat 3, definisi buruh adalah seseorang yang bekerja demi mendapatkan imbalan, baik uang maupun selainnya.
Sebagai seorang karyawan, yang sebenarnya adalah buruh juga, saya merasakan keburuhan itu dalam pekerjaan saya. Yaitu saya memang berhak menerima upah, tetapi bersamaan dengan itu, saya punya kewajiban bekerja di bawah tekanan.Â
Dan apa artinya jam kerja bagi buruh seperti saya, dibandingkan misalnya dengan ASN/PNS? Tentu memiliki perbedaan.
Pada ASN/PNS, menurut hemat saya, jam kerja adalah waktu-waktu yang berjalan ketika sedang dalam jadwalnya bekerja. Sedangkan buruh, jam kerja adalah target-target yang harus dicapai saat lagi jadwalnya bekerja. Bahkan di luar itu (lembur).
Jadi, misalnya ASN/PNS wajib bekerja 8 jam sehari di luar jam istirahat. Bekerja hanya 4 jam di antaranya pun tetap dihitung 8 jam. Waktu-waktu berlalu tanpa dipersoalkan apa saja target-target yang dicapai dalam sehari.
Lain halnya buruh, karyawan swasta, kerja 8 jam berarti adalah memenuhi target-target yang mesti dicapai selama 8 jam. Jika tidak, ada konsekuensinya. Kalau bukan kena potongan gaji, kena teguran, kena SP, bahkan PHK.
Olehnya tidak sedikit di antara teman-teman saya yang bercita-cita jadi PNS. Katanya, PNS itu enak, tidak perlu bekerja di bawah tekanan sambil membayangkan ancaman bakal disanksi jika tidak capai target. Lagipula gajinya juga lumayan, plus terjamin lagi di masa tua.
Ada yang menunggu pendaftaran CPNS dibuka, tidak terkecuali saya sendiri. Kerja di perusahaan itu memang berat, di sana tenaga, pikiran, dan waktu, terkuras untuk perusahaan.
Cerita-cerita seputar pekerjaan ini, terbawa-bawa hingga ke momen bukber (buka bersama) ramadan tahun ini. Jangan bayangkan bukber ini meriah seperti bukbernya ASN, ini hanyalah bukber kecil-kecilan sambil kongko-kongko, ala buruh.
Sembari menunggu lantunan azan dari masjid, sebagai tanda masuknya waktu berbuka puasa (dahulu penandanya adalah bedug), kami para buruh--eh, maksudnya karyawan--yang baru saja menyelesaikan pekerjaan mulai ngobrol-ngobrol.
Entah mengapa, kali itu pembahasan kami merambah pada hal-hal yang horor. Soalnya berkembang rumor bahwa di gudang sebelah itu sering muncul penampakan sosok kuntilanak. Beberapa karyawan, termasuk warga, mengaku pernah melihat penampakan itu.
Menurut cerita, pernah ada seorang perempuan meninggal pas lagi hamil di rumah sebelah, yang bergandengan dengan gudang itu.
Kantor perusahaan kami menyewa gudang sebelah beserta rumah tersebut sebagai tempat penyimpanan aset milik perusahaan. Juga untuk tempat parkir kendaraan.
Itu memang cerita yang horor. Namun lebih horor bagi saya dan teman-teman saya yang buruh adalah membayangkan jika kontrak kerja selesai dan tak diperpanjang. Sementara belum mendapat pekerjaan di luar.
Seorang kawan menceritakan horor yang ada di benaknya, bahwa masa kontraknya sudah habis, dan kini sudah memasuki bulan kedua kontrak kerjanya belum juga terbit.Â
Tetapi kawan saya itu tetap disuruh masuk bekerja. Gaji tetap sama; gaji pokok beserta tunjangannya. Yang berbeda hanyalah BPJS, yang untuk sementara ditanggung pribadi, tidak ditanggung perusahaan. Juga ia harus mengabsen terpisah dari kami yang masih berlaku masa kontraknya.
Lalu apanya yang horor? Katanya, ia khawatir tidak akan menerima THR sebab ia tak lagi masuk dalam daftar karyawan reguler. Juga horor jika kontrak baru akhirnya tidak diperbaharui lalu ia terpaksa berhenti.
Lalu kawan-kawan lainnya mengecam perusahaan. Saya meluruskan bahwa itu merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kaum buruh, melainkan kepada investor (perusahaan). Akhirnya kebijakan itu menyebabkan perusahaan leluasa menerapkan aturan, dengan modal kebebasan memperpanjang kontrak atau tidak.
Kebijakan itu bernama Perppu No. 2 tahun 2022 tentang Ciptaker, Perppu yang terbit setelah Omnibus Law UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.Â
Putusan itu mensyaratkan agar kekeliruan dalam Omnibus Law segera diperbaiki sebelum masanya habis. Penyebab utama inkonstitusional nya UU itu karena dalam pembuatannya tidak melibatkan aspirasi publik.
Saya telah membaca kajian YLBHI tentang terbitnya Perppu ini pada februari 2023 kemarin. Pada intinya Perppu Ciptaker ini memberi keleluasaan kepada investor untuk berinvestasi, dengan menjadikan kaum buruh, petani, dan nelayan sebagai korbannya.
Hasil bacaan saya itu saya ceritakan ke teman-teman pada momen bukber tersebut. Saya bilang:
"Perusahaan bebas menentukan lama kontrak, periode kontrak, berdasarkan sistem PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Jadi tak ada lagi yang namanya karyawan tetap. Selama kita bekerja, selama itu kita karyawan kontrak."Â
Kata saya lagi:
"Adapun pesangon untuk karyawan yang diPHK, perusahaan bisa menghindarinya dengan menerapkan waktu kontrak yang pendek. Sebab tak ada kewajiban membayar pesangon karyawan bagi perusahaan, yang karyawannya berhenti karena kontrak habis."
Kata-kata saya di atas kemudian menjadi horor bagi teman-teman saya yang buruh itu. Akhirnya, bukber kami tandas dengan lidah yang kelu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H